Dua puluh tahun setelah merdeka, Indonesia mengalami krisis politik besar dan berdarah yang membawa keruntuhan rezim Orde Lama. Perekonomian morat marit. Laju inflasi meroket ke aras 650 persen. Kelangkaan barang sangat masif.
Dua dekade berikutnya kembali terjadi krisis besar. Krisis ekonomi terparah dalam sejarah Indonesia merdeka yang membawa perekonomian ke jurang amat dalam. Perekonomian Indonesia mengalami kontraksi sebesar 13,1 persen, jauh lebih dalam ketimbang tahun 1963 yang hanya 2,3 persen. Krisis tahun 1998 juga ditandai oleh kejatuhan rezim.
Krisis 1960-an dan 1998 lebih dipicu oleh persoalan internal. Perekonomian Indonesia relatif lebih tahan banting menghadapi krisis global. Bahkan, beberapa kali krisis global berdampak positif bagi Indonesia, setidaknya tidak membuat perekonomin terpuruk atau mengalami kontraksi. Krisis finansial global tahun 2008, misalnya, membuat perekonomian dunia mengalami kontraksi, namun pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan positif cukup tinggi, yaitu 4,6 persen.
Dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia yang serba tak pasti dan tekanan proteksionisme serta perekembangan politik global yang ditandai oleh maraknya populisme, cara terbaik bagi Indonesia untuk mengantisipasinya adalah dengan memperkokoh fondasi perekonomian atau meningkatkan daya tahan domestik. Itulah makna dari tekad kita untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Kita menghadapi tantangan besar untuk melumatkan kemiskinan. Bung Karno berujar: "Tidak boleh ada kemiskinan di bumi Indonesia merdeka." Segenap tenaga kita himpun untuk berjihad memerangi kemiskinan. Beriringan dengan itu, kita dituntut untuk mewujudkan keadilan sosial.
Amat banyak yang harus kita kejar untuk merealisasikan tujuan kemerdekaan. Namun, kita perlu realistik mengukur kekuatan diri sendiri agar tidak kembali terperosok ke jurang atau masuk ke dalam cengkeraman kekuatan luar.
Pembangunan membutuhkan harmoni atau keseimbangan agar kita tidak terlalu bergantung kepada pihak luar. Kita perlu menjaga agar tidak mengalami triple deficits yang parah. Kita masih mengalami defisit anggaran dan saving-investment gap. Semakin besar kedua defisit itu akan membuat defisit eksternal  (current account deficit) membengkak. Akibatnya kita semakin bergantung pada "budi baik" kekuatan luar.
Cara paling ampuh untuk mengelola defisit anggaran pada tingkat yang favourable adalah dengan meningkatkan penerimaan pajak dan tax ratio. Dalam jangka pendek dan menengah, rancangan undang-undang tentang perpajakan perlu segera dituntaskan untuk memaksimumkan momentum program amnesti pajak.
Jantung perekonomian kita perkuat. Darah yang mengalir ke sekujur tumbuh perekonomian harus cukup dan lancar.
Dalam jangka menengah dan panjang, struktur perekonomian harus disehatkan. Pembangunan sektor pertanian diarahkan untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani. Tekad ini baru bisa terwujud jika dalam waktu bersamaan memacu industrialisasi.
Akselerasi pembangunan infrastruktur memang mutlak karena kita relatif serba tertinggal dalam banyak hal. Namun, perlu diingat, pembangunan infrastruktur perlu menitikberatkan pada unsur-unsur yang memperkokoh jatidiri kita sebagai negara maritim. Pembangunan infrastruktur bertujuan utama untuk mengintegrasikan Indonesia sebagai negara kepulauan yang hasilnya nanti terlihat dari penurunan ongkos logistik. Sejauh ini  hasilnya belum terlihat. Logistics performance index (LPI) Indonesia justru mengalami kemerosotan. Dengan perbaikan logistik konvergensi harga-harga akan lebih cepat.
Niscaya kita bisa keluar dari kutukan siklus krisis 20 tahunan. Semua berpulang pada diri kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H