Mohon tunggu...
Faisal Vespa
Faisal Vespa Mohon Tunggu... -

adalah ayah 3 anak, menikmati dunia literasi, wirausaha dan petualang...asli dari surakarta ( solo ) Hadiningrat, akan tetapi saat ini berdomisili di pulau borneo, Kalimantan Barat. Bisa bersilaturahim di 087736190786

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Sang Autopilot

14 April 2015   07:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:08 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sang Autopilot.

Indonesia adalah negara sangat kaya dari segala aspek. Potensi kepemilikan sumber daya alam (SDA) yang melimpah apabila dimanfaatkan dan dikelola secara maksimal dapat menjadikan negara ini lebih maju. Tetapi sangat disayangkan, SDA yang demikian melimpah lebih dinikmati negara lain dari pada bangsa sendiri. Singapura yang merupakan negara kecil di sekitar kepulauan Riau lebih mengambil peluang ini, yaitu “ memanfaatkan “ SDA kita. Negara yang minim SDA ini dengan leluasa mengimpor murah bahan – bahan mentah hasil alam , untuk kemudian diolahnya menjadi barang yang sangat tinggi harganya. Minyak mentah di sekitaran pulau Kalimantan yang sangat melimpah di ekspor ke negara Singapura. Sedangkan kita, malah mengimpor minyak bumi yang sudah di olah dari negara Singapura. Sungguh sangat dilematis, disaat pemerintah yang mencanangkan kemandirian nasional, akan tetapi pemerintah pula yang “menjual” SDA mentah ke negara tetangga.

Pengamat perekonomian mengatakan, seharusnya kita tidak perlu terlalu terlena dengan SDA yang melimpah di negara kita. Sesungguhnya yang terpenting adalah bagaimana kita meningkatkan sumber daya manusia (SDM) kita. Tidak salah apa yang dikatakan pengamat tersebut. Sumber daya manusia yang tidak siap menyebabkan SDA yang melimpah tidak terkelola dengan maksimal. Tanah yang demikian luas tidak terkelola dengan baik. Banyak sekali tanah yang menganggur, dibiarkan terbengkalai tanpa ada inisiatif untuk dimanfaatkan dalam bidang pertanian dan perkebunan. Setiap tahun , universitas – universitas baik negeri maupun swasta meluluskan ribuan mahasiswa dengan masing – masing kualifikasi bidang, akan tetapi kenyataannya banyak sarjana yang menganggur dan bekerja tidak sesuai jurusan yang ditempuh. Kemudian anggaran tahunan yang telah dicanangkan dan disepakati pemerintah senilai trilyunan rupiah pun tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal. Singkatnya, kita menghadapi masalah 3 T ( Tiga Tidur ) : Sarjana Tidur, Tanah Tidur dan Uang Tidur.

Paul Hanna, seorang mativator kelas dunia, di dalam bukunya “You Can do it “, menyampaikan bahwa negara akan menjadi maju apabila di dalamnya terdapat manusia – manusia yang berfikiran maju. Dia menyampaikan bahwa sikap seseorang menentukan sukses tidaknya orang tersebut. Seseorang itu diibaratkan seperti sebuah pesawat yang terbang di atas ketinggian 35.000 kaki atau 10.000 meter di atas permukaan laut. Ketika pesawat sudah di ketinggian tersebut, maka yang mengendalikan pesawat adalah autopilot ( pilot otomatis ), yang sebelumnya sudah diprogram sebelum pesawat tinggal landas. Apabila pesawat tersebut terbang lebih tinggi dari 35.000 kaki, maka sang autopilot, akan mengirimkan umpan balik elektrik yang mengatakan agar pesawat lebih merendahkan dan kembali pada ketinggian 35.000 kaki. Sebaliknya, apabila pesawat terbang terlalu rendah, maka juru kemudi auto pilot akan mengirimkan umpan balik elektrik lagi agar pesawat kembali naik ke 35.000 kaki. Hal ini akan berlangsung sedemikian rupa sampai pesawat tiba di bandara yang di tuju. Apabila terjadi badai yang mengharuskan pesawat naik lebih dari 35.000 kaki, maka pilot akan menaikkan ke posisi yang lebih tinggi, dan apabila badai sudah reda, maka pengendalian akan dikembalikan ke autopilot lagi menuju posisi 35.000 kaki.

Dalam hal ini, autopilot diibaratkan seperti sikap kita. Kita seperti sudah diprogram layaknya sebuah pesawat ketika terbang. Sistem inilah yeng menjaga tingkat ketinggian perjalanan hidup kita. Sebagai contoh adalah ketika kita berusaha menyisihkan uang jajan kita untuk ditabung. Apa yang akan terjadi setelah sebulan ? Kita biasanya akan pergi berbelanja dan bersuka ria, sehinggga kita akan kembali pada tingkat ketinggian perjalanan kita sebelumnya, atau kembali pada informasi yang telah diprogramkan (autopilot) tentang jumlah uang yang biasa kita miliki. Contoh gampangnya, biasanya diakhir bulan, kita memiliki uang 100 ribu. Di awal bulan kita sudah komitmen, untuk menyisihkan uang jajan kita yaitu sebesar 10 ribu rupiah untuk kita tabung. Komitmen ini berjalan selama 1 bulan penuh, sehingga kita mempunyai uang 300 ribu. Akan tetapi, karena adanya “autopilot” kebiasaan dalam diri kita, di akhir bulan biasanya kita akan berbelanja ini itu , sehingga uang kita tersisa seperti bulan – bulan sebelumnya, yaitu 100 ribu rupiah. Apakah anda demikian? Atau jangan – jangan malah semakin sedikit ?

Seperti layaknya sebuah pesawat, apabila kita berkomitmen tentang suatu hal, kemudian kita juga berusaha mengubahnya, biasanya hasilnya bersifat sementara. Ketika kita (pilot) memegang kendali, maka kita bisa berada pada ketinggian yang kita inginkan. Akan tetapi, ketika kita melepaskannya, maka sang autopilot dalam diri kita akan menginterupsi dan membawa kita kembali pada kebiasaan ketinggian perjalanan kita. Apabila pilot ingin terbang lebih tinggi dari tingkat ketinggian yang sudah diprogramkan selama penerbangan, maka pilihannya hanya dua , yaitu : Tetap memegang kendali sampai tujuan, atau memprogram ulang sang autopilot kita dengan ketinggian baru.

Dalam istilah jawa, terkenal istilah Obor Blarak ( membakar daun kelapa kering). Masih ingatkah kita ketika orang tua kita membuat api tungku dengan menggunakan daun kelapa kering ( blarak ) ? Daun kelapa kering sangat efektif digunakan untuk stimulan membuat api tungku, dikarenakan sifatnya yang mudah terbakar .Akan tetapi, daun blarak yang dibakar tidak bisa bertahan lama, dikarenakan daun tersebut sangat reaktif dengan api sehingga daun tersebut cepat habis. Kita sebagai warga negara Indonesia harus mengakui, bahwa kita sering mengalami kejadian seperti obor blarak tersebut. Ketika awal – awal dalam menjalankan program, kita sangat semangat sekali, layaknya daun blarak yang dibakar. Ditengah jalan , seiring dengan berjalannya waktu, kita kurang semangat, bahkan ada yang menyerah mengundurkan diri. Posisi demikian diibaratkan seperti sebuah autopilot dalam diri kita yang memerintahkan diri kita untuk kembali stagnan seperti sebelumnya.

Untuk mengatasi demikian, seperti yang sudah disampaikan oleh Paul Hanna tadi, kita harus tetap memegang kendali sampai tujuan yang kita impikan dapat kita raih, atau kita harus memprogram ulang autopilot kita dengan ketinggian baru. Dengan demikian, semangat berprestasi akan terus menyala, sehingga SDM maju yang kita dambakan dapat tercapai dan SDA yang melimpah dapat kita kelola dengan baik.

Semoga !

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun