Selain sejumlah kemajuan, terjadi beberapa kemunduran mendasar selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Yang paling kentara adalah pertumbuhan kian tak berkualitas. Pertumbuhan ekonomi selama 2005-2012 hanya 5,6 persen rata-rata setahun. Penghela utamanya adalah sektor non-tradable (sektor jasa) yang tumbuh rata-rata 8,2 persen setahun, dua kali lipat lebih kecepatannya dari pertumbuhan sektor tradable (sektor penghasil barang: pertanian, pertambangan, dan industri manufaktur) yang tumbuh hanya sebesar 3,6 persen.
Peran sektor industri manufaktur dalam produk domestik bruto (PDB) menukik turun dari 28,1 persen pada 2004 menjadi 23,9 persen pada 2012. Struktur industri masih saja keropos di tengah (missing middle). Perusahaan industri skala menengah hanya sebanyak 5 persen. Bandingkan dengan Brasil, sebesar 46 persen, Filipina 28 persen, dan Vietnam 27 persen. Tak aneh jika daya saing industri manufaktur kita kian terseok-seok. Transaksi perdagangan luar negeri produk-produk manufaktur telah mengalami defisit sejak 2008 dan cenderung terus membengkak.
Sektor pertanian juga melemah. Senarai produk pertanian yang diimpor semakin panjang dan sejak 2007 kita telah mengalami defisit perdagangan pangan.
Lebih parah lagi yang dialami di sektor minyak (minyak mentah dan bahan bakar minyak). Defisit perdagangan minyak sudah terjadi sejak 2004 dan defisit ini sudah menggelembung enam kali lipat pada 2012. Hasil dari ekspor gas tak lagi bisa menutupi defisit minyak, sehingga perdagangan migas pun sudah defisit sejak tahun lalu.
Sampai tahun 2011 ketiga defisit (triple deficits) ini masih bisa ditutupi dengan lebih menguras kekayaan alam. Pada tahun 2001, ekspor bahan mentah dan produk-produk berbasis kekayaan alam baru 40 persen dari eskpor total, sedangkan pada 2012 sudah mencapai 65 persen. Pemburukan tak lagi terbendung, sehingga sejak 2012 transaksi perdagangan keseluruhan sudah mengalami defisit.
Pertumbuhan yang tidak berkualitas tercermin pula dari kegagalan menciptakan lapangan kerja yang bermutu. Walaupun angka pengangguran menunjukkan penurunan terus-menerus hingga hanya mencapai 5,9 persen pada awal 2013, ternyata 54 persen orang yang bekerja adalah pekerja informal dan 38 persen pekerja yang tak diikat dengan kontrak. Hanya 6 persen pekerja dengan kontrak permanen. Sisanya sebanyak 2 persen, adalah pengusaha. Betapa rentan kehidupan 92 persen pekerja ini, apatah lagi mengingat sistem jaminan sosial nasional belum kunjung hadir.
Apakah pembentukan kawasan ekonomi khusus (KEK) bisa menolong situasi itu? KEK berdiri untuk menyuburkan berbagai kegiatan usaha yang lebih berorientasi pasar bebas ketimbang ketentuan perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Lazimnya KEK dengan berbagai variasinya diterapkan di negara-negara yang masih relatif tertutup, dengan tarif bea masuk relatif tinggi dan berbagai pengaturan nontarif yang membelenggu lalu lintas perdagangan. Ciri lainnyaadalah perizinan yang banyak dan berbelit-belit, pengendalian devisa seperti pembatasan repatriasi laba perusahaan-perusahaan asing, serta pengaturan transaksi valuta asing lainnya.
Rezim perdagangan Indonesia sudah tergolong sangat bebas. Berdasarkan data Bank Dunia, tarif bea masuk rerata tertimbang seluruh produk Indonesia 2011 hanya 2,6 persen, hampir menyamai Amerika Serikat (1,6 persen). Tarif bea masuk Indonesia jauh lebih rendah daripada kebanyakan negara berkembang, seperti Malaysia (4,0 persen), China (4,1 persen), Filipina (4,8 persen), Thailand (4,9 persen), Vietnam (5,7 persen), dan India (8,2 persen). Perusahaan manufaktur yang berlokasi di mana pun bisa memperoleh status bonded zone sepanjang barang-barang yang mereka impor digunakan untuk diolah menjadi produk yang seluruhnya diekspor. Kita pun sudah memiliki kawasan berikat dan kawasan pemrosesan ekspor. Jadi, masih kurang bebas apa lagi untuk urusan perdagangan?
Rezim devisa pun bebas. Praktis tidak ada pengendalian lalu lintas devisa masuk dan keluar. Mata uang asing bebas diperdagangkan tanpa harus ada pengisian formulir khusus. Pemerintah tak pula membatasi repatriasi laba perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
Yang masih membuat pengusaha pening adalah rezim perizinan dan perpajakan yang berbaur dengan praktek-praktek korupsi. Peringkat kemudahan berbisnis Indonesia dalam lima tahun terakhir masih saja berkubang di 120-an, dan pada tahun 2013 di peringkat ke-128 dari 185 negara. Posisi kita sangat tercecer dibandingkan dengan Singapura, yang berada di urutan pertama, Malaysia ke-12, Thailand ke-18, China ke-91, dan Vietnam ke-99. Posisi Indonesia lebih parah dalam hal memulai usaha (ke-166), menyelesaikan insolvensi (ke-148), mendapatkan sambungan listrik (ke-147), menegakkan kontrak atau perjanjian (ke-144), dan pembayaran pajak (ke-131).
Berdasarkan laporan Transparency International, Indonesia tergolong negara paling korup di Asia bersama Banglades, Pakistan, dan Filipina. Sementara itu, menurut “Asian Intelligence” Nomor 871 yang diterbitkan Political and Economic Risk Consultancy Ltd, di antara 16 negara di Asia-Pasifik, Indonesia selalu menduduki posisi tiga besar paling korup selama kurun waktu 2009-2013 dan sempat bertengger di peringkat paling korup 2010. Jadi yang paling mendesak adalah melakukan transformasi pemerintahan secara menyeluruh untuk membenahi sistem pelayanan publik di seluruh wilayah Indonesia tanpa diskriminasi.
Alih-alih membenahi persoalan srtruktural yang menghambat gerak maju perekonomian secara berkelanjutan, pemerintah meluncurkan inisiatif baru berupa dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) 2011-2025. Dokumen ini diklaim pemerintah sebagai “langkah terobosan (breakthrough) yang didasari semangat “not business as usual”.
Apakah proyek Jembatan Selat Sunda yang menjadi primadona MP3EI merupakan wujudnya? Jika ya, tentu itu bukan langkah cerdas dan terfokus, sebagaimana diutarakan Presiden dalam kata sambutannya dalam dokumen ini. Indonesia menikmati karunia sumber daya (resource endowments) yang tak tertandingi, berupa gugusan 17 ribu lebih pulau dan hamparan lautan dua kali lebih luas daripada daratan. Lautlah yang mempersatukan pulau-pulau itu, bukan sebaliknya laut dipandang sebagai hambatan sehingga harus dibangun jembatan penghubung antara Sumatera dan Jawa.
Pembangunan dan modernisasi pelabuhan di seantero Nusantara serta penguatan armada laut merupakan perangkat utama untuk menghubungkan pulau-pulau di Indonesia dan mengintegrasikan perekonomian domestik. Hasil bumi dari Sumatera akan tetap kalah bersaing dengan produk-produk serupa dari luar negeri, karena jembatan Selat Sunda tak akan bisa menurunkan ongkos logistik secara signifikan untuk menyaingi ongkos angkutan laut yang mampu mengangkut ribuan kali lebih banyak daripada truk.
Bagaimana dengan pembiayaan proyek raksasa ini? Siapa yang akan membiayai proyek mega yang bernilai sekitar Rp 200 triliun? Tanpa skema jaminan pemerintah, niscaya tak ada lembaga keuangan mana pun di dunia yang bersedia mengucurkan dana untuk proyek non-APBN. Pemberian konsesi puluhan ribu hektare untuk membangun enam-delapan kawasan pengembangan mirip dengan praktek-praktek serupa di masa Orde Baru.
Pembangunan kawasan-kawasan pengembangan di Banten dan Lampung bisa dilakukan tanpa kehadiran Jembatan Selat Sunda, sebagaimana rencana pembangunan enam koridor di pulau-pulau besar yang tanpa pembangunan jembatan.
MP3EI bukanlah “langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan masuk 10 negara besar di dunia tahun 2025 melalui pertumbuhan yang tinggi dan inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan,” sebagaimana klaim dalam dokumen ini. Bagaimana mungkin bersifat inklusif apabila rakyat dikesampingkan? Tengok pusat atau sentra produksi pertanian dan pengembangan pangan di Koridor 6 yang mengutamakan usaha pertanian berskala besar. MP3EI tidak menyentuh kaum tani, yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Tak ada desain untuk memberdayakan petani, membangun kelembagaan yang mendorong kemandirian petani, serta menghimpun kekuatan mayoritas bisu ini menghadapi kekuatan kapitalis atau pedagang kota.
Masa depan dan corak bangsa kita ditentukan oleh keputusan kita hari ini. Keputusan itu terutama terkait dengan peneguhan jati diri untuk mewujudkan nation state yang kokoh dan berkeadilan yang bernama negara kesatuan maritim Indonesia.
Banyak unsur dalam MP3EI yang sangat baik dan mencerahkan. Namun MP3EI memiliki cacat bawaan karena pola pikirnya yang keliru dan bisa menyesatkan. Belum terlambat untuk mengoreksi peta jalan menuju kejayaan Indonesia.
***
[Dimuat di majalah mingguan Tempo, edisi 4236, 4-10 November 2013, hal. 70-71.]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H