Mohon tunggu...
Faisal L. Hakim
Faisal L. Hakim Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penikmat harmoni

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pembebasan Sastrawan Sosialita Dari Pintu Belakang

31 Mei 2016   16:44 Diperbarui: 31 Mei 2016   16:59 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembebasan Sastrawan Sosialita

Kasihan sekali para sastrawan sosialita yang diklaim oleh Anindhita S. Thayf. Jika saya boleh menerjemahkan, sosialita dalam konteks tersebut adalah oportunis. Sehingga menjadi sastrawan oportunis. (emotikon tutup mata)

Ini adalah poin yang saya permasalahkan. Saya sepakat dengan mas Pringadi Abdi Surya (salam kenal, mas) dalam tulisannya yang berjudul Tak Ada Salahnya Menjadi Sastrawan Sosialita yang menjadi headline kompasiana, kemarin. Bahwa terdapat salah pemahaman oleh Anindhita dalam memandang tutorial Barthes tentang Author is Dead.

Saya pikir, Nindhi masih belum bisa move on dari belenggu pemikiran Barthes. Parahnya, kurang tepat pula memahaminya. Jika maksud Barthes bagaimana cara kita memandang sastra secara objektif, salah satunya dengan menuilskan ulang karya tersebut, maka tidak bagi Nindhi. Bahwa ia menautkan karya sastra dengan pemiliknya secara leteris/mentah. Bahwa ia menganggap sastra dan pengarangnya adalah persaingan eksistensi. Tentu saja itu sangat naif dan paradoksal. Kenapa harus diciptakan jika nanti menjadi musuh.

“Dalam kondisi kesusastraan Indonesia mutakhir, ujaran Roland Barthes dalam The Death of the Author yang berbunyi, "Penulis mati setelah karya tercipta", seolah tidak berlaku lagi. Penulis, dalam hal ini sastrawan, ternyata menolak mati.” (Thayf dalam Republika, 8/5/16)

Oke, karena terlanjur terjustifikasi bahwa sastrawan yang aktif di dunia kesastraan zaman sekarang sebagai sosialita oleh mbak Nindhi, maka izinkan saya menjadi “Rambo” untuk membebaskan mereka semuanya.

Jika penggiringan para sastrawa menuju “sosialita” melalu pintu-pintu depan atas nama akademisi dunia, tepatnya buah pikirnya, maka saya akan membebaskan dari pintu belakang saja. Yang bahkan tidak pernah diakui sebagai pintu.

Bahwa sosialita atau bukan adalah hal yang tidak penting. Sebab sebuah karya ataupun pengarangnya akan mendapati kelahiran dan kematiaannya sendiri. Jika Pramudya Ananta Toer mengatakan menulis adalah bekerja untuk keabadian, maka sejujurnya segala pengetahuan telah disediakan dan walaupun tidak dituliskan akan tetap abadi. Manusia hanya gede rasa saja.

Jikapun kita mematikan sang pengarang, semata-mata itu untuk mereduksi subjektivitas manusia (mahluk paling subjektif) atas apresiasi atau kritik sastra yang dilakukannya.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun