Di Ende ia selalu berbalas surat dengan A. Hassan, kegiatan ini berlangsung selama kurang lebih 2 sampai 3 tahunan dari 1934 sampai 1936. Di dalam surat menyurat itu, tertuang segala keresahan kejumudan umat Islam Indonesia, kritik atas kehidupan umat dalam berbagai segmen mencakup sosial, politik, pendidikan, kenegaraan, dan lain-lain. Surat-surat ini sangat penting dan memiliki nilai historis yang amat berarti.
Selain surat-menyurat dengan tokoh modernis Islam Bandung  A. Hassan, Bung Karno tidak pernah surut sifat cerdas berakalnya, dibeberapa kesempatan ia bersahabat dengan orang-orang lintas iman, untuk menggali dan mempertajam intelektualitas yang dimilikinya.
Semisal hasil dari persahabatannya adalah dukungan dari para pastor kepada Bung Karno dalam memperjuangkan pengusiran imperialis Belanda dari tanah pertiwi, dan ini menarik spirit Bung Karno agar bisa melakukannya.
Empat tahun di Ende adalah masa indah, momen kedekatan dengan keluarga yang sama-sama dalam pengasingan, mata air spiritualitas dan religiusitas, sekaligus rahim dan kontemplasi perumusan Pancasila.
Sebelum meninggalkan Ende, Bung Karno sempat menanam pohon kokara, sejenis pohon yang berdaun lima. Lalu dikemudian hari, pohon itu ia beri nama "pohon Pancasila". Konon Bung Karno merenungkan butir-butir mutiara kebangsaan yang menjadi pokok-pokok pikiran Pancasila disini.
Ende telah menjadi bagian sentral dari histori dinamika perjalanan bangsa---ia adalah tempat kontemplasi Bung Karno dalam merumuskan Pancasila dan rahim atas lahirnya Pancasila yang pada awal Juni kita peringati.
_______
Sebelumnya tulisan ini pernah saya muat di mojok.co dan kali ini saya muat ulang di kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H