AKANKAH BERAKHIR STIGMA KESEHATAN MENTAL ?
Oleh : FAIZA HANUM INGGIT THALITA
Mahasiswa progdi BK UKSW angkatan 2019
“Kamu itu lemah” “Paling cari perhatian saja” “Ya elah lebay banget si” “Kurang ibadah aja kali” “ih ngapain deket-deket sama orang gila” “Ke psikolog ? kamu gila ya?” “gitu aja kok stress” , kalimat-kalimat tersebut adalah bentuk dari stigma kesehatan mental yang sering didengar di masyarakat Indonesia.
Di Indonesia, mental health issues masih sering dianggap remeh bahkan isu kesehatan mental merupakan hal yang sering dianggap tabu dikalangan masyarakat. Kebanyakan orang menganggap gangguan kesehatan mental berkaitan dengan sakit gila, perilaku tidak patut, perilaku tidak mampu mengendalikan diri, gangguan yang kumat-kumatan dan tidak bias sembuh. Banyak orang yang mulai speak up mengenai gangguan kesehatan mental yang sedang mereka alami namun kesadaran masyarakat yang rendah mengakibatkan munculnya diskriminasi terhadap pengidap gangguan mental. Bentuk driskriminasi tersebut berupa perlakuan kasar, penghinaan, maupun perundungan. Tidak jarang juga masyarakat menjauhi pengidap gangguan kesehatan mental beserta keluarganya.
Perkiraan prevalensi gangguan kesehatan mental didunia menurut WHO (2017) adalah 110 juta, setara dengan 12% dari seluruh populasi pada satu waktu. Satu dari empat orang didunia mempunyai pengaruh dalm kehidupan akibat gangguan mental/sekitar 450 juta orang orang saat ini menderita kondisi seperti itu dan menempatkan gangguan mental diantara penyebab utama. Selanjutnya angka tersebut bertambah dengan dimasukannya penggunaan narkoba sebagai salah satu bentuk gangguan mental sebesar 27 juta (bertambah 15%). Sementara dimasukkannya gangguan neurologis seperti dimensia, gangguan epilesi dan sakit kepala sebagai bagian dari gangguan mental menyebabkan peningkatan total lebih dari 300 juta (menjadi 50%).
Selanjutnya, merujuk data hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018, mengemukakan prevalensi rumah tangga dengan anggota yang menderita skizofrenia atau psikosis sebesaar 7 per 1000 dengan cakupan pengobatan 84,9%. Sementara itu, pravalensi gangguan mental emosional pada remaja berumur lebih dari 15 tahun sebesar 9,8%. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu sebesar 6% berdasarkan data dari Balitbangkes 2018.
Jumlah penduduk aceh saat ini yang terdata mengalami gangguan kesehatan mental berjumlah sekitar 19.500 orang dan sebanyak 95 orang diantaranya masih hidup dengan cara dipasung.
Di Amerika, bunuh diri menjadi penyebab kematian terbanyak setelah kecelakaan, dengan total 11.577 kasus pada tahun 2017. Fakta ini membuktikan bahwa isu kesehatan mental merupakan masalah serius dan nyata.
Permasalahan ini menjadi semakin kompleks karena jumlah penderita gangguan mental yang semakin hari semakin bertambah. Orang dengan gangguan mental mendapatkan permasalahan akibat gejala dari penyakitnya, terlebih dengan stigma terhadap penderita gangguan mental. Kondisi ini memiliki efek buruk bagi penderita gangguan mental.
Adanya stigma menjadi tantangan tersendiri dalam upaya meningkatkan awareness masyarakat terkait isu kesehatan mental di Indonesia. Tapi stigma itu apa sih? Yuk baca uarain berikut untuk informasi selengkapnya.
Stigma merupakan pandangan negative seseorang terhadap orang lain karena adanya karakteristik yang dianggap buruk pada orang tersebut. Orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental sering mendapatkan stigma dari orang-orang disekitarnya.
Stigma terkait kesehatan mental yang umum ditemukan adalah anggapan bahwa seseorang yang pergi ke psikolog = gila.
Stigma mengenai kesehatan mental dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu stigma sosial dan stigma diri. Stigma sosial dicirikan oleh sikap prasangka dan perilaku diskriminatif yang ditujukan kepada orang dengan masalah kesehatan mental sebagai hasil dari label psikiatrik yang telah diberikan kepada mereka. Sedangkan stigma diri adalah internalisasi oleh orang dengan masalah kesehatan mental dari persepsi diskrimanasi mereka atau bisa dibilang stigma diri terbentuk dari proses internalisasi stigma sosial.
Stigma dapat secara signifikan menimbulkan perasaan buruk seperti malu karena memiliki masalah kesehatan mental, menjadi ragu untuk pergi ke psikolog dan mencari bantuan, merasa tidak dipahami oleh orang-orang disekitarnya, rentan mengalami bullying, kekerasan, dan diskriminasi, merasa buruk, sulit menerima dan dan memahami diri sendiri, dan dapat menyebabkan treatment terhadap orang dengan gangguan kesehatan mental menjadi tidak berhasil dengan baik.
Bagaimana stigma terkait kesehatan mental bisa muncul ?
Stigma muncul karena adanya ketakutan dan kurangnya pemahaman masyarakat dengan baik apa sebenarnya penyebab dan cara perawatan pada penderita gangguan mental. Minimnya Informasi mengenai kesehatan mental juga membuat penilaian masyarakat terhadap pengidap gangguan kesehatan mental menjadi negatif. Selain itu, orang dengan masalah kesehatan mental terkadang digambarkan dengan keliru sehingga munculah stigma ini.
Dibandingkan 4 tahun lalu, Sebagai gen Z atau generasi Z dengan berkembangnya teknologi, kesadaran masyarakat Indonesia akan kesehatan mental saat ini semakin meningkat. Banyaknya komunitas, kampanye, obrolan dimedia sosial, dan karya-karya seni yang membahas kesehatan mental.
Kita harus memberikan banyak informasi dan pengetahuan terkait gangguan mental kepada masyarakat agar penderita gangguan mental dan keluarga tidak lagi mengalami diskriminasi dan merasa malu untuk memeriksakan kondisi kesehatannya dengan harapan agar penderita gangguan mental tidak terlambat mendapatkan pertolongan. Dengan begini stigma kepada orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan mental bias dihapuskan.
Berhenti memandang remeh isu kesehatan mental, nyatanya orang yang memiliki isu kesehatan mental membutuhkan dukungan dari orang sekitarnya. Yuk jadi support system yang baik buat mereka. Dukungan kecil yang kita berikan, bisa berarti sangat besar loh buat mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H