Salah satu tanda tahun politik didepan mata yakni munculnya banyak wajah baru dan bahkan lama yang terpampang di sepanjang jalan. Selaiknya tanda ramadhan akan datang, iklan sirup selalu intens tampil dilayar pertelevisian. Keduanya adalah kebiasaan yang telah kita pahami dari tahun ke tahun.
Membaca dari arus kehidupan hari ini yang serba digital. Orang-orang berbondong-bondong memainkan gawai sosial medianya dan merias sebaik mungkin apa yang akan ditampilkan dihadapan massa.
Kekuatan sosial digital memang benar adanya, bahkan jika menilik lebih dalam. Hanya ada dua industri yang menyebut pelanggan mereka sebagai “pengguna”. Yang pertama pengguna narkoba dan yang kedua pengguna piranti lunak (media sosial). Erdward Tufle dalam video The Social Dilemma.
Bila demikian, bolehlah menyebut bahwa terdapat zat dan pengaruh yang ada pada pengguna sosial media yang mengubah aktivitas otak dan menyebabkan perubahan persepsi dan suasana hati. Sebab itu, dewasa ini kita sukar menakar mana yang nyata dan maya.
Jika penulis membaca hari ini, selain kekuatan media digital. Mindset kita atau pola pikir kita masih bertumpu pada viralitas. Kita tidak merasa eksis bila kita tidak tampil dan viral. Jadi hampir semua orang fokus dalam kubangan tersebut, bahkan sampai pada membangun identitas dirinya pun dari situ.
Barometer kita dalam menilai diri kita sebagai orang yang berarti atau tidak, sebatas pada postingan kita viral ataupun tidak. Oleh sebab itu, kita terdorong dalam setiap postingan yang kita lakukan, sikap penasaran akan postingan kita sudah viral ataupun belum selalu kita tengok setiap saat.
Terlebih dalam tahun politik, beredarnya deretan orang-orang yang populer tetapi bukan dan bahkan belum pernah terjun kedalam penggodokan partai politik maju mencalonkan diri sebagai pemimpin.
Padahal kepemimpinan itu bukan popularitas, bukan pula kemegahan dan kemewahan. Kepemimpinan itu merupakan tanggungjawab dari apa yang telah diamanahkan selama masa jabatan. Sedang popularitas ialah imbal hasil dari apa yang telah ditugaskan dan mampu dipertanggungjawabkan.
Gejalanya hampir sama, partai politik yang seharusnya mendorong para kader militannya untuk laga tanding dalam kontestasi pemilihan, hilang kemudi. Instan mendorong sederet orang-orang populer hari ini untuk mewakili keyakinan, ideologi dan gagasan partai politik.
Padahal dalam demokrasi, partai politik harus difungsikan untuk melakukan nominasi berdasarkan ideologi partai, karir politik partai, dan keyakinan partai bahwa orang ini mampu atau tidak dalam membawa ideologi dan gagasan partai.
“assiyasatu mabniyatun ala aqidatiha” politik itu selaras dengan keyakinannya. Sehingga dalam demokrasi, dialektika yang dibawa yakni perebutan keyakinan yang mana yang lebih baik dalam membangun kesejahteraan bersama.
Tetapi fakta lapangan berlainan, nominasi pencalonan dilakukan sebatas popularitas calon. Bahkan dewasa hari ini harus menunggu survei, tetapi survei diatur orang, sosial media pun (TikTok, Twitter, dsb) diatur orang. Terpaksalah partai politik surrender kepada calon yang ditetapkan oleh market mechanisme. Sehingga tak ada yang namanya kepemimpinan.
Leadership itu tidak sama dengan popularitas. Popularitas itu berbeda, dalam sosiologi popularitas adalah seberapa besar seseorang akan ide, tempat, atau konsep lain yang disukai atau diberikan status oleh orang lain.
Oleh karenanya mohon maaf, maling bisa populer, pelawak bisa populer, joget-jogetpun juga bisa populer. Tapi mereka itu bukan pemimpin, pemimpin itu lahir dari partai politik, penggodokan bertahun-tahun diorganisasi partai itulah yang namanya demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H