Kelahiran saya tidak melalui rahim seorang perempuan. Cukup dengan membuka mata, saya ada. Tidak ada selamatan, tidak pernah ada sambutan. Sebuah batu berlumut, di alun-alun, menyangga tubuh saya terbaring. Sejak itu, tiba-tiba “ada” adalah pristiwa yang saya percaya. Saya adalah bukti nyatanya.
Saya yakin, kau tidak akan pernah percaya apa yang saya katakan. Itu sudah pasti. Sebab, orang-orang di sini juga seperti itu. Sepertimu. Namun percayalah, atau setidaknya hargailah, dengan cara menunda beringsut di keningmu. Setelah itu saya akan kembali diam. Untuk selamanya.
Saya pernah bermimpi tentang sebuah dunia yang sangat bertentangan dengan dunia ini. Di mana tawa adalah tawa, dan tangis adalah tangis. Tentu saja dengan batas pemahaman seperti itu, saya sepertinya adalah orang yang jujur, bukan?
Meski antara tawa dan tangis bagi saya adalah kejujuran, hampir tidak pernah saya menemui raut pesakitan. Atau ratap kesedihan yang membosankan. Seakan-akan duka-duka yang ada di seluruh dunia saya tanggung untuk kebahagiaan mereka. Entah mengapa, ironisnya, saya pun mengutuk diri saya sendiri, yang tentu saja menambah duka yang tak berkesudahan.
Di sana saya memiliki seorang kenalan. Perempuan yang memiliki paras cantik luar biasa. Ia begitu murah senyum. Ia seorang pendengar yang baik, ramah, dan kelihatannya pandai serta tentu saja bahagia. Ia adalah satu-satunya manusia bahagia yang menyempatkan waktunya berbicara dengan saya.
“Semenjak Anda di sini selalu murung, ada apa?” Sapanya waktu itu.
“Anda berbicara kepada saya?”
“Anda kira saya berbicara kepada siapa?”
“Bukan begitu, Nona, tetapi apakah saya pantas berbicara dengan orang-orang bahagia seperti Anda?”
“Saya pikir, saya tidak berbeda dengan Anda, kita manusia biasa, bukan?
“Ya, Anda benar, kita memang manusia biasa.”