Jogja. Di hotel ini kami baru saja menemui seorang teman yang sedang liburan di Jogja. Sambil pulang ke rumah, kami ingin berhenti di Angkringan Kopi Joss. Tapi istri saya tidak setuju, dan akhirnya kami memilih mencari makan dan minuman di depan pasar kotagede yang kebetulan lokasinya tidak berjauhan dengan rumah kami.
Jam 21:00 WIB kami keluar dari salah satu hotel di Dagen,Awalnya kami ingin menikmati minuman Bajigur sambil makan jagung dan pisang bakar. Tapi sayang, minuman bajigur sudah habis. Kami pun berjalan dan menemukan angkringan yang ramai oleh pengunjung. Saya memesan jahe panas.
Biasanya jahe panas dibuat dengan seduhan minuman jahe yang sudah siap disajikan, tinggal ditambah air panas. Tapi pada angkringan itu, jahe panas dibuat dari jahe yang digrepek, kemudian ditambah gula merah. Ditambah air yang memang masih panas, segelas jahe panas rasanya nikmat sekali.
Denyut pasar kotagede tampaknya tak pernah berhenti memberi ruang dan kesempatan bagi yang ingin mengais rezeki. Siapa saja boleh berdagang. Selama masih ada ruang yang kosong, kita bisa memanfaatkannya untuk berjualan, baik di pagi, siang, sore maupun malam harinya.
Seorang bapak yang biasanya menjual pisang di saat pagi hari, tanpa sengaja saya melihatnya sedang mengemas dagangan pisangnya sambil menutup lapaknya. Tampaknya, bapak itu tidak hanya pagi saja menjual pisangnya. Bahkan pada malam hari pun, dia tetap membuka lapak dagangannya.
“Buat ikut ngeramein pasar di malam hari,” katanya.
Saya membeli satu sisir pisang kepok berharga 15 ribu, lalu duduk di tikar yang disediakan Bapak itu sambil minum jahe panas yang tadi saya beli di angkringan. Saya mengamati pisang-pisang yang tadi dikemas ternyata hanya ditumpuk di depan pintu masuk pasar dengan ditutupi kain bagor.
“Nggak dibawa pulang Pak pisangnya?” tanya saya.
“Nggak, kalau ada yang ngambil nggak papa, biasanya orang lapar butuh makan,” jawab Bapak itu.
Tiap malam minggu, pemandangan pasar kotagede bukan hanya melulu seputar transaksi ekonomi antara penjual dan pembeli. Ada sekelompok anak muda yang menampilkan pertunjukan musik secara live. Mereka bukan hanya menghibur orang-orang yang sedang berjualan maupun yang membeli di pasar, tapi juga akan mengundang perhatian pengendara yang melewati pasar.
Bahkan sejak 2015, ada festival musik tahunan Pasar Keroncong Kotagede. Selain musisi dan grup keroncong dari Jogja, festival ini juga menghadirkan musisi dari Jakarta, seperti Syaharani, Oppie Andaresta, dan lainnya.
Yang lebih spesial dari festival ini, bukan saja musisi lokal dan nasional yang terlibat dalam perhelatan serta pertunjukannya. Tapi, musisi dari luar negeri pun juga terlibat dalam proyek kesenian ini.
Hannah Standiford, vokalis Orkes Keroncong Rumput dari Amerika pernah tampil dalam festival ini pada tahun 2017 . Saya cukup kenal dengan Hannah dan beberapa kali pernah memfasilitasi presentasi penelitiannya tentang keroncong di beberapa kampus di Jogja.
Dengan pertunjukan musik tiap malam minggu dan adanya festival musik tahunan Pasar keroncong kotagede, pasar tradisional seperti Pasar Legi Kotagede tidak hanya menampilkan wajah tunggal ekonomi yang terfokus pada transaksi jual beli. Pasar ini juga memiliki wajah lain yang menyediakan ruang terbuka untuk berekspresi dalam berkesenian.
Tidak menutup kemungkinan kalau warga jogja masih bisa memanfaatkan fungsi Pasar Legi Kotagede secara lebih luas lagi untuk tidak berhenti pada fungsi ekonomi dan kesenian. Semoga.
Catatan: Tulisan ini pertama kali tayang pada tanggal 12 November 2021 di http://www.faisholadib.id/2021/11/22-pasar-kotagede-di-malam-hari.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H