Mohon tunggu...
Faisal L. Hakim
Faisal L. Hakim Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penikmat harmoni

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Hijrah Para Labilis Menuju Hijabis

27 Januari 2016   01:37 Diperbarui: 27 Januari 2016   01:48 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Di dalam kesemuanya itu, ada satu fenomena yang begitu miris dan menyakitkan dalam pandangan kasat mata, yaitu hijrahnya kaum labilis ke arah hijabis dan simbol-simbol syar’I lainnya.

Dari sekian banyak manusia yang berkecil hati karena, maaf, wajah tidak mendukung, kenyataanya tidak sedikit pula yang lebih canggih dari manipulasi aplikasi dalam meng-cover diri, yaitu melalui simbol-simbol oposisi gaya hidup saat ini yang katanya sudah tanpa batas.

Status-status di media sosial tentang larangan pacaran, kata-kata mutiara, bahkan cuplikan-cuplikan hadits tentang larangan ini itu, jarang saya temui dilakukan oleh ABG-ABG cantik yang menggunakan foto dirinya sendiri.

Sebaliknya, sering saya temui yang melakukan adalah akun-akun berpoto profil karikatur berhijab yang setelah saya stalking di bagian paling bawah terdapat foto aslinya yang, maaf, tidak menarik.

Keputusan untuk menjadi oposisi gaya hidup kekinian bisa jadi adalah hal yang tepat, tetapi tidak menutup kemungkinan malah menjadi hal yang begitu na’if, ironis, dan menyedihkan. Mengapa?

Bayangkan, betapa banyaknya tenaga yang harus dikuras untuk menipu hati. Dengan kondisi yang tidak mendukung hari demi hari harus memalsukan diri melalui simbol-simbol agama. Dari sini saya teringat penggalan syair Emha Ainun Najib yang berjudul “Lautan Jilbab”, “Adakah jilbab itu semacam tindakan politik, semacam perwujudan agama, atau pola perubahan kebudayaan?”

Tentu saja, tidak semua orang demikian. Saya sendiri juga belum tentu benar. Hati manusia siapa yang tahu. Namun paling tidak, ada satu harapan di sana bahwa perjuangan memang harus jelas. Dan, senantiasa saya semogakan bahwa dengan kondisi tak berdayanya mengikuti gaya hidup, adalah hidayah Tuhan Yang Maha Tahu.

Jika memang fenomena saat ini demikian adanya, satu-satunya hal yang harus diperbaiki sejak dini adalah pola pikir generasi muda. Pembentukan pola pikir memang tidak cukup satu atau dua tahun. Namun harus terus berlangsung dan upgrade dari waktu ke waktu sehingga pondasi-pondasi tindakan, katakanlah dakwah, benar-benar dalam dan terpatri dalam hati.

Berbicara pola pikir, saya teringat kata-kata Noe, vokalis band Letto, yang menyarankan untuk belajar dari Al Quran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun