Mengapa demikian? Jelas karena proses pemilihan umum sudah tidak berlangsung secara netral sehingga hasil yang ada bisa bersifat semu. Masalah politik uang ini akan secara kontinyu terus muncul dan ada, terutama saat menjelang pesta demokrasi di Indonesia.
Menggali latar belakang adanya politik uang di Indonesia
Saat ini, politik uang bisa dikatakan sudah umum di Indonesia. Meskipun beberapa masyarakat sadar bahwa kegiatan tersebut sebenarnya adalah salah satu bentuk praktik penyimpangan demokrasi di Indonesia, namun tidak sedikit dari mereka yang abai bahkan acuh tak acuh terhadap demokrasi ini.Â
Manusia melakukan sesuatu dilandasi oleh suatu motif tertentu, tidak terkecuali politik uang ini. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa faktor-faktor latar belakang yang menyebabkan adanya politik uang sampai saat ini.
- Sifat egois
Sudah menjadi kodrat bagi manusia bahwa manusia diciptakan dengan rasa egonya masing-masing. Namun, kadang ego ini mengalahkan pemiliknya sendiri, menutupi hati nurani pemiliknya sehingga tidak bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Sifat egois juga identik dengan manusia yang ingin segalanya, bahkan sekalipun itu terlihat mustahil. Keinginan dan kebutuhan manusia sangat banyak dan beragam, dan yang menjadi poin utama, keinginan tersebut tidak akan pernah ada habisnya. - Dalam hal ini misalnya kekuasaan. Manusia dengan sifat egonya bahkan kadang rela melakukan cara apa pun demi menggapai suatu posisi tersebut. Mereka menghalalkan segala cara tanpa berpikir apakah cara tersebut bertentangan dengan hukum atau tidak. Terlebih jika mereka memiliki ekonomi kelas tinggi. Praktik politik uang semakin besar peluangnya untuk dilakukan demi menggapai suatu kedudukan.
- Kurangnya ilmu pengetahuan
Tidak dapat dipungkiri, ilmu adalah sumber dari pengetahuan. Pengetahuan yang baik akan tercermin dalam tindakan yang baik pula. Kurangnya ilmu mengenai prinsip-prinsip demokrasi dan asas-asas pemilu dapat menyebabkan tindakan politik uang ini dapat berjalan mulus. - Hal ini tidak hanya terjadi pada masyarakat, tetapi juga pemangku kekuasan, dan bahkan calon itu sendiri. Namun, dalam hal ini masyarakat adalah aspek utama yang paling berpengaruh. Beberapa pemangku kekuasaan dan calon yang akan dipilih mungkin sudah mengetahui, tetapi rasa egois bisa menutup hati mereka. Sedangkan rakyat? Sekumpulan orang yang kebanyakan naif tentang hal seperti ini, khususnya mereka yang berada di desa, jauh di luar ibu kota.Â
- Bagi mereka uang yang jelas ada wujudnya lebih penting daripada teori demokrasi belaka yang mungkin sulit untuk mereka cerna. Jika hal ini tidak diwaspadai, maka bisa saja calon-calon yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan kebodohan masyarakat ini untuk membeli suara mereka. Tentu masyarakat tidak terlalu ambil pusing tentang ini, uang menjadi pilihan yang terbaik bagi mereka.
- Kurang tegasnya hukum dan penegaknya
Kurang tegasnya hukum dan aparat penegak hukum bisa menjadi salah satu sebab politik uang ini terus berjalan dengan lancar pada praktiknya. - Banyak dari aparat penegak hukum yang ikut dibeli suara dan haknya sehingga lupa akan tugasnya. Mereka tahu bahwa sebenarnya hal tersebut salah, namun karena mereka sudah "dibeli", maka mereka menganggap hal ini wajar saja dan tidak melakukan apapun. Hal ini lah yang menjadi celah sehingga praktik politik uang bisa terus mengakar kuat di masyarakat.Â
- Hukum yang lemah juga menjadikan kasus ini tidak ada habisnya. Tidak ada aksi nyata sebagai penerapan dari hukum tersebut sehingga politik uang semakin leluasa melebarkan sayapnya.
- Praktik Politik Uang dalam Kacamata Hukum dan Undang-Undang
Telah disebutkan sebelumnya bahwa hukum berserta penegaknya yang lemah merupakan salah satu latar belakang terjadinya politik uang. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada hukum yang menyoroti akan hal ini. Hukum atas politik uang ini sudah ada, hanya saja penerapannya yang masih memerlukan banyak evaluasi.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengandung pasal yang memuat tentang larangan politik uang dalam penyelengaraan pemilu. Pada Undang-Undang dengan nomor dan tahun yang sama juga terdapat sanksi terhadap calon peserta pemilu yang melakukan politik uang.Â
Calon peserta pilkada yang kedapatan melakukan politik uang akan dikenakan  sanksi sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang bersisi "Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya dengan imbalan warga negara Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mempengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilihnya, menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga pemungutan suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000 (dua) ratus juta rupiah) dan maksimal Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).Â
Dalam peraturan tersebut ditegaskan bahwa setiap calon peserta Pilkada dilarang untuk
menjanjikan atau memberikan imbalan baik dalam bentuk uang maupun barang yang akan mempengaruhi pemilih. Dalam Undang-Undang tersebut juga mengatur tentang tindakan apa saja yang tidak boleh dilakukan oleh calon peserta terhadap pemilih. Perolehan suara harusnya berlandaskan pada visi dan misi dari calon peserta Pilkada bukan dari imbalan yang dijanjikan. Untuk
itu maka tindakan politik uang dilarang dalam proses pemilihan dan kampanye di Pilkada.
Dalam KUHP BAB V tentang penyertaan tindak pidana tepatnya di pasal 55 diterangkan bahwa (1) (a) mereka yang melakukan, yang memerintahkan untuk melakukan, dan yang berpartisipasi dalam melakukan perbuatan dan (b) mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan cara kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, cara atau informasi, dengan sengaja mendorong orang lain untuk melakukan tindakan, akan dipidana sesuai pidana yang mereka lakukan. (2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.Â