Penaku terus bergoyang. Tak mau kalah dengan gerakan tubuhnya yang masih menari di alam memori.
Sebagaimana aku bernapas, keindahan-Mu, kulihat padanya. Kebesaran-Mu juga kulihat padanya.
Tintaku hampir habis malam ini. Coretan-coretan beraroma cinta menyebar di seluruh ruangan. Melekat di baju-baju, di kasur, di kelambu, dan tentu di jiwaku.
Malam sudah hampir pagi. Mimpimu aku tak tahu. Penaku bingung apa yang baru saja dituliskan. Aku kembali menjadi manusia hampa. Tanpa keinginan. Engkau berlalu, perempuan berdarah netral yang selalu menyenangkan. Mampirlah di ujung ceritaku.
Banyuwangi, 28 Jan 2014/01.45 WIB
Catatan: Sajak pertama yang kutulis tanpa dasar yang jelas. Kekacauan dalam batin antara tauhid, cinta, perempuan, dan pertemuan antara iya dan tidak. Sebuah puisi yang berawal dari visualisasi gerakan tubuh yang kuanggap indah yang mengendap menjadi kerak dalam hati. Dicampur hasil penyadaran akan kesatuan antara mahluk dan Tuhannya. Dibumbui dua hal berbeda yang bergerak dalam mewujudkan atau menginformasikan emosi, antara gerakan tubuh dan pena.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H