Mohon tunggu...
Faisal yamin
Faisal yamin Mohon Tunggu... Nelayan - Belajar menulis

Seorang gelandangan pikir yang hobi baca tulisan orang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepucuk Surat Rindu Untuk Azzahraku

3 April 2021   22:47 Diperbarui: 3 April 2021   23:25 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di atas dermaga harapan aku masih mematung. Sekali begitu, pandanganku liar menikmati pesona senja dengan cahaya merah menerobos setiap celah. Petala berubah menjadi jingga seperti luapan api dari tungku ibu menanak nasi buat makan malam. Sementara, di garis pantai sisi kiri dermaga, terlihat pohon Mangrove yang kokoh berdiri tanpa sedikit mengerakkan dedaunannya. Iya, sebab sore itu angin terlalu pelan dan bahkan pelan sekali seperti siput yang merangkak.

Perlahan aku arahkan pandanganku ke arah perahu-perahu nelayan di kejauhan. Perahu-perahu itu terlihat mulai menghampiri pantai. Harapanku, semoga mereka pulang membawa untung sehingga setiap istri dan anak mereka berbahagia menyambut mereka di atas pasir.

"Bang, ayo bentor sudah menunggu kita di depan." Ucap Akbar yang langsung mengurai lamunanku.

"Oh iya, aku langi menyimak Halmahera yang luas dengan punggungnya yang masih hijau." Jawabku pelan.

"Iya Bang, Halmahera memang kaya. Aku adalah sekian orang yang mengaguminya."

"Tidak hanya engkau, aku juga demikian juga Azzahraku yang selalu bercerita tentang kekagumannya terhadap Halmahera."

"Wah, rupanya abang rindunya pada Azzahra yang ada di kota tua." Akbar bergurau dengan sedikit tawa.

"Rupanya kau bisa membaca pikiranku." Ujarku dengan sedikit senyum.

Kami pun bergegas menuju ke arah bentor. Namun sebelum aku arahkan pandanganku ke kota tua sembari berujar pada angin.

"Ketahuilah Azzahraku, bahwa rindu ini adalah milikmu."

***

Pada suatu pagi jalanan itu masih sunyi, matahari juga belum sepenuhnya menumpahkan cahaya ke bumi. Di kejauhan terdengar deru suara mesin di atas samudera. Pertanda para maestro laut mulai keluar menantang gelombang. Sementara, di dapur-dapur ibu mulai terlihat kepulan asap yang keluar dari cerobong membumbung ke atas sesaat terurai oleh hembusan angin pagi yang gigil menusuk kulit.

Memang, pagi-pagi sekali para ibu-ibu di sini sudah beradu dengan waktu. Mereka adalah yang paling sibuk di dapur. Mulai dari mempersiapkan pakaian untuk anak-anak mereka yang hendak ke sekolah juga menyiapkan sarapan untuk suami tercinta. Iya, sebuah tugas mulia yang dilakukan atas dasar cinta yang tulus lagi ikhlas.

"Apa kita nanti seperti itu Azzahra. Membangun rumah tangga yang berasaskan kasih dan sayang atas dasar cinta kita yang suci? Aku harap kita seperti itu Azzahraku." Gumaku membatin.

Aku masih terdiam dipojok jalanan dengan kesunyian yang masih menjarah jiwaku. Sesaat aku arahkan langkahku untuk mendaki bukit yang letaknya di sisi kiri kampung. Berharap di sana aku bisa melihat punggung Halmahera yang katamu indah dan permain.

"Aku tidak bisa menyembunyikan kekagumanku kepada Halmahera." Ucapmu kala itu Azzahraku.

"Ada gerangan apa sehingga kau begitu kagum? Tanyaku

"Sebab Halmahera itu terlalu indah."

"Tapi kau juga indah dan selalu indah."

Perlahan aku lewati jalan setapak yang ukurannya sekitar satu meter. Peluh mulai keluar di pori kulit dengan napas yang mulai terengah-engah. Aku istirahat sejenak di bawa pohon pala yang batangnya telah berlumut. Beberapa menit kemudian, terlihat seorang laki-laki paru baya berjalan ke karah yang sama dengan menenteng sebilah bambu di tangan kirinya. Sepertinya orang tua itu adalah petani pala yang hendak memanen buah pala.

"Panen buah pala ya kek?"

"Iya nak, kau hendak ke mana?"

"Ke bukit itu kek?"

"Oh iya, jika demikian ayo kita sama-sama saja nak. Kebetulan kita searah."

Dengan cepat aku buntuti kakek itu dari belakang. Kami berjalan di bawa rimbun pohon pala dan cengki. Sesekali melesat masuk di hamparan semak-semak. Selama perjalanan kami bicara banyak. Tentang kebun pala, petani, dan Halmahera itu sendiri. Sesampainya di bukit itu, saya memohon diri untuk menepi. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke kebunnya yang masih sekitar dua puluh menit.

Aku berdiri tepat menghadap ke arah timur. Di sana, terlihat pepohonan hijau terhampar luas. Hijau dan hijau sekali. Aku tidak bisa menyembunyikan kekagumanku tentang Halmahera. Sebab tidak hanya hutan, tapi juga hamparan pulau-pulau kecil terlihat di tengah samudera. Halmahera memang kaya, dari tanahnya yang subur, di dalam perutnya juga ada kekayaan alam berlimpah, sementara samudranya banyak biota laut yang sangat dibutuhkan manusia.

"Tanah kita kaya nak, maka didik generasi agar kelak tidak gampang di bodohi. Anak-anak cucu harus bisa mengelola dengan baik sumber daya alam kita. Jika tidak, mereka hanya akan jadi kuli." Begitulah ucapan kakek tadi sebelum berpisah denganku.

Sungguh kau benar Azzahraku. Kau mengagumi Halmahera. Kau mengantarkan aku menyusup masuk ke dalam kekagumanmu. Dan kini, aku mengagumimu juga Halmahera. Tapi aku lebih mengagumimu.

***

Sore itu aku di tanjung mara adam. Di jembatan tua yang mulai rapuh. Aku sendiri, menikmati sajian sore yang indah. Tapi tidak dengan senjanya, sebab dia tertutup oleh kelabu. Aku pandangi setiap garis pantai yang memanjang, juga para ikan julung yang sekali melompat keluar di kulit air. Di depanku juga, ada banyak bangkai speedboat yang suda mulai rusak. Iya, di situ anak-anak sering bermain air juga lompat melompat ketika turun mandi.

Sesaat kemudian cakrawala mulai cerah. Cahaya senja pun dengan cepat keluar menumpah ruah seperti tumpahan frasa dari seorang penyair ke kertas di meja penyairnya. Di kejauhan, tiga gugus pulau berdiri kokoh. Sekilas, dia seperti gambaran ayah dan ibu disisi kiri dan kanan sementara di tengah adalah anak. Iya, itu sebuah perumpamaan imajinasiku saat melihatnya.

Aku masih duduk diam, sementara cahaya senja yang jingga itu perlahan mulai memudar. Pikiranku pun mengawang-gawan dan perlahan, derai tanya mengalir deras di kepalaku. Sederas hujan yang tanpa ampun menghujani tanah Bobanehena. Perihal tanya yang banyak itu, aku juga tidak tahu menahu. Jelasnya bahwa saat ini tanya itu menerobos masuk dengan cepat membuat tempurung kepalaku serasa sesak.

Sekali aku berusaha menepisnya maka semakin cepat tanya itu mengepak seperti kepakkan sayap walet di senja kala. Dan aku terus berputar pada ruang yang membuatku terjebak dan terjebak lagi. Tidak ada putusan, mungkin perihal waktu. Tapi perihal waktu itu pun kemudian membawaku ke dalam kehampaan jiwa.

Aku kemudian meraba dan bertanya pada sunyi. Namun yang kudapati hannyalah senyap. Aku kemudian bertanya pada gelap. Dan lagi kudapati hannyalah gulita. Iya, tidak ada jawab yang mampu menarikku keluar. Sampai aku mengadu pada waktu yang menua dengan batin yang hampa.

Bahwa memang ini adalah perihal rindu yang menautkanku dengan alam pikir yang panjang. Maka aku harap kau tahu, bahwa sejauh apa pun langkahku berpijak dan setajam bagaimanapun mataku memandang, namun jiwa dan hatiku selalu untukmu. Iya, selalu dan selalu untukmu.

***

Ketahuilah Azzahraku. Malam ini sunyi lagi senyap. Aku seorang diri duduk di sebuah pondok bambu yang letaknya dibukit harapan tanah Bobanehena. Sekali sudah larut, namun bagiku larut hannyalah orang-orang yang tidak lagi menyibukkan diri. Dan aku adalah yang paling sibuk malam ini juga di semua malam.

Dengan cangkir kopi juga rokok kretek pengusir kantuk, aku menengadah ke ufuk timur dengan pelupuk mata yang liar meraba-raba diruas petala dengan harapan ada rembulan yang menepi sebentar mengusir gulita. Sekali waktu kian menua harapan itu tak mampu di jamah.

Iya, malam ini tidak ada rembulan hanya bintang gemintang yang bertebaran dilangit Halmahera dengan cahaya remang-remang yang tidak kuasa mengurai gulita. Tapi tidak apa, aku tidak menyesalinya. Sekali dipetalah tidak ada purnama namun bagiku ada purnama yang selalu abadi mengurai gulita di ruas petalah jiwaku. Iya, purnama itu ada dan selalu ada dimatamu.

Azzahraku, kau tahu bahwa malam ini aku terjebak yang ke sekian kalinya. Aku terjebak rindu akan dirimu yang tak dapat aku pendam lagi. Andai dengan kekuatanku yang paling kuat sekalipun mungkin yang kudapati hannyalah kesia-siaan. Sebab, semakin kuat kupaksakan menahan genangan rindu ini maka dia semakin meluap dan membuatku hanyut tanpa arah.

Maka, bersama malam ini ijin kan aku tulis sepucuk surat rindu untukmu. Agar kau juga mereka tahu bahwa aku tidak pernah bermain dengan perasaan cinta apalagi rindu yang mengendap di jiwaku. Aku yakin, mungkin sebagian orang membacanya akan bilang bahwa ini hanya bualan yang aku mainkan lewat kata-kata.

Tapi aku lebih yakin lagi bahwa Tuhan tidak pernah meninggal manusia yang bersungguh-sungguh dalam niat baik. Maka aku juga yakin kau tidak seperti mereka, sebab kau adalah perempuan luar biasa yang dapat menimbang antara baik dan  tidak sebuah perkara.

Ketahuilah, aku menuliskan ini dengan kondisi tubuhku yang gigil. Sebab angin malam ini terlalu kejam meruap dan menusuk kulit. Sekali begitu, jiwaku serasa hangat dan mungkin selalu hangat atas cintamu. Aku menulis ini untukmu dan hanya untukmu.

Untuk Azzahraku di Tanah Tua

“Azzahraku yang manis dan selalu manis, di atas bumi Halmahera yang di apit oleh gunung gemunung dengan petala yang tak berbulan. Aku kirimkan kerinduanku kepada engkau yang ada di tanah tua. Iya, lewat angin malam yang sunyi sesunyi jiwaku yang malang ini. Juga angin yang malu, semalu dirimu bertambat kasih denganku sampai detik ini.

Tapi tenanglah, aku tidak pernah risau apalagi ragu mencintai dan merindukanmu. Sebab aku yakini, bahwa cinta yang mengendap ini adalah yang paling murni dari pemberian Tuhan kita. Maka sekali kau belum berbalas cinta denganku sampai detik ini, bagiku tidaklah mengapa. Semuanya aku serahkan kepada pemberi cinta tak lain adalah Tuhan kita. Biarkan Tuhan yang nanti memilih cerita terbaik dan paling baik cerita. Bukankah kau juga meyakininya bahwa apa yang kita anggap baik belum tentu baik di matanya?.

Kau tahu Azzahraku, rindu ini hanya untukmu dan selalu untukmu. Aku berandai, jika Tuhan mengizinkan aku menumpahkan kerinduanku kepadamu di atas samudra, maka bumi tempat kita pijak dan bersemayam akan hancur akibat meluapnya air laut ke segala arah akibat rinduku yang terlalu sarat.  Juga andai rinduku bisa di kehendaki untuk bisa mengukurnya, maka lambang angka itu tak mampu merincikan dalamnya rindu ini.

Azzahraku yang indah dan selalu indah. Aku di sini tidak berharap pada bulan yang muncul menumpahkan cahaya pada cawan malam. Bagiku bulan sesungguhnya itu ada bersamamu. Sebab dimatamu telah kutemukan purnama dengan cahaya keyakinan yang terpancar jelas menyibak gulita jiwaku yang tanpa gemintang. Aku lebih suka purnama dimatamu, sebab dia indah dan selalu indah. Dia bercahaya dan selalu bercahaya tanpa sedikitpun polusi atau bias kelabu.

Oh iya, aku hampir lupa Azzahra. Tadi sore aku turun bukit dan mampir di tanjung mara Adam. Aku berniat hanya ingin melihat keindahan senja di Halmahera. Tapi kau tahu apa yang aku dapati di sana? Iya, yang aku dapati hannyalah senja pucat pasi akibat di balut awan gemawan pekat.

Maka lagi-lagi aku tidak menyesalinya. Sebab kau tahu bahwa aku tidak hanya menemukan purnama di matamu. Melainkan juga senja di wajahmu. Senja yang indah melebihi senja Alina yang diberikan Sukab*. Di sini aku tidak bermaksud menyemai engkau dengan dua objek itu. Aku hanya melukiskan keindahan yang aku temui dalam dirimu. Dan aku harap hanya aku yang temukan itu dalam dirimu.

Mungkin aku sudahi dulu suratku ini, kiranya kau sudi membacanya. Satu hal yang harus kau percaya bahwa ini bukan bualan, tapi sebuah kebenaran yang harus aku sampaikan malam ini. Aku harap kau akan menerimanya dengan senang hati Azzahraku."

***

Hujan baru saja turun. Iya, deras dan sangat deras sekali. Seperti juga rinduku ke kamu yang selalu deras menghujam jiwaku. Sesaat aku tidur membawa rindu dalam tidurku. Lalu rindu itu menjadi mimpi. Dia nyata dan bahkan nyata. Sekali lagi aku tidur, membawa mimpi juga puisi yang masih mengendap di kepalaku.

Ternate, 04 April 2021
*Sepotong senja untuk pacarku SGA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun