Loh. Jangan salah. Gresik United FC itu produk politik loh. Coba deh diingat-ingat lagi. Bagaimana sejarah proses berdirinya Gresik United tahun 2005 silam.
Kala itu, Ultras nggeruduk ke DPRD. Kalo tidak salah, Ketua DPRD saat itu Pak Nadir. Apa tuntutan Ultras? Agar Pemerintah bersikap karena Petrokimia sebagai klub sepakbola kebanggaan warga Gresik saat itu hendak undur diri dari kompetisi. Dari proses itulah, GU lalu terbentuk.
Aspirasi itu ditindaklanjuti DPRD. Yang kemudian menjembatani Pemkab dan PT Petrokimia. Hasilnya, Petrokimia dimerger dengan Persegres menjadi GU.
Artinya, GU lahir dari proses politik kan? Ketika sekelompok warga menggunakan hak beraspirasi ke pemerintah, bukankah itu bagian dari arti politik? Karena tanpa politik, sekedar aspirasi warga saja, maka sampai hari ini kita tidak mungkin bisa melihat apa yang dinamakan GU itu.
Sama halnya. Ketika Oktober tahun lalu Ultras ngeluruk ke kantor DPRD. Menuntut perombakan manajemen GU. Bukankah itu juga bagian dari arti politik. Apa cukup aspirasi Ultras sekedar disuarakan di depan gedung. Ditulis di banner-banner. Dipost di media sosial. Tanpa terkonfirmasi sebagai proses politik. Apa bisa? Tidak!
Sederhana kok. Sepakbola tidak bisa tanpa politik. Mereka saling berinteraksi. Bahkan, sepakbola justru produk politik. Makanya, bila ada yang bilang "Sepakbola tanpa politik." Pertanyaan saya. Itu seperti apa
Nah, dari premis itu, saya coba mengetengahkan. Mungkin yang dimaksud adalah politik jangka pendek atau politik kepentingan sesaat. Yakni, hanya menjadikan sepakbola sebagai alat tunggangan untuk tujuan politik.
Nah, untuk arti yang ini. Saya juga sepakat dengan kebanyakan suporter. Bahwa sepakbola harus bersih dari itu. Tapi ya kembali lagi, sepakbola tidak bisa lepas dari politik. Ia beroperasi dengan politik.
Karena sepakbola butuh modal. Butuh infrastruktur. Sementara, sampai hari ini, sulit menemukan klub sepakbola menjadi industri profesional laiknya di Eropa. Maka, politik adalah kompromi bagi sepakbola.
Pada titik inilah, sepakbola menemukan sisi pragmatisnya. Pada intinya, inilah realitas. Bahwa sepakbola tidak mungkin bisa berdiri sendiri. Ia harus berinteraksi. Terutama dalam konfigurasi politik.
Tinggal, bagaimana mampu menyikapi politik itu sendiri. Bersih dan sama sekali tak menyentuh politik itu tak mungkin. Tapi, menjerumuskan sepakbola untuk kepentingan politik pun naas.
Karena itu, jalan tengahnya, sepakbola harus berkompromi dengan politik. Tapi bukan sebagai tunggangan politik. Melainkan politik sebagai jalan kemajuan sepakbola.
Maka, yang tersisa di sini adalah ijtihad politik. Dalam konteks pilkada Gresik ini, kita telah menyaksikan ada sebagian tokoh bola atau suporter yang merapat ke salah satu calon. Karena berpikir calon tersebut mampu memenuhi tujuan dari sepakbola itu. Atau sebaliknya, ada yang merapat ke paslon lain. Dengan dalih dan maksud yang sama.
Dan, seperti umumnya ijtihad. Ia tidak tunggal. Tapi cenderung polarisasi. Itulah kenapa dalam agama kita mengenal bermadzhab. Seperti itu, bukan?
Dengan demikian, mari kita hargai pilihan masing-masing. Bila hari ini kita disuguhi klaim dukungan kelompok suporter Ultras ke masing-masing pasangan calon. Kita positive thinking saja. Justru, menurut saya, apa yang dilakukan itu adalah sebuah keharusan untuk mengkonfirmasi bahwa kontestasi pilkada ini akan melahirkan komitmen untuk memajukan sepakbola Gresik.
Panceng, 16 September 2020
_____
Faiz Abdalla
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H