Mohon tunggu...
Faisal Basri
Faisal Basri Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengerek Turun Suku Bunga

1 Maret 2016   00:54 Diperbarui: 1 Maret 2016   04:36 836
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi - kontan.co.id"][/caption]Desakan dari berbagai kalangan agar suku bunga turun kian menggema. Kebanyakan berharap bunga pinjaman turun ke aras satu digit alias di bawah 10 persen. Berita di Kompas.com hari ini (Suku Bunga Tinggi) menunjukkan suku bunga di Indonesia paling tinggi di antara negara tetangga, baik untuk suku bunga pinjaman maupun deposit.

Berikut perbandingan beberapa indikator suku bunga tahun 2014 (data terbaru yang tersedia).

Brazil sedang mengalami tekanan ekonomi yang amat parah. Suku bunga deposit minus 15,7 persen, sehingga tidak heran dana keluar (capital flight) sangat besar sehingga membuat mata uang Brazil (Brazilian real) terpuruk.

Banyak tudingan perbankan kita tidak efisien sebagaimana terlihat dari perbedaan suku bunga pinjaman dan suku bunga deposito yang tinggi, di atas 5 persen. Data teranyar BI per Desember 2015 menunjukkan net interest margin (NIM) 5,2 persen. Posisi Desember 2014 sebetulnya sudah di bawah 5 persen, persisnya 4,1 persen.

Untuk membandingkan dengan negara lain, ada baiknya menggunakan sumber data yang sama. Peraga di atas menunjukkan selisih antara suku bunga pinjaman dan suku bunga deposit di Indonesia bukanlah yang tertinggi, hanya 3,8 persen. Perbedaan paling tinggi adalah di Thailand, menyusul Filipina, masing-masing 4,8 persen dan 4,3 persen. Yang terendah adalah Malaysia (1,6 persen). Vietnam di posisi kedua sebesar 2,9 persen.

Jika dikoreksi dengan laju inflasi sehingga diperoleh tingkat suku bunga riil, Indonesia tertinggi baik untuk pinjaman maupun deposit.

Negara-negara ASEAN yang menikmati suku bunga rendah disebabkan setidaknya oleh dua faktor. Pertama, beberapa negara ASEAN telah berhasil melakukan konsolidasi perbankan. Yang paling berhasil adalah Singapura, lalu Malaysia. Di luar ASEAN, Korea juga dipandang cukup berhasil. Dengan konsolidasi, modal semakin kuat dan tercapai keekonomian skala (economies of scale), sehingga efisiensi meningkat.

Tak heran jika dalam hal aset maupun ekuitas, bank-bank papan atas Indonesia tercecer di bawah bank-bank Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Jika saja Bank Mandiri dan bank BNI digabung, posisi bank gabungan (katakanlah diberi nama Bank Garuda) langsung melesat ke urutan ke-7 menurut besarnya aset dan ke-5 menurut besarnya ekuitas.

Bagaimana mau konsolidasi kalau bank-bank pemerintah saja tidak kunjung terkonsolidasikan. Padahal tidak ada perbedaan karakteristik antara Bank Mandiri dan Bank BNI. Sepatutnya kedua bank itu digabung secepatnya.

Artitektur Perbankan Indonesia (API) cuma di atas kertas. Sampai sekarang tidak ada satu pun bank yang menjelma menjadi bank internasional sebagaimana ditargetkan oleh API.

Kedua, pasokan kredit relatif besar, sehingga memunculkan persaingan yang lebih ketat. Kredit domestik ke sektor swasta di Indonesia amat rendah, hanya 38 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka untuk Thailand, Singapura, dan Malaysia di atas 100 persen sedangkan Vietnam nyaris 100 persen. Di ASEAN, Indonesia hanya sedikit lebih baik ketimbang Filipina.

Untuk kredit domestik yang disalurkan oleh lembaga keuangan, posisi Indonesia hanya lebih baik dibandingkan dengan Kamboja. Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam mencapai di atas 100 persen. Filipina sekalipun lumayan jauh di atas Indonesia.

Penghambat lainnya yang membuat suku bunga sulit turun berasal dari pemerintah sendiri. Katakanlah suku bunga kredit ditekan ke aras 9 persen. Seandainya NIM turun dari 5,2 persen menjadi 4 persen, maka bunga deposit (katakanlah deposito berjangka) adalah 5 persen. Bagaimana mungkin perbankan bisa bersaing dengan pemerintah yang sedang menjajakan Sukuk Negara Ritel (Sukri) seri SR-003 dengan coupon rate 8,15 persen. Tentu saja jualan pemerintah laris manis, mengakibatkan pengalihan dana dari perbankan ke pemerintah.

Muncul pertanyaan: apakah tingkat suku bunga menjadi penghambat utama investasi dan pertumbuhan ekonomi serta peningkatan daya saing? Singapura dan Malaysia dengan tingkat suku bunga jauh lebih rendah dari Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi jauh lebih rendah dari Indonesia. Suku bunga di Jepang dan Euro Zone mendekati nol tetapi pertumbuhan ekonominya juga mendekati nol.

Keberhasilan pemerintah menekan inflasi jauh lebih penting bagi penurunan suku bunga. Juga kebijakan yang membuat pasokan kredit naik tajam sehingga meningkatkan persaingan di pasar kredit sangat berarti untuk menurunkan suku bunga. Yang tak kalah penting adalah konsolidasi perbankan dimulai dari bank-bank milik negara atau bank BUMN.

Cara komando diyakini bakal menimbulkan komplikasi yang merusak dunia perbankan dalam negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun