"Kemarilah anak muda, kita makan untuk mengisi energi kita." Ucap seorang tua yang ingin menawarkan makan.
Tanpa menolak, aku kemudian ikut dan menikmati makanan yang dihidangkan oleh istrinya dengan penuh kasih dan cinta.
"Tidak ada yang lebih bahagia hidup dalam kesederhanaan namun berkalung cinta." Ucanya dengan senyum.
"Tidakkah kau cari selain ini?" Ucapku
"Aku ingin hidup seperti ini, jadi petani yang setiap paginya harus ke sini, siangnya rehat dan sorenya pulang ke rumah berjumpa dengan kasih dan anak-anak."
"Tapi kau bahagia?"
"Kau lihat wajahku selalu bahagia bukan? Bahagia itu sederhana, dan tidak melulu soal kaya." Ujarnya menasihati
"Iya, bahagia itu sederhana, selagi ada cinta maka disana tak ada derita bahkan sekali pun dalam kemelaratan."
Kami menyudahi makan kami, kemudian berlanjut melumat roko. Di tempat ini, hampir tidak aku temui prahara, semua petani rukun tak sering merebut tanah. Setiap wajah mereka tersirat bahagia. Aku menyaksikan ranting pohon cengki yang di hinggapi burung jalak, dahan pohon pala yang di hinggapi burung taon sembari mengerutu buah pala.
Aku menikmati sekawanan burung elang yang melintas di atas kepala kami, suara burung kakatua dan kepakan gerombolan burung pemangsa ikan yang lewat membela angin dan menerjang awan.
***
Sore itu aku turun ke pantai, duduk menegada padangan ke ufuk barat sembari mendengar dan menyimak riuh ombak menerjang bibir pantai juga menghitung setiap kapal yang lalu lalang, juga para nelayan terlihat mulai kembali ke pantai dengan sobol yang mulai dilipat. Terlihat jugagerombolan anak-anak kecil turut bahagia menyambut senja, mereka bermain sepak bola di atas pasir.