Sido adalah orang yang suka membantah. Emosinya tinggi dan menakutkan. Kadang-kadang kemarahannya ditunjukkan dengan melemparkan piring makanan yang telah dihidangkan. Aku ingat suatu kali pernah membantu salah seorang paman mengumpulkan potongan makanan dari langit-langit dan jendela dapur. Ia punya suara serak yang keras dan dapat dengan mudah membuat seseorang takut pada Tuhan. Di pagi hari ia akan duduk menyilangkan kaki di atas sebuah matras, membaca Al-Qur'an dengan keras, meninggikan setiap kata. Ia sangat disiplin, kalau tidak berakhir dengan mendapat kemarahan atau tongkatnya, situasinya akan berubah menjadi lelucon. Suatu kali ia pernah mengejar salah satu sepupuku hingga ke atap membawa sebuah selang karet, mengutuk garis keturunannya dan keturunan sepupuku nanti, hingga membuat para sepupu dan paman-pamanku berkaca-kaca karena tertawa terpingkal-pingkal.
Di saat yang sama, Sido punya rasa belas kasih dan kemurahan hati yang dalam. Ia menyayangi bayi, tidak pernah dengan kadar sedikit dalam keluarga kami. Sebuah kehormatan jika ia memanggilmu ke dalam kamarnya, dimana ia memberi cucu-cucunya permen dari sebuah simpanan tersembunyi. Ia akan mengeluarkan sebuah plastik tembus pandang penuh dengan koin Shekel dari lipatan dishdasheh (jubah khas Arab, -penj) putihnya, dan satu per satu membaginya untuk kami. Dulu, kamu bisa membeli banyak barang di toko permen dengan satu Shekel.
Aku sangat menginginkan kenangan terbaru dari Sido dan aku. Sebuah foto, sebuah percakapan, sebuah sentuhan.
Sido meninggal. Sebuah kenangan melintas di benakku. Musim panas, beberapa tahun lalu, listrik padam beberapa jam. Kemudian menyala kembali lewat tengah malam. Sido menyalakan TV dan membungkuk ke depan kasurnya, tertawa saat melihat The Fresh Prince of Bel-Air. Penjajahan telah melarang kami melakukan banyak hal. Hak untuk mengunjungi keluarga. Hak untuk menjadi sebuah keluarga.
Sido meninggal, dan aku pulang di suatu petang, menahan diri untuk tidak menangis, ada rasa nyeri di rongga perutku. Mataku berair ketika terpikir ayahku, sendirian di Uni Emirat Arab. Sebelumnya ibuku menelepon paman-pamanku. Salah satu dari mereka menangis keras, ibuku tidak memahaminya. Aku menelepon kembali malamnya dan mereka sepertinya lebih tenang. Aku minta bicara dengan nenekku. Telepon dipindahkan dari satu ruangan ke sebelahnya, aku menekan ponselku lebih dekat ke telinga, mendengarkan sebuah dunia yang aku tidak dapat berada di sana: suara batuk bayi, gumaman anak-anak, suara berbisik, "Ini putrinya Abdullah, bicaralah dengannya."
Pernyataan formal diberikan ketika seseorang meninggal dunia. Jawaban formal. Air mata berjatuhan.
"Hatiku sedih, ya Sitti, hatiku sedih!" Nenekku menangis.
"Tuhan memberimu kekuatan," bisikku.
"Inilah hidup, orang lahir dan mati, tapi kesedihan?!"
Aku tidak bisa menerima ketidakadilan situasi ini. Aku tidak sedang membicarakan tentang kematian, karena itu alur alamiah. Aku bicara tentang diaspora kecil dalam keluargaku.
Kadang rasanya keterlaluan sekali, bagaimana kami tidak bisa bersama karenakesintingan sebuah pemerintah xenophobic, seluruh negara menghendakinya. Kesedihan dan duka, penderitaan dan keputusasaan sama sekali tidak masuk akal bagi yang menganggap alasan mengapa kami harus mengalami semua ini. Aku percaya warna kulitku tepat, tapi agamaku tidak. Aku tidak bicara bahasa Ibrani yang terpilih. Sulit dimengerti jika manusia harus menjadi penyebab penderitaan manusia lain didasarkan pada beberapa ideologi imperialis, jika kamu benar-benar memikirkannya. Aku tidak bisa