Vonis stunting terhadap balita harus sangat hati-hati. ini urusannya bukan soal kurang gizi atau kesehatan semata. Disini ada harga diri atau marwah si Ibu dan keluarga. Mereka tidak ingin dihukum secara tidak langsung bahwa orang tua yang tidak becus mengurus anak.
Tugas tenaga kesehatan lebih berat. Edukasi soal stunting pada si Ibu harus sangat personal, mempertimbangkan dampak psikologis si Ibu dan tepat cara menyampaikan. Belum lagi soal latar belakang pendidikan dan kondisi ekonomi. Semua saling terkait ibarat mata rantai.
 Bukankah persentase penderita stunting lebih banyak terjadi pada keluarga ekonomi kurang mampu. Ketika ditanya  ''kenapa tidak membelikan susu formula buat balitanya?'' mungkin mereka akan menjawab : ''jangankan susu formula, buat makan sehari-hari saja susah''. Jlebb... nah sudah tahu kan pentingnya edukasi yang tepat.
Balita saya yang sempat mengkhawatirkan masuk kategori stunting. Kami bersyukur, setelah konsultasi ternyata tidak seperti yang saya takutkan. Pun setelah diajari cara menghitung korelasi rumus usia, tinggi badan, dan berat badannya. Meskipun progres kenaikan berat badannya agak terlambat. Tinggi badannya sangat proporsional, sabda petugas kesehatan, kemungkinan pertumbuhannya dominan keatas, 'Tikus' (Tinggi-Kurus). konsekuensi dari berat badan yang ringan membuat ia sangat aktif dan lincah. Terkadang membuat kami kewalahan.
Saya pun mulai memikirkan betapa banyak kasus seperti balita saya. tidak menutup kemungkinan juga mendapat vonis dini soal stunting. Entah karena acuhnya para orang tua soal tumbuh kembang anak. Bisa juga lewat diagnosis dini petugas kesehatan yang premature. Atau dari gunjingan tetangga yang tak pernah sekolah kesehatan itu.
Si Ibu harus banyak mengelus dada, sambil mengharap Pemerintah mau menanggung mahalnya harga susu formula bagi balita di seluruh nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H