Kenyataan demikian, bukanya tanpa resistensi. Apalagi setelah semakin lama menjamur dalam penegakan di Indonesia, perlu adanya suatu terobosan dan pemikiran. (Alm) Prof Satjipto Rahrdjo adalah salah satunya, beliau membidani gagasan Hukum Progressif. Bagi beliau Hukum merupakan ilmu sebenarnya (genuinescience), ia melanjutkan ilmu selalu berusaha memahami dan melihat kenyataan dan logika social yang hidup dalam masyarakat. Yang tiap waktu dan keadaan selalu Up to date, tanpa kehilangan arah nilai nilai dasar keilmuan itu sendiri.
Kiranya kita tidak usah menangisi kenyataan sistemik demikian, Vonis 12 tahun untuk Angelina Sondakh dan 18 tahun bagi Lutfi Hasan Ishaq (meski belum inkracht) bisa dijadikan cermin, bahwa gagasan progressif siap dibiakkan. Gagasan progressif ini bisa menjadi puzzle pembangunan hukum yang masih cacat dalam penegakan dan kultur hukumnya.
Namun bukan perkara mudah, gagasan ini masih harus menghadapi kekuasaan despotic yang masih menganut Machivellian. Mereka akan melakukan apa saja untuk mempertahankan kekuasaan, ditambah rapor penegak hukum masihlah merah, membuat trust dari masyarakat dalam membentuk kultur hukum masih sulit. Batu terjal ini yang menjadi tantangan para penegak hukum kedepanya dalam mewarnai era reformasi.
Dengan demikian benar ungkapan Cicero, seorang Filsuf Yunani, bahwa ibi societas ibi ius (tiada masyarakat tanpa hukum). Bahwasanya pembangunan di era reformasi di bidang politik, ekonomi, social, budaya dan lainya tanpa disertai dengan pembangunan hukum akan tampak timpang. Hingga detik ini pembangunan hukum lebih mengarah kepada yang berpunya dan bermuka, bukan pada masyarakat luas, jika demikian benar adanya,maka bisa dikatakan reformasi (hukum) hanyalah berjalan seperempat hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H