Mohon tunggu...
Faisal Basri
Faisal Basri Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Sesat Pikir Tambang: Sedemikian Bodohkah Kita

21 Januari 2014   15:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:37 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengurasan kekayaan alam dengan intensitas luar biasa terjadi dalam sepuluh tahun terakhir. Bauksit sebagai contoh. Karena Indonesia tidak memiliki fasilitas pengolahan bauksit sama sekali, maka seluruh produksi bauksit diekspor. Pada tahun 2004 ekspor bauksit masih 1 juta ton. Hanya membutuhkan waktu enam tahun ekspor bauksit meningkat 27 kali lipat menjadi 27 juta ton. Setahun kemudian melonjak lagi menjadi 40 juta ton. Tahun 2013 ekspor bauksit diperkirakan sudah menembus 50 juta ton, mengingat realisasi ekspor Januari-Oktober sudah mencapai 46 juta ton. Peningkatan pesat ekspor bauksit terjadi sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang nota bene pernah menjadi Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben). Bauksit adalah bahan baku utama untuk menghasilkan alumina, sedangkan alumina merupakan bahan baku utama untuk menghasilkan aluminium. Karena Indonesia tidak memiliki fasilitas produksi alumina, maka industri aluminium di dalam negeri harus mengimpor seluruh kebutuhan aluminanya. Lumrah kalau produksi bauksit masih puluhan ribu ton seluruhnya diekspor karena faktor keekonomian skala (economies of scale). Tapi, jika produksi sudah jutaan ton bahkan puluhan juta ton, alangkah ironisnya kalau tak memiliki fasilitas pengolahan di dalam negeri. Harga bauksit di pasar internasional sekitar 30-35 dollar AS per ton, harga alumina sekitar 350 dollar AS per ton, dan harga aluminium sekitar 2.000 dollar AS per ton. Sudah memiliki Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 pun pemerintah masih berakrobat. Sudah jelas-jelas masa 5 tahun toleransi hingga tenggat larangan ekspor tambang mentah 12 Januari 2014 akan dimanfaatkan oleh produsen untuk mengeruk "gila-gilaan" kekayaan alam kita, pemerintah masih santai-santai. Seharusnya sejak 2005 pemerintah sudah mulai menerapkan pajak (bea keluar) progresif untuk meredam pengurasan luar biasa atas kekayaan alam kita. Penerapan pajak progresif baru dikeluarkan awal Januari 2014. Tidak ada yang dilakukan pemerintah untuk mempercepat pembangunan fasilitas pengolahan atau smelter. pelabuhan tak disiapkan, jalan-jalan tak dibangun, demikian juga fasilitas pembangkit listrik. Malah diluncurkan MP3EI yang sesat pikir itu. Itu baru bauksit. Kisah bijih nikel, bijih besi, zinc, dan batubara, yang serupa, menambah duka negeri. Apa yang dinikmati oleh rakyat sekitar yang kekayaan alamnya dikuras habis? Proses pembodohan ini harus dihentikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun