Presiden Joko Widodo telah menyetujui pembentukan enam holding (induk ) badan usaha milik negara (BUMN). Lihat Tok! Jokowi Setujui Pembentukan 6 Holding BUMN.
Ada baiknya Presiden tidak segera menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) tentang penggabungan itu. Banyak persoalan mendasar yang belum ditangani oleh Kementerian BUMN. Pembentukan induk BUMN jangan terkesan sebatas aksi korporasi untuk penambahan modal BUMN induk dan peningkatan kapasitas pendanaan atau bisa berutang lebih banyak.

Tertibkan pula anak, cucu, dan cicit BUMN yang banyak disalahgunakan sehingga menimbulkan penyelewengan, penggelapan, dan persaingan usaha tidak sehat.
Pertajam misi BUMN. Yang mulai melenceng segera diluruskan.
Agaknya tidak pantas di tengah pemerintah gencar membangun infrastruktur, beberapa BUMN konstruksi ("karya") justru membangun hotel yang eksternalitasnya sangat rendah dan swasta sangat mampu melakukannya.
Kalau pun hendak dipaksakan, bukankah pemerintah sudah memiliki Inna Hotel Group? Lebih ironis lagi, beberapa BUMN konstruksi itu menerima penyertaan modal negara (PMN) dengan tujuan lebih gencar mengembangkan infrastruktur. Masih banyak lagi BUMN yang perlu dibenahi.
Setelah itu, kita memiliki gambaran tentang apa yang harus dilakukan untuk setiap kelompok BUMN yang memiliki karakteristik berbeda. Tidak ada satu obat mujarab untuk semua BUMN.
BUMN yang sudah sangat sehat dan nyata-nyata memiliki eksternalitas tinggi jangan diutik-utik atau malahan dicaplok oleh BUMN yang kurang sehat. Jangan sampai pula anak perusahaan BUMN yang berstatus swasta (bukan PT persero) mengambil alih BUMN yang berstatus PT persero dan sudah masuk bursa (go public).
Para pembantu Presiden jangan lagi menyodorkan konsep yang belum matang. Preseden seperti itu bertambah banyak. Misalnya dalam kasus induk BUMN minyak dan gas (migas).
Berawal dari keprihatinan Presiden atas harga gas di dalam negeri yang relatif mahal, terutama gas untuk industri. Lantas Presiden memerintahkan agar Pertagas, anak perusahaan Pertamina, diambil alih oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN).
Berbulan-bulan belum menampakkan perkembangan berarti, Presiden mengingatkan pembantunya untuk mempercepat pengambilalihan. Selanjutnya kedua belah pihak (Peertamina dan PGN) melakukan perundingan. Sampai awal November 2015 skema ini masih hidup dan tercantum dalam Roadmap Sektor Energi Kementerian BUMN.

Tiba-tiba Kementerian BUMN memunculkan skema induk BUMN energi yang tak lama kemudian berubah menjadi induk BUMN migas. Lihat PGN-Pertagas Akan Dilebur Jadi Anak Usaha Pertamina. Setelah Deputi Menteri BUMN yang membawahi BUMN energi diangkat menjadi wakil komisaris utama Pertamina pada 29 Maret 2016, roadmap yang pernah ia presentasikan pun tidak lagi jadi acuan.
Di dalam rancangan Peraturan Pemerintah (PP) yang penulis peroleh, isinya tak lebih sekadar aksi korporasi. Rancangan PP berjudul PENAMBAHAN PENYERTAAN MODAL NEGARA REPUBLIK INDONESIA KE DALAM MODAL SAHAM PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) PT PERTAMINA.
Inbreng atau investasi pemerintah dilakukan dengan mengalihkan saham pemerintah di PGN ke PT Pertamina. Cara inbreng dalam bentuk saham tidak lazim. Biasanya inbreng dalam bentuk aset, sumber daya manusia, dan uang tunai.
Dengan aksi korporasi itu, PGN tidak lagi berstatus BUMN, melainkan swasta murni yang tunduk sepenuhnya pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Salah satu alasan yang diajukan Kementerian BUMN dalam pembentukan induk BUMN migas adalah agar terdapat sinergi usaha yang lebih baik antar perusahaan. Kalau yang dituju adalah Pertamina pada tahap selanjutnya menggabungkan atau melebur Pertagas (anak perusahaan Pertamina) dan PGN menjadi perusahaan baru berstatus swasta murni, mengapa tidak menempuh opsi awal saja, yaitu PGN mengambil alih Pertagas.
Mengelola BUMN tidak semestinya melulu dengan pendekatan korporasi. Ingat, kehadiran BUMN mengemban misi khusus. Pendiri Republik dengan jernih mengamanatkan pembentukan PGN sebagaimana termaktub dalam PP Nomor 19 Tahun 1965. Misi serupa termaktub pula dalam PP Nomor 37 Tahun 1994 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Gas Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
Alasan kehadiran BUMN induk agar kapasitas berutang lebih besar bukan merupakan insentif positif untuk mendorong manajemen secara sungguh-sungguh membenahi perusahaan. Doronglah BUMN mencari dana sendiri.
Terbukti Pelindo III dan Pelindo II bisa meraup dana miliaran dollar AS. Lihat Pelindo II raup dana 1,6 miliar dollar AS. Bisa juga dengan menggandeng mitra strategis. Agar bisa meraup dana dan merangkul mitra strategis, mau tak mau BUMN harus berbenah agar sosoknya tampak sehat "lahir-batin" dan lebih transparan.
Indonesia menghadapi tantangan berat untuk memperkokoh ketahanan energi. Sudah lama kita mengalami defisit minyak. Produksi sudah di bawah 800.000 barrel per hari, sedangkan konsumsi minyak sekitar 1,6 juta barrel per hari. Jadi ada kesenjangan sekitar 800.000 barrel per hari yang harus ditutupi dengan mengimpor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM).
Walaupun sampai sekarang kita masih menikmati surplus gas, ancaman defisit gas sudah di depan mata. Hampir bisa dipastikan tidak sampai 10 tahun lagi kita bakal mengalami defisit gas.
Bukankah lebih baik pemerintah mendorong Pertamina lebih fokus di hulu dengan menggalakkan ekplorasi dan eksploitasi serta menggalakkan pemilikan ladang minyak di luar negeri yang cadangannya besar sehingga bisa memasok kebutuhan kilang di dalam negeri ang direncanakan bakal bertambah dan yang ada dimodernisasikan.
Percepat migrasi dari Premium ke BBM dengan octane number paling tidak setara dengan Pertamax. Pertamina juga sangat diharapkan mempercepat migrasi dari euro 2 menjadi setidaknya euro 4. Dengan begitu Pertamina sangat besar sumbangsihnya mengurangi produksi CO2, sehingga menciptakan lingkungan lebih sehat, yang pada gilirannya mengurangi pengeluaran pemerintah untuk sektor kesehatan dan jaring-jaring pengaman kesehatan (BPJS).
Sementara itu, PGN sebagai perusahaan utilitas bisa lebih kokoh di hilir sebagai perusahaan utilitas, memasok gas untuk rumah tangga, industri, dan bisnis. Apalagi kalau diperkokoh dengan mengakuisisi Pertagas dari Peertamina.
Dengan skenario itu agaknya bauran energi (energy mix) lebih progresif. Pengalaman selama ini mengindikasikan terjadinya conflict of interest pada diri Pertamina.
Menggalakkan penggunaan gas berarti mengurangi bisnis minyak Pertamina. Pertamina tidak perlu khawatir volume bisnisnya berkurang. Teramat besar peluang yang bisa digarap Pertamina untuk menjadi perusahaan minyak nasional yang disegani, setidaknya di kawasan Asia Pasifik.
Tantangan besar menunggu Pertamina untuk mengakselerasikan kembali industrialisasi dengan lebih serius menganangi industri petrokimia yang merupakan ibu dari industri manufaktur.
***
Pemberitaan tentang holding BUMN antara lain bisa dilihat di:
kompas.com: Faisal Basri Nilai Konsep “Superholding BUMN” Rini Soemarno Tidak Jelastribunenews.com: Faisal Basri: Konsep Holding BUMN Tidak Jelas, Rini Soemarno Banyak Ngaconya
cnnindonesia.com: Faisal Basri: Holding Bank BUMN Cermin Kegagalan Merger
kontan.co.id: Faisal Basri tolak PGN dicaplok Pertamina
okezone.com: Faisal Basri: Konsep Holding BUMN Sangat Tidak Jelas
wartaekonomi.co.id: Faisal Basri: Rencana Holding BUMN Sangat Tidak Jelas
merdeka.com: Faisal Basri: Dalam konsep holding, rencana BUMN banyak ngaconya
pikiran-rakyat.com: Konsep Holding BUMN Belum Jelas
infobanknews.com: Faisal Basri Sebut Akuisisi PGN oleh Pertamina Tak Jelas
jitunews.com: Faisal Basri: Konsep Holding BUMN Banyak Ngaconya!
news.xcoid.com: Faisal Basri: Konsep Holding BUMN Ngga Jelas, Rini Soemarno Banyak Ngaconya
katadata.co.id: Pemerintah Sepakat Bentuk Enam Holding BUMN
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI