Alih-alih membenahi persoalan srtruktural yang menghambat gerak maju perekonomian secara berkelanjutan, pemerintah meluncurkan inisiatif baru berupa dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI) 2011-2025. Dokumen ini diklaim pemerintah sebagai “langkah terobosan (breakthrough) yang didasari semangat “not business as usual”.
Apakah proyek Jembatan Selat Sunda yang menjadi primadona MP3EI merupakan wujudnya? Jika ya, tentu itu bukan langkah cerdas dan terfokus, sebagaimana diutarakan Presiden dalam kata sambutannya dalam dokumen ini. Indonesia menikmati karunia sumber daya (resource endowments) yang tak tertandingi, berupa gugusan 17 ribu lebih pulau dan hamparan lautan dua kali lebih luas daripada daratan. Lautlah yang mempersatukan pulau-pulau itu, bukan sebaliknya laut dipandang sebagai hambatan sehingga harus dibangun jembatan penghubung antara Sumatera dan Jawa.
Pembangunan dan modernisasi pelabuhan di seantero Nusantara serta penguatan armada laut merupakan perangkat utama untuk menghubungkan pulau-pulau di Indonesia dan mengintegrasikan perekonomian domestik. Hasil bumi dari Sumatera akan tetap kalah bersaing dengan produk-produk serupa dari luar negeri, karena jembatan Selat Sunda tak akan bisa menurunkan ongkos logistik secara signifikan untuk menyaingi ongkos angkutan laut yang mampu mengangkut ribuan kali lebih banyak daripada truk.
Bagaimana dengan pembiayaan proyek raksasa ini? Siapa yang akan membiayai proyek mega yang bernilai sekitar Rp 200 triliun? Tanpa skema jaminan pemerintah, niscaya tak ada lembaga keuangan mana pun di dunia yang bersedia mengucurkan dana untuk proyek non-APBN. Pemberian konsesi puluhan ribu hektare untuk membangun enam-delapan kawasan pengembangan mirip dengan praktek-praktek serupa di masa Orde Baru.
Pembangunan kawasan-kawasan pengembangan di Banten dan Lampung bisa dilakukan tanpa kehadiran Jembatan Selat Sunda, sebagaimana rencana pembangunan enam koridor di pulau-pulau besar yang tanpa pembangunan jembatan.
MP3EI bukanlah “langkah awal untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju dan masuk 10 negara besar di dunia tahun 2025 melalui pertumbuhan yang tinggi dan inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan,” sebagaimana klaim dalam dokumen ini. Bagaimana mungkin bersifat inklusif apabila rakyat dikesampingkan? Tengok pusat atau sentra produksi pertanian dan pengembangan pangan di Koridor 6 yang mengutamakan usaha pertanian berskala besar. MP3EI tidak menyentuh kaum tani, yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Tak ada desain untuk memberdayakan petani, membangun kelembagaan yang mendorong kemandirian petani, serta menghimpun kekuatan mayoritas bisu ini menghadapi kekuatan kapitalis atau pedagang kota.
Masa depan dan corak bangsa kita ditentukan oleh keputusan kita hari ini. Keputusan itu terutama terkait dengan peneguhan jati diri untuk mewujudkan nation state yang kokoh dan berkeadilan yang bernama negara kesatuan maritim Indonesia.
Banyak unsur dalam MP3EI yang sangat baik dan mencerahkan. Namun MP3EI memiliki cacat bawaan karena pola pikirnya yang keliru dan bisa menyesatkan. Belum terlambat untuk mengoreksi peta jalan menuju kejayaan Indonesia.
***
[Dimuat di majalah mingguan Tempo, edisi 4236, 4-10 November 2013, hal. 70-71.]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H