Masuknya nama Jennifer Dunn, penyanyi Rebecca Soejati Reijman, dan model Catherine Wilson (Keket) dalam Saga kasus Ratu Atut, yang melibatkan adiknya, Wawan memang cukup menarik. Bukan hanya untuk “menyegarkan” peliknya kasus ini, namun mereka mereka menyandang status ”Selebritis”.
Selebriti dalam Pusaran Kekuasaan bukanlah barang baru. Sebagai Public Figure, paras elok dan tubuh indah mereka menghipnotis masyarakat yang tak pernah jeda melewatkan waktunya mengakses dan mengkonsumsi media mediaartificial. Tak heran, mereka punya banyak fans atau semacam penggemar, daya tarik mereka cukup untuk mendongkrak suara ketika pesta demokrasi berlangsung.
Dewasa ini keterlibatan mereka di dunia politik semakin dilirik. Dikutip dari Okezone.com, kira kira ada 48 nama beken yang akan saling berebut citra kepada para Konstituenya. Diantaranya adalah, Jane Shalimar dari Nasdem, Ayu Azhari dari PAN, Bella Saphira dari Gerindra, atau Angel Lelga dari PPP. Mereka mengikuti jejak Rieke “oneng”, Nurul Arifin, atau Tantowi Yahya yang sudah dulu malang melintang di tengah rimba dunia politik.
Tentu saja, keberadaan mereka, tidak luput dari perhatian, apalagi kalau bukan kapabilitas dan kemampuan mereka yang selama ini hanya teruji dalam laga parodi saja. Padahal dunia politik, termasuk kejam dan tak pandang kawan maupun lawan. Kepura puraan mereka dalam tangis, geram, ataupun canda tidak akan banyak berguna. Bekal yang kurang ini, bila tidak ditambal dengan basis akademisi yang cukup, keberadaanya tidak lebih dianggap Benalu dan parasit saja.
Gejolak Transpolitik
Istilah Transpolitik (trasn political) adalah suatu keadaan yang menjelaskan suatu kondisi politik yang telah terkontaminasi oleh berbagai entitas lainya yang bukan merupakan jagat, alam, prinsip, atau dunia politik. Kondisi ini kemudian yang menciptakan semacam garis lintas politik, berupa politik yang berbaur dengan hukum, politik yang bersekutu dengan ekonomi, ataupun politik yang bercampur dengan seksual. (Yasraf A Piliang ; Hantu hantu Politik dan Matinya Sosial; 2003).
Garis takdir dunia politik -meminjam istilah Habermas, ialah sebuahLebenswelt. Ia adalah jalan menuju kehidupan yang mulia, sebuah jalan Humanisasi yang mengangkat manusia dari dasar strata kehidupan, yang berupa kehinaan atau kenistaan. Meski akhir-akhir ini, dunia politik menjadi episentrum kritik dari penjuru negeri karena minim prestasi, namun sejatinya dalam politik sendiri terkandung nilai nilai luhur.
Namun, garis edar politik yang semakin tak tentu arah ini, sekarang bertabrakan, bersilangan, bertumpuk, berhubungan, ataupun berkelindan dengan dunia selebritis, dunia Glamour yang penuh dengan eksploitasi tubuh dan komiditifikasi sensualitas untuk ditukar dengan segepok dolar dan seperangkat citra.
Jejak rekam selebritas yang kini terjun ke dunia politik, tidak lain hanyalah berisi tayangan parodi, humor, nyanyian, atau sensualitas, semuanya dijual untuk menaikan rating yang berimbas membludaknya profit. Tak ada nuansa aspirasi rakyat, malah lebih terasa aroma modal dan citra, kecuali hanya beberapa yang memiliki basis akademi.
Eksodus para selebriti dari dunianya menuju gemerlapnya dunia politik yang semakin tidak dipercayai rakyat lagi, menjadi semacam fenomena tersendiri. Terlebih dalam mengartikan Transpolitik itu sendiri. Minimal Bertautnya dunia politik dengan dunia selebriti, menghasilkan Demokratisasi Libido, yaitu ketika masyarakat memilih pemimpin mereka berdasar hasrat dan keinginan, bukan berdasar akal sehat dan pikiran yang bersih.
Pendidikan Politik
Secara konstitusional, memang tidak ada dalil yang sah untuk mengharamkan selebritis berpolitik. Toh, apabila diharamkan, definisi Selebriti tentu masih multitafsir, apalagi kinerja Selebritas itu cukup baik dalam mendongkrak suara, singkatnya tidak ada alasan melarang mereka duduk di singgasana kekuasaan.
Wasiat reformasi yang menginginkan pembangunan politik ke arah yang lebih baik tentu sulit terwujud jikalau hal ini masih berlangsung. Masyarakat sebagai subjek perubahan harus diasupi lebih dari promosi visi misi belaka, namun penyemaian dan pemahaman akan hak hak berpolitik dalam hal ini pendidikan politik seringkali dilupakan.
Selama ini pendidikan Politik hanya dimonopoli untuk kader kader partai saja, itupun hanya mengahasilkan kader kader yang berpandangan primordial dan tendensius saja. Di arena yang semakin kompetitif ini, budaya politik pragmatis dan transaksional telah mereduksi politik adiluhung yang menjadi dambaan sejak digulirkanya era reformasi.
Transpolitik dalam konteks ini bercampurnya dunia selebritas dan politik akan menjadi tak berarti ketika pendidikan politik itu bisa membangun hasrat masyarakat, untuk berpolitik yang santun, cerdas, dan non transaksional. Syaratnya, semua elemen bangsa harus bersatu membangun isi politik ini. Pendidikan Politik yang tepat akan membuat gigit jari politisi yang mengutamakan citra, sensualitas, dan imagologi untuk mendulang suara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H