Biografi Singkat Syekh Hasanuddin (Syekh Quro)
Syekh Quro adalah Syekh Qurotul Ain atau Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah. Menurut naskah Purwaka Caruban Nagari, Syekh Quro adalah seorang ulama. Beliau adalah putra ulama besar Perguruan Islam di negeri Campa (Vietnam) yang bernama Syekh Yusuf Ash-Shiddiq bin Jamaluddin Akbar Al-Husaini yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin Akbar al-Husaini serta Syekh Jalaluddin ulama besar Mekah.
Jika di lihat dari garis silsilah keturunan, Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro masih ada garis keturunan dari Sayidina Husein Bin Sayyidina Ali r. a. menantu dari Nabi Muhammad SAW dari garis keturunan Dyah Kirana (Ibunya Syekh Hasanudin atau Syekh Quro). Selain itu Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro juga masih saudara se-keturunan dengan Syekh Nurjati Cirebon dari generasi ke- 4 Amir Abdullah Khanudin.
Kedatangan Laksamana Cheng Ho dan Laksamana Sampo Bo ke Nusantara
Ekspedisi Tiongkok datang ke Cirebon atas titah Kaisar Ming, Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming yang sangat terkenal pada tahun 1432 masehi dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho dan Laksamana Sampo Bo. Ekspedisi pertama Cheng Ho dan pasukannya mendatangi Cirebon tahun 1405 masehi. Mereka sebetulnya datang hanya untuk mengisi air bersih bagi kepentingan pasukan. Namun, mengisi air untuk armada Cheng Ho tentu membutuhkan waktu lama. Sebab, kapal-kapalnya besar dan jumlah penumpangnya banyak. Singgah di wilayah dalam waktu lama tentu harus minta izin kepada penguasa lokal.
Itulah awal persahabatan Cirebon dengan Cheng Ho. Saat itu Kesultanan Cirebon belum ada. Masih di bawah kekuasaan Kerajaan Singapura (bagian dari Kerajaan Sunda-Pajajaran). Baru pada 1430 masehi Kasultanan Cirebon ada. Dimulai ketika putra Kerajaan Pajajaran Pangeran Cakrabuana mendirikan Keraton Pakungwati.
Hampir semua wilayah Cirebon pernah didatangi Cheng Ho. Tapi, daerah yang menjadi tempat tinggal selama di Cirebon adalah Kawasan Muara Jati. Daerah itu sekarang menjadi area makam Sunan Gunung Jati.
Kunjungan Cheng Ho juga banyak memberikan bantuan alih teknologi ke masyarakat Cirebon. Di antaranya adalah manajemen kesyahbandaran, dan pembuatan jala penangkap ikan. Sehingga hasil tangkapan nelayan Cirebon menjadi lebih banyak. Bukan hanya itu, prajurit Cheng Ho juga mengajarkan teknik bercocok tanam.
Kemudian ekspedisi berikutnya, Laksamana Sampo Bo saat mendarat di negeri Campa (Vietnam) bertemu dengan Laksamana Sampo Lo Khoei Kian. Laksamana Sampo Lo Khoei Kian adalah salah seorang laksamana laut yang sangat tangguh dan kepercayaan juga orang andalan dari Panglima Laksamana Cheng Ho.
Kemudian Laksamana Sampo Bo dan beserta segenap ekspedisinya meninggalkan negeri Campa untuk melanjutkan perjalanan ke negeri-negeri berikutnya. Dalam perjalanan ini, seorang pemuda yang bernama Hasanuddin bin Yusuf Ash-Shodiq ikut dalam perjalanan Sampo Bo.
Ketika mendarat di Cirebon, Ekspedisi Laksamana Cheng Ho dan Laksamana Sampo Bo menjalin hubungan dengan Keraton Cirebon dan sebagai tanda persahabatan, didirikanlah mesurcuar untuk mempermudah dalam mengontrol Pelabuhan Muara Jati,Sementara Laksamana Sampo Lo Khoei Kian beserta Prajuritnya dikenalkan oleh Cirebon kepada Raja Sunda-Pajajaran di Pakuan – Pajajaran.
Awal kedatangan syekh Hasanuddin (Syekh Quro) di Cirebon
Syekh Quro datang di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon pada tahun 1416 Masehi. Sementara Syekh Nurjati mendarat di Cirebon pada tahun 1420 Masehi atau 4 tahun setelah pendaratan Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro di Cirebon. Kedatangan Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro di Cirebon, disambut baik oleh Syahbandar atau penguasa Pelabuhan Muara Jati Cirebon yang bernama Ki Gedeng Tapa.
Maksud dan tujuan kedatangan Syekh Hasanuddin ke Cirebon adalah untuk menyebarkan ajaran Agama Islam kepada Rakyat Cirebon. Syekh Hasanuddin ketika di Cirebon, namanya disebut dengan sebutan Syekh Mursahadatillah oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau rakyat Cirebon.
Setelah sekian lama di Cirebon, akhirnya misi Syekh Hasanuddin untuk menyebarkan ajaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon rupanya diketahui oleh Raja Pajajaran yang bernama Prabu Angga Larang. Namun disayangkan misi Syekh Hasanuddin ini oleh Prabu Angga Larang di tentang dan dilarang, dan kemudian Prabu Angga Larang mengutus utusannya untuk menghentikan misi penyebaran Agama Islam yang dibawakan oleh Syekh Hasanuddin dan mengusir Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah dari Tanah Cirebon.
Ketika utusan Prabu Angga Larang sampai di Pelabuhan Cirebon, maka utusan itu langsung memerintahkan kepada Syekh Hasanuddin atau Syekh Mursahadatillah untuk segera menghentikan dakwah dan penyebaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon. Agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka oleh Syekh Hasanuddin atau Syech Mursahadatillah atau Syekh Quro perintah yang dibawakan oleh utusan dari Raja Pajajaran Prabu Angga Larang itu disetujuinya, dan Syech Hasanuddin atau Syech Mursahadatillah seraya berkata kepada utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang : “ Meskipun dakwah dan penyebaran ajaran Agama Islam ini dilarang, kelak dari keturunan raja Pajajaran akan ada yang menjadi Waliyullah meneruskan perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam ”. Peristiwa ini sontak sangat disayangkan oleh Ki Gedeng Tapa dan para santri atau rakyat Cirebon, karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin berguru kepada Syekh Hasanuddin atau Syech Mursahadatillah atau Syekh Quro untuk memperdalam ajaran Agama Islam.
Maka ketika itu juga Syekh Hasanuddin atau Syekh Mursahadatillah pamit kepada Ki Gedeng Tapa - Muara Jati Cirebon karena harus berdakwah ke Malaka dan Sumatera, maka Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon menitipkan anak kandung Putri kesayangannya yang bernama Nyi Subang Larang, untuk ikut berlayar bersama Syekh Hasanuddin atau Syekh Mursahadatillah ke Malaka.
Keberadaan di karawang
Pada tahun 1418 M Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro mendarat di Pelabuhan Bunut Kertayasa (Kampung Bunut Kelurahan Karawang Kulon Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang sekarang ini). Beliau mendirikan musholla sekaligus pesantren dan diberi nama Pondok Quro yang artinya tempat untuk belajar Al – Qur’an. Inilah Pondok Pesantren pertama di Jawa Barat Yang didirikan oleh Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro. Pesantren ini berfokus kepada pengajaran Al – Qur’an dan ajaran Islam dan menjadi pusat pembelajaran awal bagi masyarakat karawang.
Di Karawang, Syekh Hasanudin dikenal dengan nama Syekh Quro karena dia adalah seorang yang hafal Al – Qur’an (hafidz) sekaligus qori yang bersuara merdu. Syekh Quro adalah penganut Mahzhab Hanafi, yang datang bersama para santrinya antara lain : Syekh Abdurrahman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang.
Syekh Quro kemudian menikah dengan Ratna Sondari putrinya dari Ki Gedeng Karawang dan lahir seorang putra yang bernama Syekh Ahmad Azmatkhan yang menjadi penghulu pertama di Karawang. Syekh Quro juga memiliki salah satu santri yang sangat berjasa dalam menyebarkan ajaran Agama Islam di Karawang yaitu bernama Syekh Abdullah Dargom alias Syekh Darugem bin Jabir Modafah alias Syekh Maghribi keturunan dari Sayyidina Usman bin Affan r. a. Yang kelak disebut dengan nama Syekh Bentong alias Tan Go. Syekh Bentong memiliki seorang istri yang bernama Siu Te Yo dan dia mempunyai seorang putri yang diberi nama Siu Ban Ci.
Ketika usia anak Syekh Quro dan Ratna Sondari sudah beranjak dewasa, akhirnya Syekh Quro berwasiat kepada santri – santri yang sudah cukup ilmu pengetahuan tentang ajaran Agama Islam seperti: Syekh Abdurrahman dan Syekh Maulana Madzkur di tugaskan untuk menyebarkan ajaran Agama Islam ke bagian selatan Karawang, tepatnya ke kecamatan Telukjambe, Ciampel, Pangkalan, dan Tegalwaru sekarang. Sedangkan anaknya Syekh Quro dengan Ratna Sondari yang bernama Syekh Ahmad, ditugaskan oleh sang ayah meneruskan perjuangan menyebarkan ajaran Agama Islam di Pesantren Quro Karawang atau Masjid Agung Karawang sekarang.
Sedangkan sisa santrinya yang lain yakni Syekh Bentong ikut bersama Syekh Quro dan Ratna Sondari istrinya pergi ke bagian Utara Karawang tepatnya ke Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang untuk menyebarkan ajaran Agama Islam dan bermunajat kepada Allah swt. Di Pulo Bata Syekh Quro dan Syekh Bentong membuat sumur yang bernama sumur Awisan, kini sumur tersebut masih dipergunakan sampai sekarang.
Pernikahan Muridnya
Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Hasanuddin menyampaikan dakwahnya di musholla yang dibangunnya dengan penuh keramahan. Uraiannya tentang agama Islam mudah dipahami, dan mudah pula untuk diamalkan, karena ia bersama santrinya langsung memberi contoh. Pengajian Al – Qur’an memberikan daya tarik tersendiri, karena ulama besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatakan masuk Islam.
Berita tentang dakwah Syekh Hasanuddin (yang kemudian lebih dikenal dengan nama Syekh Quro) di pelabuhan Karawang rupanya telah terdengar kembali oleh Prabu Angga Larang, yang dahulu pernah melarang Syekh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sehingga ia segera mengirim utusan yang dipimpin oleh sang putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup Pesantren Syekh Quro. Namun tatkala putra mahkota ini tiba di tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dikumandangkan oleh Nyai Subang Larang. Putra Mahkota (yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi) itu pun mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang Larang yang cantik itu dan halus budinya.
Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyai Subang Larang dengan syarat mas kawinnya haruslah berupa “Bintang Saketi Jejer Seratus”, yaitu simbol dari “tasbih” yang berada di Negeri Makkah.
Sumber lain menyatakan bahwa hal itu merupakan kiasan bahwa sang Prabu haruslah masuk Islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat Islam. Selain itu, Nyai Subang Larang juga mengajukan syarat, agar anak-anak yang akan dilahirkan kelak haruslah ada yang menjadi Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa, sehingga beberapa waktu kemudian pernikahan pun dilaksanakan, bertempat di Pesantren Quro (atau Mesjid Agung Karawang sekarang) dimana Syekh Quro sendiri bertindak sebagai penghulunya.
Raden Pamanah Rasa dan Nyai Subang Larang dikaruniai 3 orang putra yang bernama:
- Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat ( Yang lahir pada tahun 1345 Saka atau tahun 1423 Masehi ).
- Nyi Mas Rara Santang atau Syarifah Muda’im ( Yang lahir pada tahun 1348 Saka atau tahun 1426 Masehi )
- Raja Sangara atau Raden Kian Santang ( Yang lahir pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428 Masehi ).
Ketika anak–anak Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa telah menginjak usia dewasa dan telah mendapat bimbingan dari Waliyullah Syekh Quro, maka ketiga anak – anak dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa itu ditugaskan oleh Syekh Quro untuk lebih memperdalam lagi ajaran Agama Islam ke Pelabuhan Cirebon untuk berguru kepada Syekh Nurjati Cirebon.
Setelah cukup mendapatkan bimbingan dari Syekh Nurjati Cirebon, maka ketiga anak – anak dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa, adik bungsu dari Nyi Mas Rara Santang dan Raden Walasungsang yang bernama Raden Sangara atau Raden Kian Santang bertugas menyebarkan dan mengajarkan ajaran Agama Islam di Barat Cirebon yakni ke wilayah Limbangan - Kabupaten Garut. Sedangkan Nyi Mas Rara Santang bersama kakaknya Raden Walasungsang ditugaskan untuk berhaji dan sebelum berhaji disarankan terlebih dahulu menemui Syekh Ibrahim di Campa untuk mendapatkan bimbingan.
Makam Syekh Hasanuddin atau Syekh Quro
Waktu terus bergulir usia Syech Quro sudah sangat uzur, akhirnya Syech Quro Karawang meninggal dunia dan dimakamkan di Pulo Bata Desa Pulo Kalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. Maka penerus perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam di Pulo Bata, diteruskan oleh Syekh Bentong sampai akhir hayatnya Syekh Bentong.
Makam Syekh Quro Karawang dan Makam Syekh Bentong ditemukan oleh Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syekh Tolha pada tahun 1859 Masehi atau pada abad ke- 19. Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syekh Tolha, di tugaskan oleh Kesultanan Cirebon, untuk mencari makam Maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syekh Quro.
Bukti adanya makam Syekh Quro Karawang di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang, di perkuat lagi oleh Sunan Kanoman Cirebon yaitu Pangeran Haji Raja Adipati Jalaluddin saat berkunjung ke tempat itu dan surat, penjelasan sekaligus pernyataan dari Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII Nomor: P-062/KB/PMPJA/XII/11/1992 pada tanggal 05 November 1992 yang di tunjukan kepada Kepala Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H