Pelangi pikir, hidup ini sesederhana semangkuk sereal yang dia santap untuk sarapan saban pagi. Pelangi pikir, dunianya cuma berputar tanpa beban seperti mainan gantung box bayi. Pelangi pikir, langit runtuh itu cuma perumpamaan drama dari manusia penuh elegi. Sampai petang hari ini menjemput pasang obsidiannya untuk terbangun.
Tadi pagi, semua masih berjalan seperti biasa. Ibu sibuk siap-siap, ayah duduk di hadapan sepiring daging asap. Sang kakak tercinta keterima kerja di Amerika. Tiada yang luput dari gegap gempita bahagia.
"Pelangi, ayo makan dulu Nak."
"Iya bi, sebentar."
Kini semua asing. Begitu keluar kamar, yang ditemuinya cuma sanak kerabat yang sibuk bahas warisan. Padahal bendera kuning di depan rumah masih terhampar. Wajah-wajah ini. Amat ingin ia hajar.
Pelangi pikir, semua cuma masalah waktu. Kehilangan satu keluarga sekaligus bukan masalah besar selama modal hidupmu masih melimpah seruah gandum di musim panen. Ternyata tidak.
Surat demi surat. Akta demi akta. Menghilang. Melayang entah ke mana. Entah di seret angin bedebah mana. Pelangi mulai kehilangan banyak hal.
Sekarang Pelangi duduk di atap sekolah berlantai belasan. Menatap langit yang baru saja urung diguyur gerimis. Mendamba sesuatu muncul melengkung di ufuk langit sana.
Pelangi.
Fenomena iklim yang manis. Ya. Pelangi memang baiknya menceruk langit seperti itu. Pelangi juga sudah seharusnya menghilang tanpa pesan seperti itu. Pelangi ini dan itu sama. Memilih pergi supaya bisa lepas dari bayang-bayang nyeri. Sehembus bayu selanjutnya, Pelangi melebarkan lengan dengan jajaran jendela sebagai latar belakang.
Ia tersenyum tenang.