Mohon tunggu...
Faisal L. Hakim
Faisal L. Hakim Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penikmat harmoni

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tarian Pena

3 Februari 2014   17:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:11 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelap yang penuh harap!

Kugerakan pena selaras dengan gerakanmu

Kutuliskan pesan seirama dengan emosimu

Kapada Yang Maha Indah kupersembahkan,

Tarian-tarian pena penuh penghayatan

Di panggung beribu pasang mata menyaksikan

Bagaimana pena usangku menari untuk mencritakan.

Malam itu, suara laut mengiringi tarian penaku. Di sebuah desa kecil, di ujung timur Jawa yang syahdu dengan hiasan lintang gemerlap atas nama keindahan. Aku berkata dalam hati, “Penaku menari malam ini, saksikanlah dalam mimpi.”

Januari yang penuh nostalgia, mungkin esok, bukan kini. Jika cita berujung nyata maka cinta menyambut jiwa. Namun, jika cita berujung luka maka cinta tak akan binasa.

Malam penuh doa. Kupersembahkan kepada jiwa di sana. Engkaulah Sang Pencipta, kuminta ia raga dan sukma. Rangkaian kata-kata mungkin usang, sekarang. Tak lagi zamannya untuk mahar penebus harap. Tapi, kini, malam ini, kuserahkan kepada-Mu sesuatu yang tak bisa dituturkan dengan lugas dan tegas. Puisi mungkin bisa memberi pengertian, tapi puisiku tak cukup dengan kata-kata.

Aku melihatnya dengan mata-Mu, aku merasakannya dengan hati-Mu, aku mendengarkan suaranya dengan telinga-Mu.

Penaku terus bergoyang. Tak mau kalah dengan gerakan tubuhnya yang masih menari di alam memori.

Sebagaimana aku bernapas, keindahan-Mu, kulihat padanya. Kebesaran-Mu juga kulihat padanya.

Tintaku hampir habis malam ini. Coretan-coretan beraroma cinta menyebar di seluruh ruangan. Melekat di baju-baju, di kasur, di kelambu, dan tentu di jiwaku.

Malam sudah hampir pagi. Mimpimu aku tak tahu. Penaku bingung apa yang baru saja dituliskan. Aku kembali menjadi manusia hampa. Tanpa keinginan. Engkau berlalu, perempuan berdarah netral yang selalu menyenangkan. Mampirlah di ujung ceritaku.

Banyuwangi, 28 Jan 2014/01.45 WIB

Catatan: Sajak pertama yang kutulis tanpa dasar yang jelas. Kekacauan dalam batin antara tauhid, cinta, perempuan, dan pertemuan antara iya dan tidak. Sebuah puisi yang berawal dari visualisasi gerakan tubuh yang kuanggap indah yang mengendap menjadi kerak dalam hati. Dicampur hasil penyadaran akan kesatuan antara mahluk dan Tuhannya. Dibumbui dua hal berbeda yang bergerak dalam mewujudkan atau menginformasikan emosi, antara gerakan tubuh dan pena.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun