Mohon tunggu...
Faisal Haitsam
Faisal Haitsam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berpayah-payah menulis diatas batu, daripada musykil menggores diatas air.

Buku dan Kopi itu Jodoh. Sekaligus Candu.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Utang, Life Style yang Membunuh

30 September 2022   12:23 Diperbarui: 30 September 2022   12:34 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Beberapa hari yang lalu, jagat maya dihebohkan Ibu paruh baya, Bariani mengakhiri hidupnya sendiri. Sebelum tragedi memilukan itu, diawali dengan membunuh kedua anaknya dengan meminumkan pestisida. Lalu tewas gantung diri.

Muasal tindakan edan si Ibu, karena perkara ekonomi, utang-piutang. Beban hidup dengan utang berkepanjangan merontokan daya tahan pikiran dan jiwanya. Tak lagi mampu berfikir rasional. 

Ini bukan kali pertama, kasus serupa sudah berulang kali terjadi. Godaan berhutang acapkali sangat menggoda, padahal konsekuensi jangka panjangnya bisa sangat horror.

Dulu, tetangga kami punya kisah serupa. Menganggap enteng perkara utang. Dia 'terusir' dari kampung halamannya sendiri, malu, akibat sering mangkir ketika ditagih. 

Ketika merantau, berharap kebiasaan jahiliyah itu berhenti, tapi nyatanya semakin menjadi-jadi. Ia harus berpindah-pindah tempat tinggal, lari dari kejaran si pemberi utang. Dikampung meninggalkan 'aib keluarga' di rantau bergerilya dari satu tempat ketempat lain, seolah diuber-uber kompeni.

Perkara utang bukan soal sepeleh. Namun ada juga  manusia memperlakukan utang layaknya 'candu'. Belum lunas utang kemarin, rasanya sesak jika hari ini tak mengambil utang baru. 

Ini lebih parah dari jenis manusia gali lobang tutup lobang. Dan mayoritas orang Indonesia berhutang bukan untuk hal produktif, tapi memuaskan nafsu homo sapiensnya untuk perkara remeh temeh.

Ada problem besar dari masyarakat kita terkait uang. Dan ini diwariskan sejak zaman kolonial, jadi kurikulum disekolah-sekolah. Bahwa pemahaman kita terkait finansial ada yang harus diluruskan. 

Dialam bawah sadar kita, tertanam mindset pola hidup konsumtif. Sedangkan ilmu mengelola uang sangat minim jadi topik pembahasan rakyat jelata. Tak heran pola hidup kita, menunggu gajian diawal bulan, berutang diakhir bulan. 

Tentu tak semua orang seperti itu. Namun ada lingkaran setan yang acapkali jadi mata rantai: bila penghasilan minim, gaya hidup tinggi, standar gengsi tak bisa diredam, kadang muaranya adalah utang.

Fenomena life style utang ini semacam tuntutan zaman baru. Utang kadang menjelma seperti madu, manis, tapi mengandung racun.  Terkadang itu tidak disadari. misalkan ketika pak kurir teriak di depan rumah, pakettt... pekettt.. pakett... saya terkadang tergopoh-gopoh keluar rumah. 

Itu pasti pesanan istri saya, ternyata COD (cash on delivery). Apes kalau istri saya tidak ada dirumah. Saya yang harus merogoh kocek. Dalam sebulan bisa beberapa kali. Ibarat utang istri, ditebus suami. Haha..

Saya terkadang berpikir, segala kemudahan sistem pembayaran ini, sesungguhnya adalah jerat utang yang tidak disadari. Tak jarang kita nekat memesan barang meskipun uang tak memadai, hanya berasumsi 2 -- 3 hari lagi paket datang, dan uang kita pasti sudah pasti tersedia.

Ini semacam berjudi. Berbagai macam kemudahan layanan sistem pembayaran sesungguhnya berkedok utang. Pun imbasnya membuat kita semakin tidak mawas diri, terjerembab dalam kubangan perilaku konsumtif.

Pernah kejadian tetangga kami, harus berutang hanya karena paket CODnya sampai sedangkan isi dompetnya nihil. Dan seluruh tetangga tahu itu. Utang harus ditutupi dengan malu. Melarat tak tahu diri pula. Bahkan juga pernah kurir harus me return paket pesanan, gara-gara si pemesan belum memiliki uang. Betapa mengerikannya.

Persoalan utang ini tak jarang jadi penyakit yang bisa menyebar. Pernah teman saya bercerita, bahwa kebiasaan berhutang tetangganya bukan hanya menjangkiti salah satu: istri atau suami, tapi sifat kedunguan itu sampai diwariskan ke darah dagingnya. 

Anaknya pun sangat gemar berhutang. Ini semacam sifat jahiliyah kolektif yang sengaja dipelihara. Kadang ada sifat mentalitas culas ketika kita berurusan dengan orang yang diberi hutang : susah ditagih, pura-pura lupa, atau keenakan menunda-nunda pembayaran.

Kita memang sepertinya ditakdirkan hidup di negeri yang aktualisasi diri dilihat dari materi semata. Tak jarang, antar tetangga saling iri hanya persoalan tetek-bengek, panci atau daster murahan. Nilai hidup itu seberapa materi yang anda punya. Tak sepenuhnya salah, tapi hanya untuk mengangkat gengsi pribadi atau martabat keluarga dengan utang, itu masalah besar.

Saya juga tidak mengecam sepenuhnya orang yang berutang. Semua ada skalanya. Kondisi setiap orang berbeda. Ada yang berutang karena persolan makan-minum, ini menyangkut keberlangsungan hidup. Maka hukumnya bisa sangat dianjurkan.

Kita tahu, kisah pilu ibu Bariani semuanya tak akan berakhir seperti itu. Tak ada yang menginginkan persoalan hutang-piutang berujung nyawa. Semoga juga kita terlindungi dari kisah tetangga kami yang harus merantau 'terusir' dari kampung halaman dikejar utang. Atau seperti negara ini ketika berhutang, seakan negeri ingin mau digadaikan. 

Tahukah apa yang paling buruk dari utang itu? ketika mati meninggalkan utang, dan keluarga abai melunasi itu, maka bisa berakhir siksa kubur. Semoga kalimat terakhir jadi pesan moral bagi kita sebelum memutuskan berutang. 

Ketika Presiden mati meninggalkan utang negara, mungkin pahalanya akan tertahan. Menunggu rezim selanjutnya, berharap mampu melunasi utang yang ditinggalkan. Haha...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun