Mohon tunggu...
Faiza Nabila
Faiza Nabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

people who like music and books

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

He

21 April 2024   20:44 Diperbarui: 21 April 2024   21:12 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suasana malam yang dingin menyelimuti kamar ku dengan langit penuh ribuan bintang dan cahaya bulan yang menjadi penanda senyapnya malam. Aku, Nana, seorang perempuan introvert berzodiak Virgo, menikmati keindahan itu sambil terbaring rebahan, sibuk meresapi setiap halaman buku yang menjadi teman setia setelah makan malam. Hidupku yang sebelumnya monoton dan penuh kebosanan, berubah saat aku bertemu dengan seseorang yang mampu menghadirkan warna dalam hidupku yang sebelumnya abu-abu.

Panggilan telepon dari sahabatku, Dila, memecah kesunyian malam itu. Karena kami jarang bertemu sejak dia melanjutkan pendidikannya ke pesantren. Kami berbincang-bincang lama, membagi cerita dan tawa, hingga jam menunjukkan pukul 22.00 WIB. Kami sepakat bertemu esok hari di pantai, tempat biasa kami berbagi cerita dan kenangan.

***

Hari berikutnya, kami bertemu di pantai setelah sekian lama terpisah. Sore itu penuh kehangatan dan tawa. Waktu berlalu begitu cepat dan saat matahari hampir tenggelam, kami memutuskan untuk pulang. Di tempat parkir, Dila segera pulang, sementara aku tersandar pada pikiran-pikiran tentang kejadian tadi. Sementara aku berjalan menuju motor, tanpa sadar aku menginjak kaki seseorang yang terluka di belakangku. Meskipun aku meminta maaf, sosok itu hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa. Saat terdengar samar-samar suara azan, aku buru-buru meninggalkan pertemuan singkat itu.

***

Pikiran ku melayang ke kejadian itu ketika aku berbaring di kasur, mengenang apakah sosok itu baik-baik saja? Apakah dia marah? Aku sedikit khawatir karena kakinya terluka.

Esoknya, aku membersihkan rumah dan menghabiskan waktu sendirian. Seminggu berlalu, dan temanku Dila kembali ke pondoknya. Sore itu, aku memutuskan pergi ke pantai lagi, berharap bisa bertemu dengan sosok misterius dan berharap bisa meminta maaf kembali. Namun, keinginanku tak terwujud, membuatku semakin penasaran.

Aku memutuskan untuk kembali ke pantai setelah beberapa hari. Kali ini, kehadirannya terlihat, sosok itu muncul, aku ragu-ragu untuk menyapa, tapi akhirnya aku memberanikan diri mengajaknya berbicara. Tapi, dia hanya diam tanpa sepatah kata. Suasana sepi dan canggung merayapi kami berdua, hanya suara ombak yang terdengar dikejauhan. Setelah beberapa detik, tanpa diduga, sosok itu memberikan jawaban dengan gerakan tubuhnya yang pelan. Aku kaget dan terdiam, terperangkap dalam kebingungan dan rasa bersalah semakin menghimpit. Aku tak tahu harus merespon apa, bagaimana memecahkan keheningan yang semakin tebal di antara kami. Tiba-tiba ia mengeluarkan pulpen dan buku kecil dari saku bajunya, aku melihat tulisan yang menggema di halaman-halaman kecil tersebut, "aku sudah memaafkan kamu sejak hari pertama bertemu."

Aku terdiam lagi, melontarkan pandangan yang mencerminkan kekagetan. Aku merasa lega, tetapi juga semakin merasa bersalah. Aku ingin berkata sesuatu, menjelaskan perasaanku, namun kata-kata itu tampaknya menolak keluar dari bibirku. Di tengah keheningan itu, dia menjulurkan buku kecilnya yang bertuliskan "ayo berteman". Perasaan senang dan bahagia tiba-tiba meliputi hatiku. Aku langsung mengangguk tanpa berpikir panjang. Entah mengapa, senyumannya memberikan kehangatan pada hatiku yang kian dingin oleh hembusan angin pantai yang sejuk. Aku ingin duduk bersamanya setiap hari, mengajaknya berbincang-bincang.

Kami duduk di tepi pantai, menyaksikan senja yang perlahan tenggelam, sambil mendengarkan ombak yang memberikan ketenangan dan kedamaian. Dalam keheningan itu, kami memilih untuk berbicara melalui buku kecil, menuangkan pemikiran dan perasaan kami. Aku merasa penasaran tentang satu hal yang selalu mengganjal pikiranku. Dengan sedikit keberanian, aku menuliskan pertanyaan, apakah kamu selalu duduk sendirian di sini? Dengan cepat jawabannya muncul.

Ia menjawab bahwa dia merasa nyaman duduk sendiri. Namun, jawabannya tidak hanya sekedar tentang kenyamanan fisik. Ia membagikan kisah pribadinya, menceritakan bahwa dia tidak memiliki pilihan selain duduk sendiri. Dia mengungkapkan bahwa dia kehilangan suara dan teman-temannya menjauhinya setelah kecelakaan traumatis saat masih sekolah. Kejadian tragis itu terjadi ketika dia jatuh dari tangga yang didorong oleh seorang teman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun