Gonjang-ganjing soal BLT tidak tepat sasaran bukan lagi rahasia umum. Isu itu menjadi bumerang bagi desa, pun tak jarang mengadu domba aparat desa dengan masyarakat. Yang tak kebagian jatah, acap kali menuding aparat desa 'pilih kasih' dalam pendistribusian. Memang maksud pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat. Tapi 'santunan' beberapa lembar uang ratusan ribu, tak akan pernah menyelesaikan problem ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sampai kapanpun.
Harusnya Dana sebesar itu lebih produktif jika dikelola untuk pemberdayaan, peningkatan life skill berbasis minat rumah tangga. Outputnya lebih jelas, masyarakat bisa semakin berdaya, mandiri mengurusi asap dapurnya. Toh selama ini, daya tarik jadi gelandangan di Ibukota lebih memikat daripada iming-iming uang raskin itu.
Dilema lain, Pernah seorang teman aparat desa bercerita, soal carut-marutnya birokrasi kita. Dana desa ibarat buah simalakama, tak ada 'kebebasan' dalam penggunaannya. Mampir direkening desa, lalu sebagiannya menguap dengan program-program yang kurang ada relevansinya dengan kebutuhan desa. Terkadang ada tawaran program dari desa terbentur oleh tembok birokrasi diatasnya. Padahal pemerintah Desa lah yang lebih paham kebutuhan warganya. Sebagai contoh, pernah desa mengajukan tawaran studi banding, belajar ke salah satu desa percontohan di jogjakarta. tapi lagi-lagi mental oleh birokrasi yang berwenang memberi izin. tanpa alasan yang jelas.
Lebih miris jika ada 'pesanan program' dari 'atas'. Pemerintah desa dilema untuk mengatakan : TIDAK. Maklum, persoalan hierarki birokrasi kita, harus manut sama yang di 'atas'. Otonomi desa jelas dikangkangi. Pernah teman bercerita, kalau di desanya pernah mengeluarkan anggaran pengadaan tenda payung, padahal jelas itu tidak dibutuhkan. Tak menurut, kadang ada sanksi sosial. Minimal dicuekin, tak jarang dipersulit soal tetek-bengek apabila ada keperluan ke birokrasi 'diatas'. Tak heran dana desa kadang menguap dari rekening di 'begal' persoalan hierarki birokrasi.
Jika tak ada terobosan berarti dari pemerintah, godan-godaan meninggalkan desa semakin besar. Pun saya mulai bimbang. jangan-jangan tahun depan kembali memanggul ransel, merantau, mencecap deru kendaraan, menghirup debu jembatan layang, mengadu nasib di kota.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI