Mohon tunggu...
Faisal Basri
Faisal Basri Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sesat Pikir Regulasi Gula di Indonesia

8 Agustus 2016   21:20 Diperbarui: 9 Agustus 2016   01:58 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut data Badan Pusat Statistik, harga eceran gula pasir pada bulan Juli 2016 adalah Rp 15,745 per kg. Dibandingkan Juli tahun sebelumnya Rp 13.065 per kg, berarti terjadi kenaikan sebesar 20,5 persen.

Walaupun harga gula di pasar internasional pada Juli 2016 naik tajam (53,6 persen) dibandingkan bulan yang sama tahun 2015, harga eceran gula di Indonesia tetap saja jauh lebih mahal, yakni 2,8 kali lipat dibandingkan dengan harga gula internasional.

Harga gula pasir di pasar internasional pada Juli 2016 adalah 0,43 dollar AS per kg atau Rp 5.676 per kg dengan kurs Rp 13.200 per dollar AS. Pada Juli 2015 harga gula di pasar internasional adalah 0,28 dollar AS.

Gula merupakan pengeluaran terbesar keempat bagi penduduk miskin di perdesaan setelah beras, rokok kretek dan telur ayam ras.

sugar-price-57a89800947e619819ec2095.png
sugar-price-57a89800947e619819ec2095.png
Harga gula di Indonesia relatif sangat mahal karena pemerintah tak kunjung menyelesaikan akar masalahnya. Pemerintah hanya mengutik-utik persoalan di hilir dengan menaikkan harga pokok penjualan (HPP) di tingkat pabrik gula. Seolah dengan begitu pemerintah membantu petani tebu. Padahal, pendapatan petani sangat ditentukan oleh dua faktor utama di luar harga. Pertama, ongkos giling yang dinikmati pabrik gula relatif tinggi, yakni 35 persen. Jadi petani hanya menikmati 65 gula yang digiling pabrik gula. kedua, kadar gula (rendemen) yang ditetapkan pabrik gula tidak tansparan. Semakin rendah kadar gula versi pabrik gula, petani semakin dirugikan.

Bisa dikatakan HPP atau harga lelang terendah yang naik terus tidak kunjung dinikmati petani karena inefisiensi pabrik gula yang kebanyakan sudah berusia tua dan manajemen yang buruk.

Tak heran jika sejak 2008, pasokan gula kristal putih (GKP) lokal relatif stagnan. Dalam sepuluh tahun terakhir hanya tumbuh rata-rata 1,3 persen per tahun. Kinerja industri relatif tidak berkembang, produksi per hektar mandeg, bahkan cenderung turun pada tahun terakhir.

Sejak 2012, produksi gula putih (GKP) stagnan pada kisaran 2,5 – 2,6 juta ton. Produksi tahun 2016 berdasarkasn prakiraan optimis 2,4 juta ton sedangkan prakiraan pesimis 2,1 juta ton. Operasi pasar tidak efektif menurunkan harga karena pabrik gula tidak dapat menjual langsung ke konsumen.

Sumber: BPS
Sumber: BPS
Di sisi lain, kebutuhan gula terus bertambah, karena (1) jumlah penduduk makin besar (tumbuh 1,48% per tahun selama 2000-10, lebih tinggi dari pertumbuhan produksi GKP lokal); (2) produksi industri makanan dan minuman tumbuh rata-rata 6,5% per tahun selama kurun waktu 2011-15.

Berdasarkan asumsi kebutuhan gula per kapita sebesar 23,1 kg/tahun (ISO, Sugar Year Book 2015), kebutuhan pada 2015 mencapai 5,9 juta ton. Dengan produksi GKP sebesar 2,5 juta ton maka diperlukan impor sebesar 3,4 juta ton. Karena impor gula 2015 dibatasi hanya sebesar 2,8 juta ton, maka terjadi excess demand sekitar 0,6 juta ton. Tak pelak lagi, harga terus merangkak naik.

Perkembangan industri makanan dan minuman. Sumber: BPS
Perkembangan industri makanan dan minuman. Sumber: BPS
Perkembangan industri makanan dan minuman

Yang paling aneh adalah regulasi yang membedakan GKP dan gula rafinasi (GR). Di dunia pergulaan tak dikenal pemisahan seperti itu, karena pada dasarnya GKP dan GR memiliki karakteristik yang identik. Yang lazim adalah perbedaan antara raw sugar (RS) dan rifined sugar (RS) atau gula rafinasi (GR).

Perbedaan antara GKP dan GR hanya dalam proses pengolahan: GR diproduksi secara bertahap, melalui pemurnian gula mentah sedangkan GKP diproduksi secara langsung dari tebu menjadi gula.

GR atau disebut juga gula kristal rafinasi (GKR) yang diproduksi di dalam negeri menggunakan bahan baku RS impor. Hasil pabrik gula rafinasi hanya boleh dijual langsung ke industri pengguna, hampir semua diserap oleh industri makanan dan minuman berskala besar.

Kualitas GR lebih tinggi dari GKP dan harganya pun lebih murah. Sayangnya, reulasi pula yang membuat industri kecil tidak bisa menikmati GR karena tidak ada distributor GR. Industri kecil mengalami diskriminasi, tidak bisa menikmati harga gula murah dengan kualitas lebih baik. Tidak hern industri kecil hanya jago kandang dan boleh semakin tidak bisa bersaing dengan produk impor yang bea masuknya nol persen.

Yang aneh, jika terjadi kelangkaan gula, pemerintah melakukan intervensi pasar dengan menggelontorkan gula rafinasi.

Sudah saatnya pemerintah membenahi total regulasi pergulaan. Tidak ada gunanya TPID kalau sekedar menjadi pemadam kebakaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun