Mohon tunggu...
Faisal Muhammad Al’Farisi
Faisal Muhammad Al’Farisi Mohon Tunggu... Penulis - Darkrelig

Jiwaku Sekuntum Bunga Kamboja

Selanjutnya

Tutup

Politik

Agama, Politik, dan Politik Agama

13 September 2017   02:45 Diperbarui: 13 September 2017   09:00 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Relasi antara agama dan politik itu sangat dinamis, unik, menarik, sekaligus lucu. Keduanya kadang saling berseteru. Tapi, bisa pula berdampingan dengan mesra. Contoh kita implementasikan Dalam konteks sejarah Indonesia, terjadi perkembangan dinamis menyangkut relasi agama dan politik ini. Penting untuk dicatat, bukan hanya agama yang melakukan perlawanan terhadap politik. Politik juga sering melawan, mengintimidasi, dan menghancurkan agama. Dengan kata lain, hubungan sekaligus nasib agama dan politik akan ditentukan oleh otoritas mana yang paling kuat dan dominan dari keduanya serta bagaimana watak dan karakter para elit politik dan elit agama yang kebetulan berkuasa. Jika politik menjadi "superordinat", maka agama akan berpotensi menjadi "subordinat". Begitu pula sebaliknya.

Dulu pada masa kolonial atau jepang maupun sekutu, agama berperan ganda: sebagai legitimasi kolonialisme sekaligus kritik sosial. Banyak tokoh agama, Muslim khususnya, yang bekerja dengan pemerintah kolonial. Tetapi pada saat yang bersamaan juga banyak di antara mereka yang menjadi pengkritik dan pemberontak kolonial. Kenapa, sebab terjadi percecokan diantara keyakinan dan keselarasan hati saat menjalakan amanah pada saat itu.

kita lihat pada zaman Orde Lama, Presiden Sukarno di satu sisi mengakomodasi tokoh-tokoh Muslim (khususnya dari Nahdlatul Ulama) tetapi pada waktu yang bersamaan pula melibas tokoh-tokoh Muslim lain (khususnya dari Masyumi) atau (pemuda muhammadiyah) yang kontra dengan kekuasaanya.

Kemudian pada masa Orde Baru, Presiden Suharto tidak melirik kelompok ormas atau organisasi Islam meskipun pada awalnya mereka termasuk kaki tangan dalam mengantarkan jalan kekuasaan. Pak Harto lebih tertarik menggandeng kelompok abangan-kejawen dan kalangan militer. Baru pada awal 1990-an, ia tertarik "melirik" Islam dengan merangkul kelompok kelas menengah teknokrat di bawah bendera ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) setelah terjadi friksi dengan sejumlah petinggi militer. Pak Harto dulu juga tidak memberi ruang gerak secuilpun untuk perkembangan "Islam politik" meskipun mendukung gerakan "Islam kultural" yang apolitis sebab ia tau persis apa yang akan terjadi bila pergerakan ini dibiarkan menjamur pada saat ini.

Nah setelah Pak Harto tumbang pada 1998, tali kebebasan mulai berekspresi dan berserikat yang dulu ditutup rapat, kini pun dengan bangganya dibuka kembali lebar-lebar. Akibatnya, Indonesia seperti kebanjiran kelompok-kelompok Islam ekstrim-konservatif.

Mereka yang dulu bersembunyi karena ketakutan dengan politik otoriter-militer Pak Harto, kini bermunculan dan menjamur hingga pelosok negeri bagai cendawan di musim hujan. Meski banyak sisi positif-konstruktif di era post-Suharto ini seperti tumbuh-berkembangnya demokrasi dan kebebasan sipil tetapi ada sejumlah sisi negatif-destruktif.

Merebaknya para "penumpang gelap" demokrasi seperti kelompok-kelompok Islam garis keras (Muslim hardliners) yang intoleran, anti-pluralisme, kontra-kebangsaan, mau menangnya sendiri, serta menggunakan berbagai tindakan dan cara kekerasan untuk memuluskan agenda dan kepentingan kelompoknya hanyalah sekelumit contoh dari sisi negatif-destruktif tadi.

Kelompok-kelompok ini tidak segan-segan untuk memobilisasi massa (dan bahkan Tuhan) dengan menggunakan sentimen-sentimen primordial agama dan etnisitas demi mencapai kepentingan politik-ekonomi pragmatis. Inilah yang saya maksud dengan "politik agama", yakni "pemerkosaan agama" oleh sejumlah kelompok agama demi kepentingan politik praktis sektarian.

Jika fenomena "politik agama" sektarian ini tidak "dikelola" dengan baik, arif, dan bijak maka potensi kekerasan komunal-horisontal bisa terjadi, dan spirit demokrasi yang sudah diperjuangkan dengan susah-payah oleh kekuatan rakyat tahun 1998 bisa terkubur di kemudian hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun