Bung Karno pernah berkata dengan lantang, "Tidak boleh ada kemiskinan di bumi Indonesia merdeka."
Setelah 70 tahun proklamasi kemerdekaan, jumlah dan persentase penduduk miskin Indonesia memang berkurang. Namun, sejak krisis 1998, penurunan kemiskinan kian melambat. Bahkan sempat tiga kali mengalami peningkatan.
Yang juga perlu dicermati, penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih lambat dibandingkan negara-negara tetangga seperti China, Vietnam, dan Kamboja.
Hal itu menunjukkan penduduk miskin sangat rentan terhadap gejolak ekonomi. Apalagi mengingat sistem perlindungan sosial di Indonesia sangat buruk. Skor indeks perlindungan sosial Indonesia sangat rendah, hanya 0,044, di urutan ke-27 dari 35 negara di Asia Pasifik. Alokasi dana untuk berbagai macam jaminan sosial hanya 1,2 persen dari produk domestik bruto (PDB), di peringkat ke-28. Posisi Indonesia ini terendah di antara negara ASEAN, bahkan jauh tercecer dibandingkan dengan Timor-Leste sekalipun.
Penduduk miskin di atas mencerminkan kemiskinan ekstrem berdasarkan garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik. Tidak berarti penduduk yang hidup di atas garis kemiskinan kesejahteraannya sudah memadai.
Jika kita menggunakan indikator jumlah rumah tangga yang berhak memperoleh RASKIN (beras miskin) yang pada tahun 2014 sebanyak 15.530.897 dan rata-rata rumah tangga miskin lima jiwa, maka penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan berjumlah 77,6 juta jiwa. Angka itu setara dengan 31 persen atau hampir sepertiga jumlah penduduk.
Jangan ditanya kualitas beras yang didapat orang miskin. Sangat memilukan. Rakyat miskin kerap menerima raskin berkutu, berbatu, dan bau apek. Belum lagi jumlah beras yang diterima disunat. Berikut segelintir contoh.
Cek Gudang Bulog di Tolikara, Mensos Temukan Beras Tidak Layak
Terlalu, Bulog Distribusikan Beras Busuk ke Warga