Sedari awal, Gus Yani berusaha mengkonfirmasi bahwa DPRD adalah salah satu unsur trias politica. Bukan de facto secara hierarkhis di bawah eksekutif.
Kemarin, 23 September, tepat setahun Gus Yani dilantik jadi Ketua DPRD. Dan, terhitung sejak 3 September kemarin, ia tidak lagi menjabat. Tepatnya sejak ia undur diri sehari sebelum mendaftar ke KPU sebagai calon bupati dalam Pilkada Gresik 2020.
Benar, bahwa rapat pengusulan pergantian ketua DPRD dilaksanakan pada tanggal 24 Agustus. Tapi, itu belum bisa disimpulkan secara de jure ketua telah berganti. Masih ada proses administratif yang harus dilalui. Kecuali, bila yang bersangkutan undur diri.
Artinya, belum genap setahun ia menjabat.
Nah secara umum, seorang legislator di lima tahun pertama diibaratkan seorang anak sekolah kelas satu. Ia akan memposisikan diri untuk lebih banyak mendengar, sembari memahami lingkungan dan kebiasaan baru.
Baik itu terkait fungsi budgeting, misal RKPD, KUA-PPAS, sampai pengesahan APBD; atau terkait fungsi legislasi, baik public hearing maupun sosperda; maupun berkait fungsi controlling, misal RDP. Di masa pertama itu, ibarat fase adaptasi siklus fungsional ini.
Singkat kata, tahap ini disebut rekognisi.
Nah baru di lima tahun kedua. Ia naik kelas. Berbekal pengalaman didapat di tahap pertama, ia mulai memiliki kesimpulan dari proses rekognisi. Saat itulah, ia mulai berani tampil. Berani bicara di rapat. Dimulai di fraksi, komisi, atau bahkan hearing terbuka dengan masyarakat. Bahkan mungkin sudah mulai berani bicara di media massa.
Maka tahap ini disebut kognisi !
Tapi tidak demikian dengan Gus Yani.
Ia seperti sebuah kereta cepat. Ia bukan lagi fase belajar menjadi anggota. Tapi langsung menjadi ketua. Hal itu memaksanya harus belajar lebih cepat. Siap tak siap. Ia harus berani memimpin rapat. Ia harus terbiasa diwawancara media. Ia harus mengorganisir, bukan saja alat kelengkapan dewan yang berisi 50 anggota, tapi juga tak kurang 50 staf yang bernaung di kesekretariatan DPRD.
Akan tetapi, yang mengejutkan adalah ia tidak memilih bernafas dulu. Menikmati terpilihnya menjadi legislator setelah berjibaku di Pileg, sembari belajar jadi ketua secara pelan-pelan. Ternyata tidak.
Melainkan ia justru memilih tancap gas. Sejak awal, sangat terlihat ia ingin DPRD secara institusional mulai bisa dirasakan keberadaannya oleh masyarakat. Karena itu, ia membuka kran aspirasi seluasnya.
Hampir seluruh demo di depan DPRD dan rapat audiensi dengan masyarakat, ia hadir terdepan. Tidak saja menemui, tapi juga memberi sikap. Ia berani menghadapi demo baik di luar maupun di dalam gedung.
Menghentikankegiatan bongkar muat batu bara di pelabuhan Jasatama adalah salah satu keputusan monumental yang bisa disebut sebagai contoh.
Ia selalu berusaha mengomunikasikan kinerja DPRD, tak saja ke eksekutif, tapi juga ke masyarakat. Pun sedari awal ia selalu berusaha mengkonfirmasi bahwa DPRD merupakan salah satu unsur trias politica. Bukan lembaga yang de facto secara hierarkis di bawah eksekutif.
Dan itu ia capai tidak sampai setahun!
Benar saja. Ia kereta cepat. Yani Express!
Panceng, 24 September 2020
________
Faiz Abdalla