Mohon tunggu...
mochamad faishalrafly
mochamad faishalrafly Mohon Tunggu... Lainnya - saya sebagai mahasiswa diunivesitas pancasila

hallo, nama saya faishal. saya kuliah diuniversitas pancasila fakuktas pariwisata

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kampung Naga Tasik Jawa Barat

27 Juni 2023   17:00 Diperbarui: 27 Juni 2023   17:02 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama          : Mochamad Faishal Rafly

Nim             : 8022210035

Mata kuliah : Uas Pariwisata Berkelanjutan

Dosen          : Fahrurozy, MP. Par

Kampung naga merupakan sebuah kampung adat yang cukup terkenal dijawa barat. Lokasi kampung naga sendiri berada di desa neglasari, kecamatan salawu, kabupaten tasikmalaya, jawa barat, tepatnya berada di antara lembah yang subur diperbukitan neglasari.

Kampung naga sendiri merupakan salah satu kampung adat yang masih menerapkan prinsip ketradisionalan yang kuat serta tingkat pamali yang cukup tinggi.

Masyarakat kampung naga patuh akan pesan leluhur

Menurut endut suganda selaku sesepuh kampung naga, masyarakat disini merupakan keturunan suku sunda asli. Menjelaskan juga bahwa seluruh masyarakat kampung naga masih sangat patuh terhadap pesan leluhur meraka, mulai dari soal kesederhanaan, hidup rukun dengan memegang teguh adat tradisi dalam menjaga alam, termasuk soal hubungannya dengan lingkungan sekitar pemberi kehidupan.

Masyarakat kampung adat naga                            

Menghormati alam sekitar

Masyarakat kampung adat naga pun masih tetap menjaga keaslian budaya mereka tanpa terpengaruh oleh kemajuan teknologi dan informasi di era sekarang. Mereka masih setia terhadap tradisi nenek moyang. Mereka juga tetap menjaga dan menghormati hutan yang anggap terlarang oleh masyarakat sekitar tersebut.

Terdapat tugu kujang sebagai simbol khas sunda

Dikampung naga sendiri terdapat tugu kujang raksasa ( senjata tradisional khas sunda) yang merupakan ikon baru diwilayah kampung naga. Menurut warga sekitar tugu tersebut memiliki nilai filosofis dengan masyarakat yaitu nilai kesundaan yang kuat dari bangunan setinggi 5,5 meter tersebut

Mayoritas penduduk kampung adat naga bekerja sebagai petani, selebihnya berprofesi sebagai pedangang kecil, peternak, pegawai negri dan swasta, serta buruh lepas lainnya. Selain usaha kecil dibidang kerajinan tangan, tidak ada  sektor industri sektor besar yang melibatkan banyak tenaga kerja didaerah ini. Dapat dikatakan, bahwa kampung naga dan daerah sekitarnya ini mencerminkan kehidupan agraris ditanah priangan pada umumnya.

Sistem mata pencaharian kampung naga, umumnya masyarakat kampunng naga memiliki mata pencaharian seperti bertani dan juga berkebun serta beberapa aktivitas lainnya seperti memancing dan juga menumbuk beras ketan untuk dijadikan olahan lain. Tetapi seiring dengan berjalannya zaman dan juga banyak perubahan yang terjadi, terdapat beberapa bentuk usaha lainnya seperti menjadi pemandu wisata dikampung naga, kemudian ada pula yang toko cenderamata atau yang bisa kita sebut sebagai yang menjual aksesoris dan juga kelengkapan yang menjadi ciri khas kampung naga. Serta ada beberapa warung dan pedangan asongan yang menjual makanan dan minuman untuk pengunjung yang tidak menbawa bekal.

Pekerja dikampung naga tersebut selain dipengaruhi perkembangan dan perubahan zaman, dipengaruhi juga oleh sumber daya alam yang ada di kampung naga tersendiri, misalnya sperti ketika bentang alamnya merupakan persawahan dan juga hutan, maka profesi dari masyarakat kampunng adatnya adalah petani

Salah satu, struktur bangunan rumah panggung tahan gempa dan fasilitas umum yang digunakan disana. Saat ini kawasan permukiman kampung naga memiliki sekitar 112 bangunan dengan pola gedung panggung. Total jumlah penduduk 294 orang, dari 101 kepala keluarga (KK) yang mendiami kampung naga sejak lama. Namun, dari jumlah bangunan yang ada, tiga diantaranya termasuk fasilitas umum. Sebut saja masjid untuk kegiatan keagamaan warga sekitar, kemudian bumi ageung yang digunakan untuk upacara adat, serta bale kampung naga yang difungsikan buat musyawarah warga. "selain tiga bangunan itu, seluruhnya rumah warga yang saling berhadapan" sementara bagi warga sanaga atau para tamu yang masih memiliki keterikatan dengan masyarakat kampung naga, terdapat juga beberapa bangunan petambon yang bisa difungsikan untuk tempat beristirahat mereka. " daripada harus pulang malam, lebih baik kami sediakan disini"

Untuk melindungi kelestarian kampung naga, pemangku adat kampung naga membuat pagar pembatas ganda, untuk membedakan dari wilayah kampung lainnya. " biasanya beberapa tahun sekali gantian, jika sekarang bagian dalam (diperbaiki) tahun depannya pagar bagian luar"

Seluruh bangunan masyarakat kampung naga merupakan rumah panggung, terbuat dari bambu dan kayu tanpa dicat. "biasanya bagian bawah buat ingon-ingon (peternakan)

Struktur bangunan

Liputan6.com

Soal struktur rumah, bagian dinding, ruang tamu, bagian depan dan bagian dalam rumah, biasanya menggunakan dinding anyaman kepang atau biasa disebut disebut bilik berbahan baku bambu. Sedangkan bagian dapur, atau pintu masuk rumah, biasanya menggunakan anyaman sasag. " bahannya sama yakni bambu", penggunaan anyaman itu bukan tanpa alasan, selain sebagai ventilasi agar udara didalam rumah tetap segar, juga sebagai sarana silahturahmi antara warga sekitar.

Bahkan khusus anyaman sasag bambu yang biasa digunakan untuk pintu, biasa digunakan melihat adanya orang jahat yang berada diluar, dari bilik pintu. " kalau dari dalam bisa melihat keluar, tetapi dari luar tidak bisa"

Untuk urusan struktur atap rumah, bahan yang digunakan mayoritas rumah panggung kampung naga, terbuat dari anyaman daun tepus(nipah), ijuk pohon aren, hingga alang-alang, sementara bagian lantai rumah terbuat dari bambu dan papan kayu. " seluruh bangunan menggunakan pondasi batu-batuan dengan ketinggian satu meter"

Perilaku masyarakat kampung naga

Masyarakat Kampung Naga berkomunikasi

sehari-hari menggunakan bahasa sunda halus, baik dalam kegiatan upacara adat maupun kegiatan lainnya yang ada di Kampug Naga. Masyarakat Kampung Naga tidak boleh berbicara dengan kata-kata kasar, katanya itu tidak enak di dengarnya dan sangat tidak sopan. Dapat dilihat dari Kampung Naga merupakan Kampung adat yang masih menjaga kebudayaannya, otomatis masih menjaga bahasa sunda yang halus dalam berbicara dengan masyarakat Kampung Naga sendiri maupun berbicara dengan masyarakat di Luar KampungiNaga. Dari Logat berbicara masyarakat Kampung Naga pun berbeda dengan masyarakat di luar Kampung Naga.

Masyarakat Kampung Naga ingin menjaga keaslian budaya mereka tanpa terpengaruh oleh kemajuan teknologi dan informasi di era sekarang. Hal utama yang menjadi prioritas adalah hidup dengan melestarikan adat dari para leluhur Makna kesederhanaan sudah melekat dengan masyarakat kampung adat naga sebagai pedoman hidup. Memilih untuk hidup berdampingan dengan kesederhanaan adalah jalan mereka. Menurut warga Kampung Naga, manusia akan sadar bahwa dengan hidup secara beriringan bisa menghindarkan manusia dari berbuat kerusakan yang bisa merugikan.

Berada di tengah masyarakat global, masyarakat Kampung Naga pun tetap tidak melupakan dunia luar dan dapat bersikap kooperatif dengan masyarakat umum maupun pemerintah. Mereka dapat menerima kemajuan-kemajuan teknologi asalkan tidak bertentangan dengan hukum adat yang dipegang. Adat yang dipegang teguh banyak mengajarkan kepada kesederhanaan, pelestarian lingkungan dan sifat gotong royong yang masih cukup kental. Ini semua hal-hal yang mulai terkikis ditengah masyarakat umum pada masa sekarang ini. Hal demikian memberikan inspirasi untuk mengkaji lebih jauh bagaimana sebenarnya pola-pola komunikasi masyarakat Kampung Naga yang ada sehingga dapat mempertahankan warisan budaya dalam kurun waktu yang cukup lama. Berikut hasil pengamatan tentang pola interaksi sosial masyarakat Kampung Naga serta wawancara dari beberapa narasumber :

*         Pola Hubungan Antar Sesama Warga

  • Mereka mengenal satu sama lain di Kampung Naga, sehingga timbul perasaan saling menyayangi. Menurut Bu Heni, salah seorang warga, "Di Kampung Naga warga hidup rukun dan saling menghargai. Hal ini terbukti  karena tidak pernah terjadi konflik antarwarga." Setiap sore hari ibu-ibu biasa berkumpul bersama untuk berbincang-bincang sambil menunggu suami mereka pulang dari ladang sedangkan anak-anak bermain bersama setelah pulang sekolah. Memang terlihat sepele tetapi kegiatan ini memupuk keakraban antar warga. Sedangkan untuk komunikasi yang membutuhkan penyebaran cepat misalnya untuk pemberitahuan gempa, bahaya, warga meninggal, ingin mengumpulkan massa ataupun memberitahukan waktu-waktu penting (waktu subuh, magrib dan isya), digunakan kentongan besar yang ada di depan masjid agar terdengar oleh semua warga.
  • Mereka berkewajiban membantu jika ada yang kesulitan. Prinsip gotong royong juga mereka anut sebagai pegangan hidup masyarakat karena mereka beranggapan bahwa sikap gotong royong merupakan hal paling penting dan utama yang harus terus dijaga dalam berkehidupan. Tidak satu pekerjaan dapat diselesaikan secara individu kecuali dengan bantuan orang lain. Sebagai contoh, dalam acara perkawinan, pembangunan rumah tinggal, perbaikan saluran air, sunatan, ataupun hajat-hajat yang dilaksanakan oleh seseorang. Secara sukarela dan tanpa paksaan masyarakat lain akan turut serta membantu orang yang mempunyai hajat sehingga dapat meringankan beban dari orang tersebut. Tak hanya dalam hal yang menyangkut kesenangan, dalam duka pun mereka tetap membantu. "Bila ada warga yang sakit secara spontan warga akan memberikan pertolongan," tutur Pak Ajat, seorang warga Kampung Naga.
  • Mereka berkumpul bersama dalam acara rohani ataupun upacara-upacara adat rutin. Untuk ibu-ibu diadakan pengajian rutin setiap hari Jumat sekaligus arisan. Berdasarkan keterangan yang kami dapat dari Pak Risman selaku ketua RT, upacara adat yang rutin diselenggarakan ada enam kali, yaitu pada hari raya Muharam, Maulid, Jumadil, Ibnu Syaban, Syawal dan Dul Hijah. Upacara ini dilaksanakan semua warga Kampung Naga.
  • Mereka juga mengikuti perkembangan zaman dan menggunakan media massa seperti televisi dan radio. Walaupun hanya beberapa yang memiliki tetapi mereka menggunakannya bersama. Selain mendapat hiburan, hal ini juga menambah kekompakkan warga karena terjadinya interaksi sosial secara langsung. Biasanya mereka harus men-charge aki atau dinamonya terlebih dahulu karena Kampung Naga tidak menggunakan listrik. Bahkan ada diantara mereka yang pergi ke Kampung Naga luar hanya untuk menonton televisi. Tak hanya itu, untuk memiliki wawasan lebih mereka juga menyekolahkan anak-anak mereka pada sekolah umum yang letaknya di luar Kampung Naga. Memang Kampung Naga sekilas tampak tradisional tapi jangan salah, sekitar dua belas pemuda Kampung Naga mendapat beasiswa dari pemerintah untuk belajar di Jepang dan salah satunya adalah Pak Ucup yang telah kembali. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak buta informasi dan dapat menyimak perkembangan-perkembangan masyarakat lain meski tak memiliki teknologi canggih seperti internet ataupun Handphone.

Konservasi energi kampung naga

Kampung Naga memiliki aturan tersendiri dalam pengonsumsian energi listrik. Masyarakat menghindari masuknya aliran listrik dengan daya yang besar seperti kabel listrik PLN. Penggunaan kayu dan daun sebagai material bangunan di Kampung Naga menjadi alasan utama mengapa hal tersebut dilakukan. Masyarakat menghindari potensi terjadinya kebakaran. Selain itu, masyarakat beranggapan bahwa dengan masuknya listrik akan mengubah gaya hidup yang sederhana dan tidak berlebihan. Gaya hidup berlebihan akan membuat perbedaan di setiap manusia yang pada hakikatnya sama dihadapan Tuhan. Tidak adanya jaringan listrik yang masuk ke dalam kampung membuat penilaian pada aspek ini rendah atau tidak berpoin. Namun, meski dalam standar penilaian GREENSHIP hal ini tidak termasuk hijau, pada prinsipnya justru terdapat nilai-nilai ekologis yang tinggi diterapkan oleh masyarakat. Dari total 109 rumah tinggal yang dihuni, terdapat 9 rumah tinggal yang memiliki televisi dan radio. Artinya, warga tetap membutuhkan hiburan, teknologi dan juga pengonsumsian energi listrik. Namun energi listrik tersebut didapat dari sumber listrik berupa accu (7 rumah) dan solar panel (2 rumah). Daya yang dihasilkan memang tidak sebesar yang dialirkan jaringan listrik, namun inilah yang diharapkan warga agar tidak terus menerus mengonsumsi listrik. Dalam analisis deskriptif dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kampung Naga memiliki kontrol konsumsi energi listrik yang tinggi sehingga menambah penghematan listrik negara.

Perihal sampah, masyarakat Kampung Naga telah mampu memanfaatkan sampah yang tidak berguna menjadi peluang usaha yang mampu meningkatkan pendapatan warganya. Upaya penanganan sampah dengan memilah sampah basah (organik) dan sampah kering (anorganik) rumah tangga, dan dilanjutkan dengan proses dekomposisi terhadap sampah organik sehingga menghasilkan pupuk kompos. Sampah dapur diolah menjadi pupuk kompos, sedang sampah-sampah plastik yang masih bisa dimanfaatkan digunakan kembali. Tempat sampah yang terbuat dari bambu diletakkan di dekat rumah dan di tempat-tempat strategis di sepanjang jalan menuju Kampung Naga, sehingga kondisi kampung tetap bersih. Setelah penuh, tempat sampah bisa diangkat dan sampah dibuang di beberapa tempat pembakaran sampah yang sudah disiapkan antara lain seperti di sudut kampung, di tepi jalan, dan di pinggir sungai.

Pengendalian Polusi Udara

Keunikan lain dari aktivitas pertanian di Kampung Naga terjadi pada masa pasca panen. Petani pantangan membakar jerami. Mereka percaya bahwa kegiatan membakar jerami akan mengurangi kesuburan tanah dan menyebabkan polusi udara. Mereka memanfaatkan tangkai padi untuk pupuk dengan cara menimbun jerami didalam tanah selama satu bulan. Pantangan membakar jerami ini telah diakui sisi ilmiahnya oleh Sereenonchai & Arunrat (2018) yang menjelaskan bahwa membakar jerami di sawah justru akan menyebabkan kualitas tanah menjadi buruk. Hal ini akan berdampak pada kualitas padi yang tumbuh.Padi akan berwarna keruh atau cenderung kecoklatan. Dengan demikian akan menghasilkan nasi yang kurang sehat untuk dikonsumsi. Efek lain yang ditimbulkan dari adanya aktivitas pembakaran jerami adalah polusi udara dan lingkungan. Polusi ini tidak hanya berdampak pada kualitas udara yang dihirup oleh masyarakat, tetapi juga memberikan efek pada temperatur udara yang menjadi lebih panas. Ini akan berdampak pada dehidrasi. Sebaliknya, bila petani tidak membakar jerami di sawah, maka kesuburan tanah akan tetap terjaga sehingga padi akan tumbuh dengan warna pohon yang hijau segar. Saat menjelang panenpun padi akan kuning keemasan. Manfaat positif lainnya adalah langit akan cerah dan udarapun segar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun