Mohon tunggu...
faishal rosyad
faishal rosyad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

Saya adalah seorang mahasiswa akhir di Universitas Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Film Dokumenter Kesenian Bebanjangan, Warisan Budaya Lokal yang Masih Eksis di Zaman Modern

1 Juli 2024   21:28 Diperbarui: 1 Juli 2024   21:39 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film dokumenter "Bebenjangan" adalah sebuah film yang menceritakan tentang seni
pertunjukan tradisional Benjang yang berasal dari daerah Ujungberung, Bandung, Jawa Barat.
Film ini disutradarai oleh Belva Atsil, seorang mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia,
dan berdurasi 24:32 menit.
Film ini membahas tentang dua jenis Benjang, yaitu Benjang Helaran dan Benjang
Gulat. Benjang Helaran adalah seni pertunjukan yang berbentuk arak-arakan yang sering
diadakan untuk memeriahkan acara-acara seperti nikahan, festival budaya, pawai, dan
khitanan. Fungsi dari Helaran adalah sebagai "ngabebenjokeun budak" yang dapat diartikan
sebagai "mengalihkan perhatian anak-anak" agar anak yang dikhitan dapat teralihkan
perhatiannya dari rasa sakit dengan atraksi kuda lumping, reak, dan sebagainya.
Pada menit 05:15 di jelaskan bahwa Benjang Gulat adalah seni beladiri tradisional yang
dipertontonkan sebagai hiburan rakyat. Gulat dimainkan oleh dua orang laki-laki yang saling
beradu kekuatan dan ketangkasan diiringi dengan alunan alat musik tradisional. Para peain
Benjang Gulat tidak menggunakan pelindung apapun, sehingga pertunjukan ini cukup
berbahaya.
Film ini juga membahas tentang sejarah Benjang dan makna yang ada di dalamnya.
Seni pertunjukan ini pun terbagi menjadi dua jenis, yaitu Benjang Helaran dan Benjang Gulat.
Budayawan, Pelaku Seni, dan masyarakat berharap seni pertunjukan Benjang tidak
dikembangkan ke arah yang negatif, entah itu dengan minuman keras maupun tindakan tidak
senonoh. Kultur yang semacam itu akan menghambat dan mencoreng citra seni
pertunjukan Benjang.
Film ini dibuka dengan informasi dari berbagai narasumber tentang bebenjangan dan
kesaksian dari pemain kuda lumping yang sering mengalami "kesurupan". Warisan budaya
bebenjangan yang dilestarikan oleh banyak sanggar budaya diperkirakan telah ada sejak abad
ke-20. Di balik perayaan arak-arakan meriah untuk anak yang dikhitan, terdapat atraksi kuda
lumping yang "kesurupan" yang sering membuat pemain dan penonton kotor dengan lumpur
atau kotoran sapi. Selain itu, ada atraksi berbahaya seperti makan piring atau gelas kaca,
menggunakan cambuk, bahkan memakan telur dan ayam mentah dengan beringas yang
ditampilkan dalam film ini.
Atraksi-atraksi ini sering mengganggu aktivitas dan bahkan melukai warga sekitar. Hal
ini menimbulkan anggapan bahwa seni bebenjangan telah "dikotori" karena sangat
meresahkan. Seperti pada menit 16:01 di jelaskan bahwa banyak suami yang kurang suka
adegan seperti menggesekan kemaluannya di kepala istrinya karena hal tersebut bebanjangan
di larang untuk pentas kembali.
Lebih lanjut, menurut kesaksian pemain kuda lumping, mereka melakukan tindakan
tersebut dalam keadaan mabuk akibat minuman keras yang dikonsumsi sebelum atraksi. Film
ini juga menyoroti sisi negatifnya, di mana para pemain yang "kesurupan" melakukan
pelecehan seksual terhadap wanita saat berkeliling. Film ini menggambarkan pelecehan
tersebut berupa pelukan paksa, memukul area sensitif, bahkan menahan tubuh wanita dalam
waktu yang cukup lama secara bergantian. Tindakan seperti ini sangat disayangkan karena pada
dasarnya, seni bebenjangan bertujuan untuk melestarikan budaya, bukan untuk dimanfaatkan
sebagai modus untuk melakukan tindakan tercela.
Selain itu atraksi atraksi di dalam bebanjangan juga dapat untuk menghibur anak yang
akan melakukan khinatan seperti yang di jelaskan pada menit 02:57 ngabebekeun budak karian
atau sebagai penghilang rasa takut sebelum di khitan
Bebenjangan adalah salah satu budaya dari daerah Ujung Berung, Bandung Timur,
Jawa Barat. Ada tiga jenis bebenjangan, yaitu topeng benjang, lengser, dan jaran kepang.
Bebenjangan biasanya dilakukan untuk merayakan khitanan, yaitu berupa arak-arakan
mengelilingi desa dengan sisingaan atau rajawali. Bebenjanggan ini diiringi dengan musik khas
serta tak luput dari kuda lumping yang terkenal dengan atraksi "kesurupan". Persiapan yang
dilakukan untuk melakukan atraksi ini umumnya adalah sesajen yang berupa kopi, teh, susu,
telur dan ayam mentah, minyak wangi, dan lain lain. Selain khitanan, bebenjangan juga bisa
dilakukan untuk acara pernikahan .Bebanjangan ini merupakan film dokumenter, Film ini
mengangkat cerita bagaimana bebenjangan di daerah asalnya berdasarkan informasi terpercaya
dari beberapa narasumber, mulai dari sejarah berkembangnya, pelaksanaannya, bahkan
penyimpangan yang terjadi dimana seni dimanfaatkan sebagai peluang melakukan aksi
pelecehan seksual, khusunya pada para wanita.
Seni Benjang, yang berasal dari daerah Ujungberung, Bandung, Jawa Barat, telah
mengalami perubahan dalam beberapa tahun terakhir. Berikut beberapa faktor yang membuat
seni Benjang semakin melenceng dari nilai-nilai seni-budaya:
Pengaruh Minuman Keras: Minuman keras seperti bir dan alkohol telah menjadi bagian
dari acara Benjang, sehingga mengubah sifatnya dari hiburan tradisional menjadi acara
yang lebih berisik dan berbahaya. Hal ini telah mengubah makna dan tujuan dari
Benjang, yang semula sebagai sarana hiburan dan silaturahmi menjadi acara yang lebih
berfokus pada minuman keras.
Penggunaan Pelindung: Penggunaan pelindung tidak dalam pertunjukan Benjang Gulat
telah mengurangi risiko cedera dan kematian yang sering terjadi dalam pertunjukan ini.
Namun, penggunaan pelindung juga telah mengubah sifat Benjang dari seni beladiri
tradisional menjadi lebih berfokus pada keselamatan daripada kesenian.
Pengaruh Budaya Barat: Pengaruh budaya Barat telah membuat Benjang semakin
berfokus pada hiburan daripada kesenian. Hal ini telah mengubah makna dan tujuan
dari Benjang, yang semula sebagai sarana hiburan dan silaturahmi menjadi acara yang
lebih berfokus pada hiburan dan kesenangan.
Larangan Pemerintah: Pemerintah telah mengeluarkan larangan untuk menggelar
Benjang Gelut, yang dinilai sebagai acara yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya
dan moral. Hal ini telah menghambat perkembangan Benjang dan membuatnya
semakin melenceng dari nilai-nilai seni-budaya.
Kurangnya Kesadaran Masyarakat: Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap
pelestarian seni beladiri Benjang telah membuat seni ini semakin melenceng dari nilai-
nilai seni-budaya. Masyarakat telah lebih fokus pada hiburan daripada kesenian,
sehingga mengubah sifat Benjang dari seni tradisional menjadi lebih berfokus pada
hiburan.
Pada menit 16:35 di jelaskan bahwa beberapa faktor tersebut telah membuat seni
Benjang semakin melenceng dari nilai-nilai seni-budaya. Untuk mengembalikan Benjang ke
nilai-nilai seni-budaya aslinya, diperlukan upaya pelestarian dan pengembangan
yang lebih baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun