Rupahnya si penjahit yang tidak lagi menjahit itu sangat ramah. Dia tidak pernah menutup diri apalagi bersembunyi. Dengan cepat aku lepaskan tanya kepadanya, tanya yang telah aku simpan jauh hari sebelumnya.
"Kek si penjahit yang tidak lagi menjahit, bukankah kata temanmu kau menjahit budaya dan identitas, lantas mana budaya dan identitas itu?"
"Siapa yang bilang begitu nak?"
"Teman kakek sendiri yang juga masih hobi menjahit bilang begitu."
"Ah tidak, itu mungkin hanya sebuah sematan mereka ke saya nak."
"Tapi saya tidak paham, kenapa kopia hitam kau jahit dengan bordir bertuliskan identitas, lalu kebaya itu mirip sekali punya nenekku yang kata bapakku saat senang dia kenakan di masa dulu ketika nenek masih mudah."
Kakek itu masih diam, seperti merayu ingatan di masa lampaunya. Entah apa yang di pikirnya itu, sekilas aku menatap mataya bergerak liar ke kiri dan ke kanan, dengan kening yang sesekali mengeruk.
"Ini nak, memang dahulu nama saya di kenal luas seantero negeri. Saya di kenal karena hanya satu-satunya si penjahit yang menjahit kopia lalu digunakan oleh para tokoh besar negeri ini. Iya, itu bermula ketika Bung Karno memperkenalkan kepada semua bahwa kopia hitam ada identitas. Sementara kebaya dulu adalah pakaian yang banyak di minati oleh para wanita. Kebaya dulu di gunakan oleh para wanita dalam keseharian mereka. Kebaya juga bagian dari kebudayaan yang di warisi sejak dua ratus tahun lalu oleh moyang kita."
"Jadi begitu ceritanya, lantas itu yang mereka bilang kalau kakek si penjahit yang tidak lagi menjahit ini menjahit identitas dan budaya?"
"Mungkin seperti itu nak, karena saya sendiri tidak pernah tahu istilah atau sematan itu."
"Lalu kenapa kakek si penjahit yang tidak lahi menjahit ini memilih berhenti menjahit?"