Reformasi Islam lahir pada akhir abad ke-19 sebagai jawaban terhadap pengaruh dunia barat yang yang gencar menyerang kaum muslimin. Sedangkan yang menjadi isu sentral mereka adalah upaya agar keyakinan agama sesuai dengan pemikiran modern. Termasuk pula dalam hal ini tentunya, pemahaman umat Islam terhadap Alquran.
Kesadaran akan perlunya diadakan pembaharuan timbul pertama kali di Kerajaan Turki Utsmani dan Mesir. Orang-orang Turki Utsmaniyah sejak awal telah mempunyai kontak langsung dengan Eropa, karena kekuasaan Kerajaan Turki Ustmani hingga abad ke-17 Masehi telah mencapai Eropa Timur yang meluas sampai ke gerbang kota Wina. Tetapi sejak abad ke-18, Kerajaan Tukri Ustmani mulai mengalami kekalahan dari kerajaan-kerajaan Eropa. Kekalahan oleh Eropa –yang pada abad-abad sebelumnya masih dalam keadaan mundur– inilah yang menjadi pemicu adanya pembaharuan di Kerajaan Turki.
Sementara pembaharuan yang terjadi di Mesir terjadi sejak terjadinya kontak dengan Eropa yang dimulai dari datangnya ekspedisi Napoleon Bonaparte yang mendarat di Aleksandria pada tahun 1798 M. Kedatangan Napoleon ini juga membawa banyak oleh-oleh dari Eropa yang berupa ilmu pengetahuan, kebudayaan dan teknologi, hingga ia mampu mendirikan lembaga ilmiah Institut d’Egypte. Di samping itu Napoleon juga mempunyai hubungan baik dengan ulama-ulama Al-Azhar. Hal inilah yang menjadi salah satu pemicu terjadinya pembaharuan dalam Islam di Mesir.
Berbicara tentang proses pembaharuan di Mesir, di kenal beberapa orang tokoh pembaharu yaitu Jamaluddin al-Afghani (1839-1877 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M) dan Rasyid Ridha (1864-1935 M).
A.Jamaluddin Al-Afghani
Jamaluddin Al-Afghani dilahirkan di Afganistan tepatnya di As’ad Abad salah satu kawasan Zon Kunar pada tahun 1254 H atau 1838 M. Ia sangat jenius, sehingga banyak mempelajari buku-buku Islam dan filsafat. Berbagai ilmu telah dipelajarinya; filsafat, hukum, astronomi, sejarah kedokteran, matematika, methafisika. Kejeniusannya menghantarkan Jamaluddin menguasai enam bahasa (Arab, Inggris, Perancis, Turki, Persia dan Rusia).
Jamaluddin Al-afghani adalah perintis modernisme Islam, khususnya aktivisme anti imperialis. Dia terkenal karena kehidupan dan pemikirannya yang luas, dan juga menganjurkan dan mempertahankan, bahwa persatuan pan-Islam merupakan sarana untuk memperkuat dunia Muslim menghadapi barat. Afghani lahir di Iran dan berpendidikan Syi’ah, bukan Sunni yang sering diakuinya.
Beliau merupakan salah satu tokoh yang pertama kali menyatakan kembali ke tradisi Muslim dengan cara yang sesuai dengan berbagai problem penting yang muncul akibat Barat semakin mengusik Timur Tengah di abad XIX. Dengan menolak tradisionalisme murni yang mempertahankan warisan Islam secara tidak kritis di satu pihak, dan peniruan membabi buta terhadap Barat di lain pihak, Afghani menjadi perintis penafsiran modern, seperti penggunaan akal, aktivisme politik, serta kekuatan militer dan politik.
Sebagai modernis Islam pertama, yang pengaruhnya dirasakan di beberapa negara, Afghani memicu kecenderungan menolak tradisionalisme murni dan westernisasi murni. Meski afghani di kemudian hari, dan sejak meninggalnya, diakitkan dengan pan-Islam, tulisan pan-Islamnya hanya menjadi bagian dari dasawarsa penting tahun 1880-an. Dalam hidupnya dia mempromosikan sudut pandang yang saling bertentangan. Dan pikirannya juga memiliki afinitas dengan berbagai kecenderungan di dunia Muslim. Ini meliputi liberalisme Islam yang diserukan oleh Muhammad ‘Abduh, orang Mesir yang menjadi muridnya; kebangkitan Islam konservatif yang diajukan oleh berbagai bentuk oleh pengikuit ‘Abduh yang bernama Rasyid Ridha, oleh Ikhwanul Muslimun, dan oleh berbagai gerakan Islam kontemporer; dan juga pan-Arabisme dan bentuk lain nasionalisme.
Setelah melanjutkan pendidikannya di Kota Suci Syi’ah, Karbala dan Najaf, ia pergi ke India pada usia akhir belasan tahunnya, sekitar pada masa pemberontakan India pada 1857. Kata-katanya yang paling direkam dalam sejarah pada 1860-an sampai meninggalnya, tema yang paling konsisten dalam hidupnya ialah memusuhi pemerintahan Inggris di bumi kaum Muslimin. Ini karena merupakan reaksi dari kebijakan pemerintahan Inggris di India yang bermaksud merongrong Islam dan memperkuat Kristen. Dan ternyata rupanya kontak pertama Afghani terhadap pemikiran Barat terjadi di India.
Modernis dialamatkan kepada Jamaludiin karena seringnya bergesekkan dengan peradaban Barat yang modern, pemikiran-pemikirannya rasional mendambakan Islam berkembang tidak kalah dengan Barat. Islam harus juga memperhatikan ilmupengetahuan dan teknologi.Oleh karena itu, Jamaluddian menggunakan metode konstruktif Reformisme dengan mengembalikan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Itulah pola dan corak berfikir Jamaludin yang modernis. Ia membangkitkan semangat umat Islam untuk melawan penjajahan dan kekuasaan absolut, mendorong umat Islam mempelajari sains dan teknologi Barat tanpa terbaratkan.
Di Mesir Al-Afghani dapat mempengaruhi massa intelektual dengan pikiran-pikiran barat antara lain mengenai ide trias politika melalui terjemahan bahasa Arab yang berasal dari bahasa Perancis yang dilakukan oleh At-Tahthawi. Ia berhasil membentuk Partai Nasional (Al-Hizbu al-Watani) di sana dan mendengungkan Mesir untuk bangsa Mesir, memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, dan memasukkan unsur-unsur Mesir dalam bidang militer. Al-Afghani berusaha menumbangkan penguasa Mesir Khadewi Ismail dan menggantikannya dengan putera mahkota, Tawfiq yang ingin mengadakan pembaharuan di Mesir. Tetapi setelah Tauwfik berkuasa, ia tidak dapat melaksanakan programnya, bahkan penguasa baru yang didukung oleh Al-Afghani itu mengusirnya karena tekanan dari pihak Inggris, tahun 1879.
Afghani di awal tahun 1880-an terkenal karena sikap keberagamaanya yang kuat atau bisa dikatakan sangat religius. Kemudian kenapa pada awal 1880-an Afghani mau menampilkan diri untuk pertama kalinya sebagai pembela besar Islam, dan kemudian pembela besar pan-Islam? Barangkali dia mendapat pengaruh dari sebagian kecenderungan yang juga telah mengubah tokoh lain, seperti Namik Kemal dari ‘Utsmaniyah menjadi pembela Islam.
Afghani adalah pencetus paling penting kecenderungan untuk mengubah Islam dari kepercayaan keagamaan (dengan elemen kendali sosial dipegang oleh ulama dan pihak yang berkuasa) menjadi ideologi politik-agama yang menekankan sasaran yang secara tradisional dianggap tidak religius.
Seperti sudah disebutkan bahwa Afghani menyuarakan gagasan, antara lain seperti pan-Islam reformis, yang pertama kali dikemukakan oleh ‘Utsmaniyah Muda, namun ‘Utsmaniyah Muda ini sangat kurang pengaruhnya di kalangan bangsa yang bahasanya bukan Turki. Pengaruh utama Afghani disebabkan oleh dua orang, yaitu dua muridnya yang orang Mesir, Muhammad ‘Abduh dan pengikut ‘Abduh, Rasyid Ridha.
Al-Afghani menginginkan adanya persatuan umat Islam baik yang sudah merdeka maupun masih jajahan. Gagasannya ini terkenal dengan Pan Islamisme. Ide besar ini menghendaki terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam dalam masalah keagamaan, kerjasama antara kepala negara Islam. Kerjasama itu menuntut adanya rasa tanggungjawab bersama dari tiap negara terhadap umat Islam dimana saja mereka berada, dan menumbuhkan keinginan hidup bersama dalam suatu komunitas serta mewujudkan kesejahteraan umat Islam
Ide Islah maksudnya adalah untuk perbaikan atau perubahan terencana ke arah yang lebih baik demi kemajuan Islam. Ide-ide gerakan “Islah” yang dikumandangkan Jamaladdin Al-Afghani adalah sebagai berikut :
1. Mengembalikan kecemerlangan umat Islam yaitu kembali pada ajaran yang benar.
2. Membina perpaduan, persatuan dan kesatuan tanpa memandang bangsa dan negara serta budaya melalui gagasannya Jami’ah Islamiyah (Pan-Islamisme)
3. Mengkritik taklid ‘ama yaitu mengikuti segala sesuatu secara membabi buta.
Sebenarnya ide “Ishlah”, pembaharuan atau reformasi tersebut bermuara pada kebangkitan umat Islam dari keterpurukan penetrasi Barat terhadap dunia Timur.
Ide dan gagasan pembentukan “Al-Jami’ah Al-Islamiyah” atau “Pan-Islamisme” dikemukakan setelah Jamaluddin mendapatkan tempat layak dari Sultan Abdul Hamid di Istambul turki. Pan-Islamisme diharapkan bergabungnya kekuatan-kekuatan negara Timur yang terdiri dari, Persia, Afghanistan, dan Turki serta wilayah-wilayah yang ada di bawahannya dengan semacam persatuan dan perjanjian.
Gagasan besar Jamaludin Al-Afghani terkenal dengan PAN-ISLAMISME ( Al-Jami’ah Al-Islamiyah ; persatuan dan kesatuan dunia Islam). Tujuan akhirnya adalah menyatukan negara-negara Islam dalam satu komando kepemimpinan yang mampu menghalau campur tangan Eropa dan mewujudkan kembaIi kejayaan Islam. Perjuangannya bertujuan membangun sistem politik berdasarkan persaudaraan Islam (Ukhuwah Islamiyah) yang telah berantakan di tangan penjajah.
Dalam bukuMohammedanism; An Historical Survey:He was the founder and inspiration of the Pan-Islamic movement, which sought to unite all Muslim peoples under the Ottoman Caliphate; and though he failed in this, his supreme objective, his influence lives on in the more recent popular movements which combine Islamic fundamentalism with an activist political programme. (Dia adalah pendiri dan inspirasi dari gerakan Pan-Islam, yang berusaha untuk menyatukan semua bangsa-bangsa Muslim di bawah Kekhalifahan Ottoman, dan meskipun ia gagal dalam hal ini, itu tujuan tertinggi, pengaruhnya hidup dalam gerakan rakyat yang lebih baru yang menggabungkan fundamentalisme Islam dengan program aktivis politik)
Pengalaman yang diserap Al-Afghani selama lawatannya ke Barat menumbuhkan semangatnya untuk mamajukan umat. Barat yang diperankan oleh Inggris dan Prancis mulai hendak menancapkan dominasi politiknya di dunia Islam, maka pasti akan berhadapan dengan Al-afghani. Adanya anggapan dasar yang dipegang oleh Al-Afghani menghadapi Barat seperti diungkapkan L. Stoddard yakni :
1. Dunia Kristen sekalipun mereka berbeda dalam keturunan, kebangsaan, tetapi apabila menghadapi dunia Timur (Islam) mereka bersatu untuk menghancurkannya.
2. Semangat perang Salib masih tetap berkobar, orang Kristen masih menaruh dendam. Ini terbukti umat Islam diperlakukan secara diskriminatif dengan orang Kristen.
3. Negara-negara Kristen membela agamanya. Mereka memandang Negara Islam lemah, terbelakang dan biadab. Mereka selalu berusaha menghancurkan dan menghalangi kemajuan Islam.
4. Kebencian terhadap umat Islam bukan hanya sebagain mereka, tetapi seluruhnya. Mereka terus-menerus bersembunyi dan berusaha menyembunyikannya.
5. Perasaan dan aspirasi umat Islam diejek dan difitnah oleh mereka. Istilah nasionalisme dan patriotosme di Barat, di Timur disebut fanatisme.
Menurut Al-Afghani, hal-hal tersebut di atas menuntut adanya persatuan umat Islam untuk menghadapui dunia Barat dan mempertahankanya dari keruntuhan. Disamping itu Al-Afghani melihat bahwa kondisi umat Islam sendiri memang berada dalam kemunduran yang mengkhawatirkan. Kemunduran tersebut menurutnya bukan karena ajaran Islam, tetapi oleh umat itu sendiri yang yang tidak berupaya mengubah nasibnya. Perpecahan terjadi di kalangan mereka maka pemerintahan menjadi absolut, pemimpin tidak dapat dipercaya, lemah dalam bidang militer dan ekonomi bersamaan dengan datangnya intervensi asing. Menghadapi paham fatalisme, Al-Afghani mengajak umat Islam merebut peradaban, kebudayaan, ilmu pengetahun Barat yang positif dan sesuai ajaran Islam. Dengan demikian, umat Islam akan dinamis dan tidak menerima apa adanya serta menyerukan bahwa pintu ijtihad tidak tertutup. Ia selanjutnya menegaskan bahwa dalam Islam ada kemerdekaan dan kedaulatan umat. pemerintah dapat saja dikritik dan tidak berkuasa mutlak. Al-Afghani mengajak umat, pemimpin dan kelompok agar bersatu dan bekejasama dalam meraih kemajuan dan membebaskan diri dari itervensi Barat. Untuk tujuan di atas, Al-Afghani mencetuskan ide Pan Islamisme. Semangat ini dikobarkan ke seluruh negeri Islam yang tengah berada dalam kemunduran dan dominasi Barat. Pan Islamisme (Al-jami’iyyah Al-Islamiyyah) ialah rasa solidaritas seluruh umat Islam. Solidaristas sepeti itu sudah ada dan diajarkan sejak Nabi SAW, baik dalam menghadapi kafir Quraisy ataupun dalam kegiatan-kegiatan sebagai upaya menciptakan kesejahteraan umat.
Semangat pan Islamisme yang diserukan Al-Afghani memberikan pengaruah besar di kalangan umat terutama bagi para pemimpinnya. Hal ini kemudian menyadarkan mereka akan besarnya ancaman Barat. Sultan Abdul Hamid dari Kerajaan Turki Usmani misalnya menyambut dengan penuh antusias. Ia mendirikan organisai seruan Pan-Islamisme mengutus banyak orang ke berbagai negeri Islam dengan pesan agar umat Islam bersatu dan meleaskan diri dari pemerintahan Barat. Hal ini dilakukan oleh Sultan selama 30 tahun.
Seruan Pan-Islamisme menghasilkan pengaruh yang sangat besar dan mendalam. Di berbagai negeri muslim telah lahir tokoh-tokoh di kalangan umat yang berjuang menuntut kemerdekaan dari penjajah Barat, seperti Abdul Hamid di Turki, Muhamamd Abduh dan Saad Zaghlul di Mesir serta torkoh lainnya.
B.Muhammad ‘Abduh
‘Abduh adalah orang Mesir pertama yang menunjukkan keterbelakangan masyarakat Mesir dan fakta bahwa masyarakat Mesir telah kehilangan kapasitas untuk untuk memperbarui dirinya. Problem sosial-politik Mesir, katanya, terjadi karena warisannya sendiri yang telah membuat Mesir tidak mampu menanggapi tantangan zaman. Menurutnya, kelemahan kaum muslim disebabkan oleh perpecahan internal umat, tercabangduanya kekhalifahan, dan terpecahnya umat Muslim menjadi bangsa-bangsa kecil yang beragam sekte dan keyakinannya yang saling bertikai demi kesetiaan kepada pemimpin. Katanya, ajaran Islam menunjukkan bahwa nasib yang menimpa kaum Muslim merupakan cobaan dari Tuhan, hukuman atas ketidaktaatan. Kemunduran masyarakat Muslim merupakan hukuman yang dijanjikan dalam Al-Qur’an. Juga disebabkan oleh kebodohan dan salah memahami iman, dan karena perpecahan sektarian, karena tertutupnya pintu ijtihad, dan karena kekeliruan kebijakan pemimpin Islam.Dia menegaskan untuk memulai pembaruan, kita perlu kembali kepada pokok-pokok iman yang dipandang sebagai Islam yang sebenarnya oleh berbagai mazhab, berbagai kelompok. Dia menyerukan agar menggunakan tradisi yang terbaik, dan agar taklid buta dikutuk, karena merintangi kemajuan.
Perhatian utama ‘Abduh adalah problem kemunduran umat Islam. Ia mengatakan, keunggulan Barat terjadi karena Barat mengambil yang terbaik dari Islam untuk dirinya sendiri. Kaum muslim kedudukannya rendah, karena mereka telah meninggalkan Islam yang sejati. Begitu kaum Muslim mendapatkan kembali semangat yang pernah dimilikinya dahulu, yang membuat mereka tampil di pentas dunia dan membangun peradaban besar, maka mereka akan mempu meraih kembali posisi unggul mereka.
Bagi ‘Abduh, persoalannya bukanlah apakah mungkin menjadi Muslim sambil tetap menerima dunia modern. Tapi apakah Islam relevan dengan modernitas atau tidak. Karena itu, dia ingin membuktikan bahwa Islam memang merupakan agama yang rasional, yang dapat menjadi basis kehidupan di dunia modern. Menurutnya, tak ada konflik antara Islam dan prinsip peradaban modern. Katanya, Islam memang harus meluruskan peradaban modern, dan membersihkannya dari nodanya. Bila peradaban modern mengenal Islam sejati, maka Islamakan jadi pembela gigih, dan sumber kekuatannya. Kekakuan akan sirna, dan bukti terkuatny adalah bahwa Al-Qur’an tetap bertahan sebagai saksi kebenaran Islam.
Teologi Rasionalisme yang dicetuskan oleh Muhammad Abduhini berisi tentang bagaimana ia memandang tentang Tuhan, agama, kitab suci, Nabi-Nabinya serta penciptaan seluruh makhluk Tuhan. Muhammad Abduh membagi alam ini menjadi dua, yakni alam wujud dan alam abstrak. Alam wujud adalah alam dimana kita tinggal sekarang ini dan alam abstrak adalah alam akhirat yang akan kita tempati setelah meninggal nanti. Teologi menurut pandangan Muhammad Abduh dapat digambarkan sebagai Tuhan berada di puncak alam wujud dan manusia ada di dasarnya. Manusia yang berada di dasar ini berusaha mengetahui Tuhannya dan Tuhan menurunkan wahyu karena kasihan melihat kelemahan manusia dibandingkan kemahakuasaan-Nya. Manusia yang dimaksud oleh Muhammad Abduh di sini adalah kamu Khawas yakni orang-orang yang terpilih dari golongan awam. Hal ini dikarenakan kemampuan akal yang dimiliki orang Khawas yang mampu mencapai Tuhan serta alam ghaib yang berada pada puncak tertinggi dari alam wujud.
Untuk mencapai pengetahuan tertinggi ini bisa melalui 2 cara, akal dan wahyu. Akal bagi Muhammad Abduh adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar dari kelangsungan hidupnya karena ialah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Karena itu, beliau selalu berbicara tentang pentingnya akal dan pentingnya manusia mengembangkan akalnya untuk mencapai tingkat kehidupan yang lebih tinggi. Begitu pun dalam masalah teologi. Ia tidak pernah meninggalkan akal sebagai dasar dari teologi.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa Islam adalah agama yang rasional, agama yang sejalan dengan akal, bahkan didasarkan pada akal. Beliau sangat menekankan pentingnya memahami ayat dengan menggunakan akal. Menurutnya, pemikiran rasional adalah jalan untuk mendapatkan keimanan yang sejati. Keimanan bukan didasarkan pada pendapat semata, namun harus berdasar pada pemahaman. Akal yang dapat membawa manusia memahami apa yang sebenarnya disampaikan oleh Tuhan melalui agama dan wahyu. Agama memang membawa sesuatu yang berada diluar kemampuan manusia untuk memahaminya, namun, agama tidak mungkin membawa sesuatu yang mustahil dipahami oleh akal manusia. Jika memang agama mambawa sesuatu yang secara lahiriah terlihat bertentangan dengan nalar, akal harus meyakini bahwa yang dimaksud bukan arti harfiah melainkan ada maksud lain yang dibawa.
‘Abduh selalu menekankan dan memperhatikan realitas manusia, dan bagaimana memperbaikinya, ketimbang memperhatikan filsafat abstrak atau bahkan argumentasi teologis. Dia tak seperti teologi Asy’ariah, mengatakan bahwa manusia dengan menggunakan akalnya dapat mengetahui dan memilih mana yang benar dan mana yang salah. Dalam dua karya besarnya, Risalah At-Tauhid dan Al-Islam Wannshraniyah ma’al’ilm Walmadaniyah, dia mencoba menyelaraskan akal, wahyu dan temperamen moral individu, namun pada akhirnya jelaslah akal yang ditentukan. Jika terjadi perselisihan antara akal dan apa yang diriwayatkan hadis, maka akallah yang harus didahulukan. Hadis diinterpretasikan kembali, agar sesuai dengan yang rasional, atau mengakui kebenarannya, seraya mengakui ketidakmampuan manusia untuk mengetahui maksud Allah. Akibat terus menerus menekankan penggunaan akal, ‘Abduh dituduh sebagai seorang noe-Mu’tazilah oleh faqih konservatif. Karena dia mencoba mengakui kekuatan akal dan pilihan bebas manusia dan takdir Allah dengan mengatakan bahwa ada hal-hal yang hanya Allah sajalah yang tahu.
Salah satu isu paling penting yang menjadi perhatian ‘Abduh sepanjang hayat dan karirnya adalah pembaruan pendidikan. Program yang diajukannya sebagai salah satu fondasi utama adalah memahami dan menggunakan Islam dengan benar untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik sekolah modern yang didirikan oleh misionaris asing, dan juga mengkritik sekolah modern yang didirikan oleh pemerintah. Di sekolah misionaris, siswa dipaksa mempelajari Kristen, sedangkan di sekolah pemerintah, sisiwa tidak diajar agama sama sekali.
‘Abduh memperjuangkan sistem pendidikan fungsional yang bukan impor, yang mencakup pendidikan universal bagi semua anak. Semuanya harus punya keterampilan membaca, menulis dan berhitung. Semuanya harus mendapat pendidikan agama. Isi dan lama pendidikan haruslah beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang dikehendaki pelajar.
Muhammad Abduh membagi pendidikan menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat dasar (mubtadi’in), tingkat menengah (taqabat Al Wustha), dan tingkat tinggi (taqabat Al Ulya). Pembagian pendidikan ini berdasarkan tujuan dan tempat bekerja para pelajar. Pengklasifikasian ini juga didasarkan pada tingkat ketinggian akal seseorang. Hal ini dikarenakan dalam pemikiran teologi Muhammad Abduh yang sudah saya disampaikan sebelumnya, manusia tidak lagi digolongkan sesuai dengan ketakwaannya, melainkan tingkat akal mereka.
Untuk tingkat dasar, pendidikan ditujukan kepada orang-orang yang nantinya akan mengabdikan dirinya untuk menjadi tukang, pedagang, petani, dan pekerjaan lain yang setara dengan mereka. Kurikulum yang akan diterapkan di sini pun adalah yang paling ringan. Tingkat pertama bertujuan untuk memerangi buta huruf, maka di sini lebih ditekankan ilmu membaca, menulis, dan berhitung. Namun, tidak hanya itu. Di sini juga diajarkan mata pelajaran lain, yakni Akidah Islam, Fiqh dan Akhlak, dan Sejarah.
Tingkat Menengah ditujukan bagi orang-orang yang nantinya akan menjadi pegawai pemerintah baik sipil atau militer. Bermula pada keprihatinannya terhadap pegawai-pegawai pemerintah pada masa itu yang hanya memikirkan dirinya tanpa peduli dengan rakyatnya, Muhammad Abduh memberikan pendidikan yang bisa membuat mereka menjadi orang-orang yang bertanggung jawawab nantinya. Dalam tingkat ini, Akidah Islam, Fiqh dan Akhlak, dan Sejarah yang juga telah diajarkan dalam tingkat dasar lebih diperluas lagi bahasannya. Selain itu, di sini juga dbeliaujarkan Ilmu logika (fann al-mantiq), dasar-dasar penalaran (usul an-nazari) dan ilmu debat atau diskusi (adab al-jadal).
Pendidikan tinggi ditujukan untuk mereka yang akan menjadi guru dan pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Kurikulum yang diajarkan di sini adalah al-Qur’an al-Karim, Hadits, Bahasa Arab, Ushul Fiqh, Pelajaran Akhlak, Sejarah Islam, Retorika dan Dasar-dasar Diskusi, dan Ilmu Kalam. Bagi Muhammad Abduh peran guru sangatlah penting dalam mempengaruhi pendidikan yang akan membentuk bangsa. Oleh karena itu, beliau menempatkan guru dalam tingkatan yang tinggi setara dengan para pemimpin danpenguasa negara. Beliau memilih Tafsir Al-Qur’an untuk diajarkan di sini karena menurutnya Al-Qur’an menyimpan rahasia kesuksesan umat terdahulu. Untuk itu, para peserta didik haruslah mempelajari hal ini.
Selain kurikulum, Muhammad Abduh juga mengungkapkan adanya pihak-pihak yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan seseorang. Yang pertama, kepala sekolah. Menurutnya, kepala sekolah haruslah orang yang memiliki kapasitas pendidikan serta kepemimpinan yang memadai dan berkualitas. Yang kedua adalah guru. Seperti yang telah disebutkan, baginya guru adalah komponen terpenting adalam pembentukan siswa saat menjalani pendidikan. Bagaimana jenis siswa yang dihasilkan tergantung dengan bagaimana guru tersebut mengajar. Oleh karena itu, guru haruslah orang-orang yang memilki kapasitas untuk mengajar. Muhammad Abduh juga tidak melupakan unsur lain seperti orang tua murid, masyarakat dan pemerintah. Tanpa bekerjasama dengan mereka, suatu pendidikan tidak akan berhasil.
Yang paling menjadi fokus Muhammad Abduh pada waktu itu adalah bagaimana menghapuskan adanya dualisme pendidikan yang telah ada. Sehingga, tidak ada lagi pemisahan antara pemerintah dan ilmu pengetahuannya dan Islam dengan syari’atnya. Semuanya bisa berjalan secara seragam dan harmonis. Pemerintah pun paham tentang islam dan bisa menerapkannya dalam cara mereka memerintah dan Ulama’ pun melek pengetahuan dan tidak tertinggal dari peradaban dunia.
Dengan membawa pemikirannya yang berisi tentang sistem pendidikan baru untuk Mesir yang telah dibuatnya, Muhammad Abduh berusaha mendobrak tembok sistem pendidikan tradisional Mesir yang telah dibangun sejak Muhammad Ali berkuasa. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, beliau ingin agar ilmu-ilmu umum juga diajarkan dalam madrasah dan ilmu agama juga diajarkan dalam sekolah pemerintah. Namun, ternyata kenyataan tidak berpihak pada Muhammad Abduh. Pemikiran yang beliau bawa ditolak oleh para ulama’ karena dikhawatirkan cenderung kepada Barat. Pemikirannya yang memang cenderung ke arah pembaharuan dan modernisasi dianggap bergerak menuju pendidikan sekuler, sehingga tidak dapat diterima oleh mereka. Mereka tidak ingin ilmu-ilmu umum seperti logika masuk kepada siswa-siswanya dan merusak akhlaknya.
Beliau juga mendapatkan tentangan dari pemerintah yang berkuasa pada masa itu, karena kurikulum agama yang ingin beliau ajarkan di sekolah pemerintah membuat mereka tidak lagi leluasa dalam berbuat maksiat. Misalnya saja tentang wakaf. Pemerintah tidak setuju dengan adanya konsep untuk mendirikan institusi wakaf yang diusung oleh Muhammad Abduh. Alasannya tentunya hanya ada satu. Jika institusi wakaf ini didirikan maka uang yang akan masuk kantong mereka berkurang.
Sikap penolakan ini sesungguhnya merupakan hasil dari statisnya sikap masyarakat Mesir pada masa itu yang masih terjerat dalam pola pikir tradisional. Namun, hal ini bisa juga merupakan hasil dari traumatis masyarakat mengingat banyaknya negara sekitarnya yang akhirnya dipimpin secara sekuler setelah dimasuki pemikiran Barat.
Dalam keadaan yang sangat mengecewakan tersebut, akhirnya Muhammad Abduh jatuh sakit dan meninggal dunia. Alhasil, pemikiran tentang sistem pendidikan yang dibawanya belum dan tidak pernah sempat diterapkan dalam pendidikan formal Mesir. Namun, lebih dari itu, ternyata Muhammad Abduh telah memberikan pengajaran bagi siswa-siswa yang sangat tepat. Penerusnya, seperti Rasyid Ridla dan Hasan Al-Banna adalah potret dari produk sistem pendidikan yang dibuat oleh Muhammad Abduh. Mereka yang akhirnya menjadi tokoh besar di Mesir dan dunia yang sesungguhnya menjadi bukti bagaimana hasil dari sistem pendidikan Muhammad Abduh.
Dalam bukuMohammedanism; An Historical Survey:a man of great breadth, independence, and nobility mind. As a young teacher in Al-Azhar, he had tried to introduce a broader and more philosophical conception of religious education, and in later exile he had collaborated with Jamaluddin Al-Afghani in a semi religious, semi political journal called al-urwatul Wutsqa. He was a modernist in the sense that he urged the persuit of modern thought, confident that in the last resort it could not undermine but only confirm the religious truth of Islam. (Sebuah Survei Sejarah: seorang luas besar –pengetahuan-, kemandirian, dan pikiran bangsawan. Sebagai seorang guru muda di Al-Azhar, ia mencoba untuk memperkenalkan konsepsi yang lebih luas dan lebih filosofis pendidikan agama, dan di pengasingan kemudian ia telah bekerja sama dengan Jamaluddin Al-Afghani dalam jurnal agama, politik yang disebut al-urwatul Wutsqa. Dia adalah seorang modernis dalam arti bahwa ia mendesak pengejaran pemikiran modern, yakin bahwa di resor terakhir tidak dapat merusak tetapi hanya mengkonfirmasi kebenaran agama Islam).
Penting bagi kita untuk memahami betapa lebarnya kesenjangan antara pendidikan agama dan pendidikan sekuler di Mesir ini berikut konsekuensi-konsekuensi yang sangat jauh jangkauannya. Hal ini tidak hanya menempatkan suatu sekolah dalam posisi berlawanan dengan sekolah lainnya dan juga suatu universitas lainnya, tetapi juga lebih daripada faktor manapun, mendorong timbulnya perpecahan di kalangan ummat Muslim, yang terutama tampak di kota-kota besar, yang menempatkan kelompok ortodoks dalam posisi berlawanan dengan kelompok yang diibaratkan dalam hampir kegiatan sosial maupun intelektual, dalam cara berpakaian, sikap hidup, kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat, hiburan, sastra dan bahkan dalampercakapan mereka. Kenyataan tentang adanya kesenjangan dan perlunya diakhiri kesenjangan inilah yang mendorong timbulnya modernisme Islam itu.
Dari pembahasan mengenai “Teologi Rasionalisme serta Pengaruhnya terhadap Modernisasi Pendidikan Mesir yang dibawa oleh Muhammad Abduh” dapat kita simpulkan bahwa Muhammad Abduh adalah seseorang yang memang tepat jika dijuluki sebagai tokoh pembaharu Mesir. Beliau berani mendobrak sistem tradisional yang pada waktu itu sudah kuat mengakar dalam masyarakat Mesir. Lebih dari itu, beliau berhasil memberikan warna baru dalam dunia pemikiran dan pendidikan di Mesir yang pada masa itu masih sangat tradisional dengan menerapkan metode diskusi dalam proses pembelajarannya dan memperkenalkan pentingnya akal serta pemahaman dari setiap apa yang dipelajari. Beliau memang tidak pernah menelurkan buku tentang pemikiran rasionalisme, namun, beliau adalah rasionalis sejati.
C.Rasyid Ridha
Sosok intelektual satu ini bernama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Bahauddin Al-Qalmuni Al-Husaini. Namun, dunia Islam lebih mengenalnya dengan nama Muhammad Rasyid Ridha. Ia lahir di daerah Qalamun (sebuah desa yang tidak jauh dari Kota Tripoli,Lebanon)pada 27Jumadil Awal 1282 H bertepatan dengan tahun 1865 M.
Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhormat dan taat beragama. Dalam sebuah sumber dikatakan bahwa Rasyid Ridha masih memiliki pertalian darah dengan Husin bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW.
Rasyid Ridha adalah seorang intelektual muslim dari Suriah yang mengembangkan gagasan modernisme Islam yang awalnya digagas oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ridha mempelajari kelemahan-kelemahan masyarakat muslim saat itu, dibandingkan masyarakat kolonialis Barat, dan menyimpulkan bahwa kelemahan tersebut antara lain kecenderungan umat untuk mengikuti tradisi secara buta (taqlid), minat yang berlebihan terhadap dunia sufi dan kemandegan pemikiran ulama yang mengakibatkan timbulnya kegagalan dalam mencapai kemajuan di bidang sains dan teknologi. Ia berpendapat bahwa kelemahan ini dapat diatasi dengan kembali ke prinsip-prinsip dasar Islam dan melakukan ijtihad dalam menghadapi realita modern.
Selain menekuni pelajaran di sekolah tempat ia menimba ilmu, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti beberapa perkembangan dunia Islam melalui surat kabar Al-Urwah Al-Wusqo (sebuah surat kabar berbahasa Arab yang dikelola oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama masa pengasingan mereka di Paris). Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaru dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaru dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu. Keinginan untuk bertemu dengan Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal dunia. Namun, ketika Muhammad Abduh ke Beirut, Rasyid Ridha berkesempatan berdialog serta saling bertukar ide dengan Abduh. Pertemuan dan dialog dengan Muhammad Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kebodohannya. Rasyid ridha meyakini kebenaran gerakan Salafiyah yang dipelopori oleh Afghani dan Abduh, dan menariknya sedikit demi sedikit dari ajaran tasawuf tradisional.
Salafiyah adalah suatu aliran keagamaan yang berpendirian bahwa untuk dapat memulihkan kejayaan umat islam harus kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti yang dulu diamalkan oleh generassi Islam yang pertama, yang biasa juga disebut salaf (pendahulu) yang saleh.
Di Lebanon, Rasyid Ridha mencoba menerapkan ide-ide pembaruan yang diperolehnya. Namun, upayanya ini mendapat tentangan dan tekanan politik dari Kerajaan Turki Usmani yang tidak menerima ide-ide pembaharuan yang dilontarkannya. Akibat semakin besarnya tentangan itu, akhirnya pada 1898, Rasyid Ridha pindah ke Mesir mengikuti gurunya, Muhammad Abduh, yang telah lama tinggal di sana.
Al-Manar adalah majalah mingguan yang diasuh oleh Ridha dan abduh. Antara lain, menyebarkan ide-ide pembaharuan dalam bidang agama, sosial, dan ekonomi, memajukan umat Islam dan menjernihkan ajaran Islam dari segala paham yang menyimpang, serta membangkitkan semangat persatuan umat Islam dalam menghadapi berbagai intervensi dari luar. Dalam perjalanannya majalah ini banyak mendapat sambutan, karena ide-ide pembaharuan yang dilontarkan dalam setiap tulisannya.
Setelah menerbitkan majalah Al-Manar, Rasyid Ridha juga masih sangat aktif menulis dan mengarang berbagai buku dan kitab. Dia sempat mengajukan saran kepada gurunya agar menafsirkan kitab suci Alquran dengan penafsiran yang relevan dengan perkembangan zaman. Melalui kuliah tafsir yang rutin dilakukan di Universitas Al-Azhar, Rasyid Ridha selalu mencatat ide-ide pembaharuan yang muncul dalam kuliah yang diberikan Muhammad Abduh. Selanjutnya, catatan-catatan itu disusun secara sistematis dan diserahkan kepada sang guru untuk diperiksa kembali. Selesai diperiksa dan mendapat pengesahan, barulah tulisan itu diterbitkan dalam majalah Al-Manar. Kumpulan tulisan mengenai tafsir yang termuat dalam majalah Al-Manar inilah yang kemudian dibukukan menjadi tafsir Al-Manar. Pengajaran tafsir yang dilakukan Muhammad Abduh ini hanya sampai pada surah An-Nisa ayat 125, dan merupakan jilid ketiga dari seluruh Tafsir Al-Manar. Hal ini dikarenakan Muhammad Abduh telah dipanggil kehadirat Allah SWT pada 1905, sebelum menyelesaikan penafsiran seluruh isi Alquran. Maka, untuk melengkapi tafsir tersebut, Rasyid Ridha melanjutkan kajian tafsir sang guru hingga selesai.
Karya-karya yang dihasilkan semasa hidup Rasyid Ridha pun cukup banyak. Antara lain, Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh Abduh (Sejarah Hidup Imam Syaikh Muhammad Abduh), Nida Li Al-Jins Al-Latif (Panggilan terhadap Kaum Wanita), Al-Wahyu Muhammad (Wahyu Allah yang diturunkan kepada Muhammad SAW), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tasyri Al-Am (Kemudahan Agama Islam dan dasar-dasar umum penetapan hukum Islam), Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-Uzma (Kekhalifahan dan Imam-imam besar), Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqallid (dialog antara kaum pembaharu dan konservatif), Zikra Al-Maulid An-Nabawiy (Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad saw),dan haquq al-mar’ah as-shalihah (hak-hak wanita muslimah).
Moeslim Abdurrahman, Islam Transpormatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), Cet. I, h. 62.
Syahrin Harahap, Islam Dinamis : Menggali Nilai-nilai Ajaran Alquran dalam Kehidupan modern di Indonesia, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 248.
Sultan-sultan Kerajaan ‘Utsmani pun mengirim duta-duta ke Eropa untuk mengetahui rahasia kekuatan raja-raja Eropa yang pada abad-abad sebelumnya masih berada dalam keadaan yang mundur. Atas dasar laporan dari para duta itu, mulailah diadakan pembaharuan di Kerajaan ‘Utsmani, terutama mulai dari abad ke-19. Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1998), Cet. VII, h. 147.
Di Kairo ia mendirikan lembaga ilmiah institut d’Egypte yang mempunyai empat bagian: ilmu pasti, ilmu alam, ilmu ekonmi politik dan sastra seni. Perpustakaan dari lembaga ini besar sekali dan bukan hanya berisi buku-buku dalam bahasa Eropa, tetapi juga buku-buku ilmiah dalam bahasa Arab, Persia dan Turki. Lembaga ini melakukan penelitian ilmiah di Mesir dan hasilnya diterbitkan dalam majalah La Decade Egyptienne. Napoleon juga membawa percetakan yang disamping berhuruf latin, juga berhuruf Arab. Ia juga membawa serta ahli-ahli ketimuran yang mahir berbahasa Arab. Harun Nasution, Ibid., h. 148.
Di sinilah bertemunya ulama-ulama abad ke-19 dengan ilmuan-ilmuan Barat modern yang menyadarkan mereka bahwa dalam bidang pemikiran dan bidang ilmiah, ulama Islam sudah jauh tertinggal. Persentuhan antara Barat dengan Islam di Mesir ini, hanya melahirkan sedikit ulama Islam pada saat itu yang berpendapat bahwa pemikiran dan ilmu yang berkembang di Barat itu perlu dipelajari dan diambil alih. Harun Nasotiun, Ibid., h. 148.
Ali Rahnema (Ed), Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Mizan, 1996) h. 17