Mohon tunggu...
Faisal yamin
Faisal yamin Mohon Tunggu... Nelayan - Belajar menulis

Seorang gelandangan pikir yang hobi baca tulisan orang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Tanpa Nama

26 Februari 2021   01:03 Diperbarui: 26 Februari 2021   01:09 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu bulan serasa cepat. Entah karena pikiranku yang terombang ambing atau memang sebetulnya alam lagi dalam keadaan bercanda. Tapi saya percaya bahwa alam dalam kondisi baik, dan saya tidak sepertinya. Ada hal yang mengganjal dihati dan pikiranku. Iya, aku berada dalam ruang kemungkinan-kemungkinan. Banyak sekali pusaran kemungkinan itu, dan rindu juga adalah sebuah kemungkinan itu.

Dan kini tidak bisa aku pungkiri bawa aku sedang kuyup, dari rintik rindu yang awet dan keras. Tentang siapa dia dan bagaimana dia aku tidak tahu. Jelasnya bahwa aku kini rindu pada seorang perempuan yang datang membawa cinta secepat detak nadi mengepak juga cekat petir menyambar. Dia datang, sekali dalam waktu singkat mampu menggeser seribu keraguan, seribu pilu, seribu pahit kenangan lalu menawarkan satu kebahagiaan tunggal.

Sampai di sini aku belum kunjung paham, aku masih diambang pusaran kemungkinan. Tentang rasa cinta yang sementara bersarang dalam jiwaku. Tapi aku juga percaya bahwa cinta dapat membawa seseorang hanyut dalam lautan rindu. Juga cinta yang datang dengan sendirinya tanpa sebuah perencanaan. Sebab kamus cinta tidak mengiakan sebuah perencanaan.

Kemungkinan masih menjadi misteri bagiku. Kemungkinan rindu yang mengapung di lautan jiwaku adalah bagian dari cinta. Jika benar ini cinta maka aku tidak punya kuasa untuk menolak semua itu. Satu hal yang masih menjadi kemungkinan adalah hadirnya cinta itu karna mungkin kita sekali bertatap.

Jika iya, maka kemungkinan-kemungkinan itu adalah mungkin. Dan memungkinkan semua itu adalah keharusan. Karna rindu adalah pembuktian kemungkinan itu. Sebab bahwa cinta itu hadir ketika dua pasang insan itu di Ridhoi oleh perasaan yang sama-sama larut dalam kenyamanan yang selalu dibaluri rindu.
***
Siang itu langit cerah, panas dan panas sekali. Mendung seakan tidak berani bergelantungan di bawah petala. Dan matahari bergerak seperti siput, inci demi inci mengikuti irama putaran waktu. Perlahan dan selalu pasti, jam dinding mungkin sebentar menujukan petang.

Ditanjung Kie Besi aku duduk. Tepat di bawah rimbun ketapang beralas pasir sembari menyeruputi kopi dan menyulut rokok. Mataku liar, menyoroti garis pantai yang banyak nyiur, juga pasir hitam kehitaman yang sesekali menyilaukan . Di kejauhan ada gugus pulau yang berjejer rapi dimulai dari Tuanany, Mare, Kie Matubu, Maitara juga Gamalama.

Aku memandangi semuanya, menikmatinya dengan perasaan hambar. Tidak seperti biasa. Sebab pikiran dan jiwaku hanyut dalam lautan rindu. Iya, rindu kepada perempuan yang aku sendiri tak tahu namanya. Jelasnya aku mencintainya tanpa kejelasan Identitas.
Tapi sesungguhnya dia punya Identitas, punya nama hanya aku yang kurang peduli dengan semua. Sebab bagiku, kemurnian cinta adalah soal rasa yang telah melekat kuat dalam jiwa dua pasang insan. Dan saya meyakininya, sebab itulah cinta yang sesungguhnya.

Cinta yang murni, semurni embun pagi yang menempel di atas pelepah daun, semurni awan gemawan putih yang mengantung di bawa petala langit tanpa kelabu, juga semurni senja dengan cahaya jingga keemasan tanpa ada spektrum lain. Dan kemurnian cinta melebihi dari itu, lebih murni dan sanggatlah murni.

Atas nama kemurnian cintalah aku kini mencintainya. Aku mencintainya dengan sederhana, seperti kata yang tak sempat diucap kayu kepada api yang menjadikannya abu. Sesederhana isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada*.

Cinta yang murni itu membawaku selali hanyut dan terus hanya dalam rindu yang lebih jauh dan semakin jauh. Bak buih yang terombang ambing dalam lautan mengikuti arah angin kemudian mati dalam persaksian antara darat dan laut. Sekali seperti itu, tapi rinduku tak pernah menepi.

Dia selalu mengalir jauh dan semakin jauh bak air sungai yang selalu mengalir. Tapi rinduku juga tidak demikian, sebab air sungai juga akan melesat masuk dan beradu juga terkontaminasi dengan air lain dalam muara. Rinduku selalu murni, mengembara sampai akhir yang mengakhiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun