Mohon tunggu...
Faiz Romzi Ahmad
Faiz Romzi Ahmad Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa di Perguruan Tinggi Islam di Banten

Menulis adalah tanda bahwa kau pernah hidup

Selanjutnya

Tutup

Humor

Segeralah, 17 April

3 Maret 2019   01:26 Diperbarui: 3 Maret 2019   06:25 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Media sosial sebagai alternative public sphere, publik bebas bersuara dan tidak terbatas ruangnya, publik atau saya perinci lagi menjadi warga net dengan leluasa mengunggah, membagi, dan mengonsumsi informasi yang tersedia. Persoalannya bagaimana warganet memilah dan memilih informasi yang bersliweran di media sosial  yang tak ada batasnya itu.

Iklim politik di pemilu 2019 masih sama dengan pemilu 2014 lalu. Polarisasi pada masyarakat makin kentara, di media sosial masyarakat terfragmentasi kedalam 2 blok politik, blok cebong dan blok kampret. Cebong-kampret bagaikan dua ujung magnet yang senama, jika didekatkan maka akan berlawanan.

Jika ditelaah, nama cebong dan kampret adalah sebagai hasil dari dinamika perdebatan politik paska pilpres 2014 yang terjadi di media sosial. Ejekan ini terus terlontar sampai sekarang, walau beberapa tokoh nasional sudah berusaha agar masyarakat yang terjebak kedalam sematan tersebut untuk meninggalkannya.

2 faksi besar cebong dan kampret lahir dari rahim media sosial, bagaimana kita tahu dan menyimak adu opini antara warganet yang pro dengan yang kontra, mereka bergulat dikolom komentar, seolah bahwa junjungannya dan argumennya lah yang paling benar.

Saling lapor atasnama hatespeech, kabar bohong, pencemaran nama baik terjadi seolah tidak berujung. Seperti lari dalam lingkaran besar sulit menemukan titik akhir dan mungkin berhenti selelahnya saja. Kiranya demikian saya mengqqiyaskannya.

Saya sebagai warganet yang nonfaksi alias tidak masuk jurang cebong-kampret hanya bisa minum kopi sambil senyum-senyum tipis, tapi lama kelamaan kopi saya habis dan membuat saya jenuh. Bagaimana tidak? Media sosial saya sesak oleh berita hoax, ujaran kebencian, dan ngababaung/ngacapruk/komentar yang tendensius. 

Celakanya bukan hanya media sosial saja, aplikasi pesan semisal whatsapp pun sama terdampak, virus-virus itu merangsek wag(whatsappgroup), snap wa, dan lainnya, isinya tetap sama yakni perdebatan kusir, ujaran kebencian, dan berita hoax.

Kita tarik ke lapangan, di waktu yang kian dekat ini, menuju 17 April dinamisasi politik makin memanas, elit dan alit saling tebar pembenaran. Polarisasi di kalangan elit(para pejabat/politisi) dan dikalangan alit(masyarakat biasa) makin meruncing. 

Jika para elit yang berdebat, saling sikut sampai melotot maka wajar, karena mereka memiliki profit atas pembelaannya itu. Tapi jika alit yang berdebat, saling sikut sampai melotot bahkan mengarah pada konflik horizontal, maka kerugian sosial akan dihadapinya. 

Jika elit yang berdebat mereka ada moderator sebagai fasilitasnya dan memediasi fungsinya, jika alit yang berdebat mereka tidak ada moderator dan terkadang baku hantamlah ujungnya.

Dari kondisi yang stagnan dan masyarakat yang hanyut dalam makian karena terjebak oleh pembelaan dan pembenaran terhadap junjungan, maka saya ingin segeralah agar 17 April dipercepat.

__________

Serang, 3 Maret 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun