Sudah beberapa bulan ini masih hangat dan semakin ramai dibicarakan terkait Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker), terbaru adalah opini dari Fachri Ali di Koran Kompas dengan judul "Omnibus Law, BUMN, Negara".Dalam hati berkata pasti isu ini merupakan sesuatu yang penting, ini mendorong Saya untuk mencari tahu sebenarnya Omnibus Law isu mengenai apa? Â Mengapa semaki ramai dibicarakan tidak tenggelam? Â Mengapa banyak kalangan yang menolak tapi tidak sedikit juga yang mendukung Omnibus Law Ciptaker?
Hal pertama yang Saya lakukan tentunya mencari tahu dengan berselancar di google karena konsep mengenai Omnibus Law ini jujur saja baru Saya dengar dan tahu. Â Hasil berselancar di google sudah banyak praktisi hukum, akademisi termasuk juga pemerintah yang mendefinisikan apa itu Omnibus Law dan kaitannya dengan Ciptaker. Saya ambil saja definisi yang dipaparkan Oleh Kemenko Perekonomian bahwa Omnibus Law adalah metode yang digunakan untuk mengganti dan/atau mencabut ketentuan dalam UU, atau mengatur ulang beberapa ketentuan dalam UU ke dalam satu UU (Tematik).
Setelah mengetaui definisi Omnibus Law lalu apa kaitannya dengan Ciptaker,  sederhananya pemerintah akan melakukan pemangkasan, penyederhanaan, dan penyelarasan aturan yang obsesitas, tumpang tindih dan kompleks untuk tujuan  peningkatan kesejahtraan masyarakat. Menurut pemerintah UU Omnibus Law Ciptaker akan merevisi 1244 Pasal dari 79 UU. Hal yang mencakup Omnibus Law Ciptaker terdapat 11 klaster dari 31 kementrian dan lembaga terkait. 11 Klaster ini terkait: 1) Penyederhanaan perizinan, 2) persyaratan investasi, 3) ketenagakerjaan, 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM, 5) Kemudahan Berusaha, 6) Dukungan Riset dan Inovasi, 7) Administrasi Pemerintahan, 8) Pengenaan Sanksi, 9) Pengadaan Lahan, 10) Investasi dan Proyek Pemerintah, 11) Kawasan Ekonomi.
Selanjutnya setelah ditelaah mengenai Omnibus Law Ciptaker sebetulnya tujuan dari pemerintah adalah baik lalu mengapa ini menjadi polemik, terjadi penolakan dari kalangan masyarakat sipil khususnya buruh, mahasiswa dan sejumlah LSM. Rasanya belum hilang polemik yang panas juga terkait pembahasan RUU Kontroversial Revisi UU KPK, RUU KUHP, RUU pertanahan dan sebagainya. Kalangan yang menolak Omnibus Law ini juga bisa dikatakan sama dengan kalangan yang menolak RUU Kontroversi, menjadi pertanyaan apakah kalangan yang menolak Omnibus Law memiliki dasar pemikiran yang sama kuat dan alasan yang masuk akal atau ada alasan lain mengapa kelompok yang sama ini melakukan penolakan terus menerus terhadap setiap gerak langkah pemerintah?
Jika kembali berselancar di google kita dapat menemukan bahwa orang yang cukup keras mengkritik dari kalangan LSM  adalah Haris Azhar, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation. Bagi Haris Azhar RUU Omnibus Law Cipkater isinya cacat moral: "RUU Cipta Kerja ini hanya gabungan dan ganti nama. Namun isinya cacat moral". Selanjutnua Haris Azhar  juga mengatakan pembahasan RUU Ciptaker tidak sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan tidak transparan (tempo.co,  4 Maret 2020). Masih dalam pandangan Haris juga, bahwa mahasiswa yang melakukan penolakan salah satunya karena mahasiswa tidak memahami isi draft RUU, klaim Haris ini berangkat dari survei yang dia lakukan pada 77 kampus di 18 provinsi (Tribunnews.com, 24 Februari 2019)
Melihat satu contoh penolakan yang dilakukan oleh Haris Azhar atau oleh pihak-pihak lainnya sebetulnya sah-sah saja di alam demokrasi sebagai sebuah input dalam berjalannya sebuah sistim politik. Akan tetapi kritik Haris Azhar sebetulnya bisa dibantah bahwa pemerintah tidak taat peraturan perundang-undangan itu sesuatu yang keliru, karena Omnibus Law yang dibuat sudah jelas, taat pada hierarki peraturan, dan menjamin kepastian hukum. Kemudian bila ada tuduhan pemerintah tidak terbuka sebetulnya ini juga bisa dibantah karena saat penyerahan draft ini pemerintah secara terbuka menyerahkan draft kepada DPR RI, kemudian proses pembahasan di DPR belum berlangsung maka sebetulnya masyarakat sipil bisa menyampaikan masukannya, mengakses draftnya dan meminta perwakilannya di DPR Â untuk menyuarakan aspirasinya.
Kritisi terhadap Haris Azhar dalam menolak Omnibus Law ini menurut penulis penting, tapi jangan diartikan penulis sepenuhnya pro terhadap pemerintah dan diindentifikasikan sebagai bagian dari pemerintah. Mengkritisi Haris Azhar adalah contoh saja, artinya tujuan penulis sebetulnya menginginkan masyarakat sipil yang memiliki gagasan dan pemikiran yang betul-betul kuat sebagai penyeimbang pemerintah bila telah keluar dari koridor berdemokrasi, perundang-undangan dan tujuan bernegara. Dengan begitu masyarakat sipil yang hadir dapat berkontribusi positif juga memberikan iput untuk pembangunan, bukan hanya meramaikan kegaduhan seperti  yang penulis temukan ketika berselancar  di google yang hanya membuat masyarakat luas terprovokasi tanpa tahu maksud dan tujuannya menolak Omnibus Law Ciptaker. Â
Bagian akhir tulisan ini ingin menyampaikan pesan bahwa kritik yang dilayangkan oleh sebagian besar penolak Omnibus Law ciptaker harus memiliki dasar yang kuat, kritik yang konstruktif bukan destruktif. Jangan sampai ada kecurigaan yang menolak mentah-mentah ini  belum mengkaji dan membahas secara serius isi substansi Draft. Lebih baik kritik ditujukan  kepada pasal-pasal yang memang menjadi masalah lalu masukan yang baik itu seperti apa, daripada terkesan tidak memberi solusi sama sekali. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang takut untuk melakukan reformasi hukum dan melakukan sesuatu yang baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H