Mohon tunggu...
Faisal L. Hakim
Faisal L. Hakim Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penikmat harmoni

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Simbol: Pusaka Sang Penjilat

8 April 2016   01:13 Diperbarui: 8 April 2016   01:27 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="gambar: aaynda.blogspot.com"][/caption]Bicara kepentingan erat kaitannya dengan metode. Tentu saja pemilik kepentingan adalah orang-orang yang memiliki tujuan. Baik tujuan besar, maupun tujuan-tujuan kecil.

Kepentingan melahirkan metode. Metode beragam pula jenisnya. Pendeknya, jenis metode terbagi menjadi dua: mikro dan makro.

Metode makro sebagaimana Anda ingin mengambil harta karun dengan cara menggali tanah. Metode mikronya  Anda bisa menggali dengan cangkul, linggis, bor, atau alat lainnya.

Metode merupakan cara untuk sampai kepada tujuan. Dalam konteks seni, metode bisa merupakan karya yang digunakan untuk menyampaikan ekspresi dan maksud kepada halayak. Dalam penelitian, metode digunakan untuk memecahkan masalah.

Lha, kini, saya ingin bicara tentang salah satu alat untuk mencapai kesepakatan. Salah satu metode untuk sampai pada tujuan, yaitu penyamaan simbolis.

Kesamaan Simbolis

Jika Anda kebetulan tergabung dalam satu kelompok oragnisasi, Anda kemungkinan besar akan tahu orang-orang yang—walaupun belum Anda kenal—juga bergabung dengan organisasi Anda. Mengapa?

Identitas akan selalu muncul di sebuah perkumpulan, paguyuban, organisasi, atau kelompok-kelompok komunal lainmya. Misalnya panggilan saudara ketika di GMNI, sahabat ketika di PMII, atau rakanda ketika di HMI.

Secara otomatis, untuk menlancarkan kepentingan, seseorang akan menggali kesamaan dengan orang lain untuk mendukung kepentingannya. Dalam hal ini, kesamaan memiliki pengaruh besar sebagai teknik persuasi.

Dengan mencari kesamaan antara kedua belah pihak, kesempatan untuk berjalan di satu jalur terbuka lebar. Termasuk mencari-cari kesamaan simbolis, bukan hanya kesamaan visi misi.

Ketika teman Anda memanggil Anda dengan sebutan tertentu, cuk misalnya, secara emosional Anda akan menjadi sangat akrab karena Anda sama-sama dari Surabaya yang merantau di kota lain.

Bahkan, ketika Anda hanya memiliki uang yang cukup buat Anda sendiri dalam jangka tiga hari, akan Anda pertimbangkan untuk meminjamkan kepada teman Anda yang satu identitas dengan Anda.

Penjilat dan Politik

Saya sepakat jika ada yang mengatakan politik itu kejam. Baru-baru ini, mantan Rektor Unair yang menjadi korban KPK dalam kasus RS Unair, Prof. Dr. Fasichul Lisan, berpesan kepada sekelompok pemuda yang sowan kepadanya untuk berhati-hati kepada sahabat.

Ada benarnya pula. Sahabat adalah orang yang paling tahu kondisi Anda, tanpa “menggambar” terlebih dahulu. Ia adalah yang paling tahu simbol-simbol yang sama di mana Anda akan semringah ketika mendengar ataupun melihat simbol yang sama.

Begitu ngefeknya sebuah simbol di kehidupan sehari-hari mencerminkan kenaifan tersendiri. Betapa tidak, hanya dengan “referensi nostalgia” yang diwakili sebuah kata, kita menjadi melayang terbuai. Hanya sebuah kata, belum lagi rangkaian kata sanjungan atau jilatan!

Simbol-simbol “sakti” tersebut termasuk dalam daftar kosa kata diplomatis. Bahasa diplomatis, seperti kita tahu, berarti menyamarkan maksud. Sebagai contoh, sebutan kanda, bermaksud bahwa kita adalah se-organisasi ataupun segolongan. Maka, dengan menyebutkan simbol tertentu kepada orang tertentu, feedback yang didapat adalah kesan akrab dan memihak.

Lobi-lobi politik tentang siapa yang diusung dalam pemilihan umum, misalnya, adalah konteks yang populer melatarbelakangi komunikasi diplomatis. Komunikasi-komunikasi tersebut membawa kepentingan tersendiri antar-kelompok atau antar-mantan satu kelompok.

Bagi lidah penjilat, kekayaan kosa kata diplomatis hukumnya wajib dikuasai. Sebab, sekalipun bahasa diplomatis bisa cenderung bermakna positif, kenyataannya kejujuran bukanlah yang utama. Juga, sekalipun tujuannya mulia.

Maksud saya, seorang yang lugu atau bodoh tidak selamanya buruk. Ia memiliki kejujuran berujar. Ujaran atau tuturan orang naif selaras dengan niatnya. Sehingga apa yang dituturkan adalah kemurnian perasaan. Jika tidak selaras, berarti dia tidak naif, tapi bisa juga dia adalah orang yang jujur dan tidak memiliki banyak kepentingan.

Sayangnya, kejujuran, sifat yang paling mendekati kebenaran itu, tidak membudaya saat ini. Entah karena malas menerapkannya, entah kejujuran tidak lagi menjanjikan untuk meraih keuntungan.

Akhirnya praktik berbohong tidak bisa dihindari di kehidupan sehari-hari. Akibatnya, generasi penjilat tumbuh subur.  Solusinya, saling menjilatlah untuk mengimbangi. Sebab, penjilat adalah orang yang jauh dari kenaifan. Sepertinya, menjadi penjilat adalah pilihan tepat saat ini. Semoga Anda tidak percaya dengan saya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun