Ditempat persembunyian, gali yang malang meratapi nasibnya. Apa mungkin ini hukuman dari tuhan? Sebab perbuataanya yang dahulu ia perbuat, sama seperti istrinya ia memikirkan karma yang benar ada. Alam akan memberi hal setimpal dari apa yang telah ia tanam, gali menyesal telah menanam buah-buah busuk dilahan hidupnya. Dan ia harus menerima hasil panen yang telah ia tanam. Dua tahun sudah gali kabur dari rumahnya meninggalkan anak istri sendirian, rindunya pun menguak berbarengan denga air mata penyesalan. Semalaman ia memohon ampun pada tuhan, bertaubat dan pasrah bila harus mati ditangan pemerintah.
Semarang begitu gila bagi gali, sanggat keras, tak seperti di daerahnya dulu ia disegani, hidup sedikit sejahtera. 1984, gali menutuskan pulang ke jakarta, sebab sangat rindu dengan istri dan anaknya, dan ia pikir pula bahwa konflik ini telah sedikit reda, jadi sedikit merasa aman untuk pulang. Â
Selama diperjalanan pulang denga bis umum tak ada hal yang janggal, semua berjalan dengan lancar. Sore hari tepatnya gali sampai terminal jakarta, sangat terkejut ketika gali melihat tak ada pungli dan preman terminal, terlihat lebih bersih dari sebelumnya. Gali pikir mereka sudah pindah ke alam lain, menerima hukuman dineraka sana. Ia bergegas pulang, sebab rindunya sudah tak terbendung lagi, dijalanan pun sudah bersih tak ada preman yang petantantang-petententeng disana, Para pedagang kaki lima pun bisa menghembukan nafasnya dengan tenang tanpa perlu memberi iuran keamanan palsu dari para preman.
Gali terus berjalan dibawah terik matahri, langkahnya menjadi berat ketika mendekati komplek tempat tinggalnya, ia takut ada warga yang akan melapor kepada kepolisian, sebab selama gali kabur ia sangat dicari oleh polisi untuk dihukum mati, gali adalah biang ketidak nyamanan, selalu membuat onar dikempungnya, maka dari itu polisi begitu berhasrat memburu gali. Betul saja ketika ia sampai warga begitu sinis dan melontarkan kata-kata yang hina untuknya:
"Dasar anj***, bang***, pergi dari sini gila, woy ngapain balik kesini, dasar manusia hina, manusia tak berguna, lebih baik kau mati saja."
Tak sedikit pula yang melemparinya dengan batu dan kayu. Anak-anak kecil begitu ketakutan melihat gali tiba kembali. Gali babak belur, bonyok-bonyok terkena batu dan kayu, ia menangis dan menunduk terus berjalan kerumahnya.
Sesampainya gali dirumah, anaknya begitu malu sebab ia telah mengetahui bapaknya adalah seorang preman pasar.
"Jarwo, ini bapak sudah pulang!"
"Mending bapak pergi, mana sudi aku punya bapak sepertimu." Lalu ia berpaling dan membating pintu rumah, BRAAKKK.
Tak lama kemudian sarti datang dan membukakan pintu rumahnya dan memeluk gali:
"Mas, ayo masuk."
Gali pun masuk dengan penuh ketidak kuasaan, kemudian ia duduk dimeja jamu, istrinya memberikan segalas air hangat:
"Aduh mas, kenapa kamu harus pulang, sebetulnya ini belum aman, walau sudah sedikit redup, gimana jadinya bila mereka melapor?"
"Mas sudah pasrah dengan apa yang akan menimpa, bila aku mati tolong jaga jarwo, agar tak sepertiku."
"Jangan bilang gitu mas, rinduku baru saja kelar, masa harus diperpanjang dengan kamatian."
"Syukur-syukur aku pulang dek, kalo aku mati disanah, rindumu sangat panjang dan lebar, untung aku selamat dan masih bisa pulang, setidaknya kau bisa menarik nafas terlib dahulu, ketimbang tiada lega sama sekali."
"Yasudah, aku sudah dapat pekerjaan yang layak, Mas lebih baik jangan keluar rumah dulu, biar aku saja yang mencari cuan sampai semua aman."
"Iya ti!, mana ibu?"
"Ibu sudah meninggal setahun setelah mas kabur."
Gali meneteskan airmata sebab sangat merasa bersalah.
Â
*****
Berbulan-bulan gali hanya didalam rumah, hubungan anatara gali dan anaknya sangat renggang. Anaknya sama sekali tak mau berbicara dengan gali, namun gali tetap mencari cara agar hati anaknya bisa terambil.
Suatu malam diperjamuan malam, istirinya telah membuat makan malam yang sedap, semua pun kumpul, sembari diiringi lagu dari tip radio jadul. Sartipun membujuk jarwo agar bisa memaafkan bapaknya, dan gali pun begitu membuka percakapan kepada jarwo, namun ia tetap diam tak berkata-kata, sartipun memberi nasihat untuk jarwo:
"Wo, begitu juga itu bapakmu, tak boleh begitu, untung bapak pulang, ada dihadapanmu, coba bayangkan bila bapak tak pulang kamu akan menyesal seumur hidup."
Jarwo pun tetap diam, dan kemudian pergi begitu saja menuju kamarnya.
Tak selang lama setelah selsai makan sarti dan gali pun berbincang dimeja makan, tiba-tiba terdengar sayup-sayup dari luar rumahnya:
"Gali...., keluar. Dalam hitungan ketiga kalo tak keluar gw bakar rumahmu berserta anak istrimu.
Satu....
Dua.......
Tiga..............."
Secepat yang gali bisa ia bergegas keluar, sarti panik dan mendampingi gali, namun gali mengelak:
"Sudah tak usah, biar aku saja, sana temani jarwo dikamarnya."
"Tapi aku takut mas kenapa-napa?"
"Tenang, mas akan baik-baik saja."
Sarti terdiam, gali langsung membuka pintu dan keluar.
Polisi telah menjemputnya, para warga berkerumun menyaksikan penangkapan gali. Gali kemudian melirik kedalam rumahnya ternyata sarti dan jarwo melihatnya. Lalu gali langsung diangkut kedalam mobil polisi, seluruh warga menyorakinya: mampus kau gali, makan tuh. Saut seluruh warga. Didalam mobil polisi gali disiksa, dipukuli, ditembak dibagian kaki-tangan-dan paha, matanya dijongkel sebelah. Mereka berkata:
"Inilah hukuman yang setimpal untukmu."
Dor dikepala dan gali tak pernah terlihat kembali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI