1. Defisit APBN 2020 diperkirakan akan melebar di angka 6,34% (1039T) (vs 1,76% (307T) di awal 2020). (% dari PDB)
2. Pada lelang SUN 28 April 2020, penawaran yang masuk merupakan yang terkecil selama 2020, sampai dengan lelang 16 Juni 2020 dengan nominal Rp27T.
Ingat konsep dalam perhitungan harga obligasi, jika yield naik maka harga turun dan sebaliknya.
3. Pertumbuhan ekonomi di Q1 2020 hanya 2,97% dan proyeksi di Q2 akan terkontraksi hingga minus 3,1%.
4. Nilai tukar rupiah setelah pengumuman pasien pertama COVID-19 di Indonesia mencapai titik tertinggi di Rp16.500an per USD pada akhir Maret 2020, namun sekarang sudah kembali ke angka Rp14.000-14.200 per USD.
5. IHSG sempat menyentuh di angka 3.900an di akhir Maret, namun sekarang sudah berada di angka 4.900an.
Beberapa indikator di atas dapat menunjukkan secara singkat bagaimana COVID-19 sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia khususnya di pasar keuangan.
Adanya pandemi ini membuat keuangan negara di 2020 memiliki beban yang lebih berat. Belanja tidak berkurang karena pengurangan belanja modal (pembangunan infrastruktur, dll) maupun belanja barang (perjalanan dinas dll) terkompensasi dengan naiknya belanja untuk penanganan pandemi COVID-19 yang meliputi belanja untuk alat kesehatan, belanja untuk insentif tenaga kesehatan, belanja bantuan sosial, hingga program pemulihan ekonomi nasional yang pada akhirnya membuat jumlah belanja negara yang meningkat.Â
Peningkatan ini tidak diiringi dengan kemampuan mendapatkan pendapatan negara, khususnya di sektor perpajakan yang masih menjadi tumpuan utama pendapatan negara selain adanya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).Â
Di awal 2020, APBN 2020 memiliki target penerimaan sebesar Rp2.233T kini harus turun hingga di angka Rp1.760,9T dan bahkan menurut berita yang dimuat Kontan.co.id pada 3 Juni 2020, menurut Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani, penerimaan negara akan turun kembali hingga ke angka Rp1.699T yang akan dimasukkan dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) 54 tahun 2020.Â