Mohon tunggu...
Faisal Basri
Faisal Basri Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sesat Pikir Koalisi

19 April 2014   02:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:30 3545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sistem  pemerintahan Indonesia adalah presidensial, bukan parlementer. "Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat" (Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 7C). Sebaliknya, DPR tidak bisa menjatuhkan presiden, karena presiden dipilih langsung oleh rakyat lewat pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Untuk dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden satu atau beberapa partai politik harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 suara sah dalam pemilu legislatif. Sejauh ini, berdasarkan perolehan suara hasil perhitungan cepat, tidak satu pun partai politik dapat mengajukan sendiri calon presiden-wakil presiden. PDI-Perjuangan, yang meraup suara terbanyak sekalipun, harus merangkul partai lain agar bisa mencalonkan jagonya yang digadang-gadang, yakni Joko Widodo. Koalisikah itu namanya? Bukan. Itu sebatas kerja sama untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden agar  memperoleh tiket untuk berlaga dalam pilpres. Koalisi hanya dikenal dalam sistem pemerintahan parlementer. Pemerintahan yang berkuasa yang dipimpin perdana menteri hanya dapat membentuk dan menjalankan pemerintahan jika didukung oleh partai atau partai-partai yang memiliki kursi mayoritas di DPR. Jika ada partai anggota koalisi yang menarik diri sehingga kursi partai koalisi tidak lagi mayoritas, maka pemerintahan bakal jatuh. Berkoalisi tidak gratisan. Partai yang tidak lagi mendukung pemerintah otomatis akan menarik wakilnya di kabinet. Praktik di Indonesia agak ribet. Meskipun sistem pemerintahan yang dianut bukan parlementer tetapi selalu terjadi praktik "koalisi". Sekarang pun, belum ada apa-apa, belum ada calon presiden sekalipun, perbincangan tentang koalisi sangat ramai. Ada koalisi poros tengah, koalisi Indonesia raya, dan beragam manuveri lainnya. "Koalisi" sekarang ini tampaknya baru sebatas untuk mengusung calon presiden dan wakil presiden. Katakanlah ada tiga kelompok "koalisi" yang bakal mengusung pasangan calon presiden-wakil presiden. Masing-masing kubu memiliki visi-misi, ideologi, dan program yang berbeda. Satu di antara "koalisi" memenangi pemilihan presiden. Hampir bisa dipastikan, yang memenagi pertarungan pilpres tidak memperoleh dukungan mayoritas di DPR. Dalam logika yang berlaku sekarang, presiden terpilih harus merangkul beberapa partai lagi agar memiliki dukungan mayoritas di DPR. Partai-partai yang mendukung sejak awal (sebelum pilpres) dan yang belakangan (setelah pilpres) dapat posisi menteri. Begitulah praktik "koalisi" di Indonesia. Logika politik di sini, pemerintahan akan lebih kuat jika koalisi semakin banyak dukungan kursi di DPR. Pandangan itu tercermin dari gagasan koalisi Indonesia Raya. Alasannya, Indonesia sangat heterogen: ada kelompok nasionalis, agamis, kelompok tengah. Jadi semua harus dirangkul untuk menghadirkan pemerintahan yang kuat. Di situlah letak sesat pikirnya. Kurang apa lagi pengalaman pemerintahan sekarang yang didukung oleh berbagai spektrum kekuatan politik. Kurang kuat bagaimana lagi pemerintahan presiden SBY yang didukung enam partai dengan kekuatan 75,2 persen kursi di DPR.

"Koalisi" gratisan ya namanya bukan koalisi. Partai-partai yang mbalelo tetap saja tidak menarik menteri-menterinya dari kabinet. Presiden tidak berani memecat menteri-menteri yang berasal dari partai yang mbalelo. Sejauh presiden lurus dan amanah dalam menjalankan agenda rakyat, presiden tidak usah takut menghadapi DPR yang tidak membela rakyat. Kalau DPR berani memblokade program pemerintah, misalnya memboikot pembahasan APBN dan tak kunjung menyetujuinya, presiden bisa menggunakan APBN tahun sebelumnya. Rakyat akan marah dan menuding DPR anti rakyat. Rasanya DPR tidak akan berani melawan konstituennya sendiri. Sama saja dengan mereka bunuh diri. Ke depan, rasanya perlu dipikirkan format baru. Dalam 10 tahun ke depan, memaksakan sedikit partai tampaknya kurang realistik di tengah masyarakat yang heterogen. Mungkin lebih baik kita memiliki presiden dengan mandat yang cukup besar. Lalu ada perdana menteri yang menjalankan pemerintahan sehari-hari dengan koalisi di pemerintahan dan oposisi. Koalisi yang tidak gratisan. Barulah istilah koalisi hadir tanpa tanda petik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun