Mentari sudah mulai meninggi, menyinari setiap jengkal dari bumi ini. Waktu menunjukkan pukul 09.10, kami masih sabar menunggu kedatangan Syaikh Muhammad Yusri al-Mishri. Sebagian dari mahasiswa sibuk menyiapkan materi presentasi, ada juga yang setia dengan mushaf di tangannya dan jangan tanya berapa jumlah dari mereka yang terlelap tidur di ruangan ini.
Dijadwalkan, hari ini kami akan mempelajari materi baru dari Kitab Ushul Fiqh, tentu di bawah bimbingan Syaikh yang murah senyum itu.  " Kontradiksi dalil". Yah, itu judul materi kami hari ini. Salahsatu sub topiknya adalah  Apa yang harus dilakukan oleh seorang pencari ilmu ketika berhadapan dengan dua dalil yang saling berkontradiksi ?. Kalimat yang sangat mengganggu fikiran saya, karena tak sabar menunggu jawaban dari pertanyaan tersebut.
Bulan lalu, saya pernah memposting di Kompasiana, essay dengan judul yang sama  sambil dibumbui dengan contoh-contoh untuk memperjelasnya. Kali ini , topik itu akan terasa berbeda, selain karena Syaikh Muhammad Yusrin yang menyampaikannya, faktor lain yang tidak kalah berpengaruh adalah perbedaan disiplin Ilmu.
Essay yang pernah saya posting itu adalah kontradiksi dengan kacamata ilmu logika (Mantik). Mengungkap syarat-syarat terjadi kontradiksi, dan syarat-syarat gugurnya kontradiksi. Akan sangat berbeda, jika topik ini kita baca dalam literatur kitab Ushul Fiqh.
Para Ulama kita punya pandangan yang berbeda untuk menyikapi dua dalil yang bertabrakan hukum.
Sebagian mereka mengatakan bahwa dalam kondisi tersebut, muslim mukallaf (yang sudah terkena tanggungjawab syariat) diberi pilihan. Tak masalah baginya mengamalkan dalil A atau memilih dalil B untuk beramal. Kedua dalil itu sama-sama boleh diamalkan dan berkonsekuensi pada kesimpulan bahwa setiap mujtahid (orang yang sudah memenuhi syarat berijtihad) dipandang benar dihadapan hukum, dalam setiap ijthadnya. Mereka yang ada pada rombongan pendapat ini adalah Imam Syafi'I, Imam al-Baqilani dan al-Ghazali.
Sebagian lain berpendapat agar memilih jalan tawaquf yaitu tidak mengamalkan kedua dalil sampai ditemukan dalil lain yang menguatkan salahsatunya.
Anda juga akan menemukan pendapat yang mengajak untuk mengambil fatwa yang paling ketat dengan pertimbangan adanya kehati-hatian di dalamnya. Sebaliknya, ada juga pernyataan sebagian ulama yang mengarahkan kita untuk mengambil fatwa yang paling ringan dengan alas an hadis Nabi   "Permudahlah oleh kalian urusan-urusan itu dan janganlah dipersulit".
Melihat beragamnya panduan ulama dalam menyikapi perbedaan hukum, maka ada acara terbaik untuk mengambil faidah dari keragaman panduan tersebut tanpa menghilangkan faidah lainnya.
Pertama, bagi seorang Mujtahid (yaitu ilmuwan yang memiliki kapasitas berijtihad), saat berhadapan dengan dua dalil yang kontradiksi dan tidak memiliki jalan terang, maka baginya jalan tawaquf sambilterus menggali dalil-dalil lainnya. Apabila waktu untuk beramal telah tiba, sepatutnya dia mengambil fatwa yang paling ketat, melihat statusnya sebagai tholibul ilmi. Atau jika tidak, ada jalan lain dengan bertaqlid kepada pendapat orang yang lebih berilmu darinya.