Atas dasar itulah, kemudian dengan berani Ra Shol menyampaikan bahwa Sikap NU harus tegas menolak kehadiran gerakan Islam Radikal tersebut. Namun penolakan NU bukanlah seperti penolakan seperti Aparat Negara. Penolakan NU berada dalam konteks bahwa gerakan Islam Radikal sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai yang ada di NU. Ketidaksesuaian ini refrensi awalnya dapat dilihat pada sejarah berdirinya bangsa Indonesia.Â
Pada masa pra kemerdekaan sampai masa kemerdekaan, sejak pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga saat ini, NU mengembangkan ajaran Islam tanpa kekerasan dan tekanan kepada pihak lain. Bahkan dalam perumusan piagam Jakarta, sikap tawassuth NU telah mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa saat itu.Â
Frame politik ini yang sering dipakai oleh NU dengan menyebutnya sebagai politik kebangsaan. Sebuah paradigma berpikir yang tetap kuat untuk menjaga keutuhan NKRI, persatuan dan kesatuan bangsa yang bertujuan untuk mencapai keadilan, kemakmuran dhahiran wa bathinan.
Dalam rangka menangkal gerakan Radikalisme ini. Maka penting bagi NU  selain melakukan penghadangan keluar tak kalah pentingnya juga melakukan penguatan paham ke-Ahlussunnah Wal Jamaah-an kepada segenap warga NU sampai ke desa-desa. Penguatan ini penting dilakukan mulai dari level terbawah mapun level atas agar tidak mudah terjebak dan diajak oleh kelompok-kelompok Islam Radikal.Praktek-praktek yang dicontohkan Rasulullah ketika  menanamkan akidah kepada sahabat Muhajirin-Anshar dapat menjadi rujukan pola-pola pertahanan aqidah.Pengembangan sikap tawassuth amat penting dilakukan tatkala menyikapi perbedaan-perbedaan.
Di titik inilah, Ra Shol memandang keberadaan Aswaja center yang baru ada di Jawa Timur cukup strategis sebagai organ yang secara serius dan terfokus terus menanamkan nilai dan ajaran Aswaja ala NU. Sebab, ia banyak mendapatkan adanya keterlibatan warga  NU dalam kelompok dan gerakan Islam Radikal. Mereka yang masuk dalam  jaringan kelompok radikal ini umumnya kurang memahami ajaran Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Sehingga penanaman dan penguatan idiologi Aswaja  ke segenap jamaah NU menjadi kebutuhan yang strategis.
Selain bergerak di bidang keagamaan, beliau berharap agar NU juga mesti menguatkan posisi dan fungsinya sebagai jamaiyah ijtma’iyah. Artinya bahwa NU juga organisasi sosial yang tidak bisa diabaikan. seperti NU berjuang di bidang ekonomi, NU berjuang mengentaskan kemiskinan, NU memperhatikan orang yang tidak mampu dan anak yatim-piatu, kemudian NU juga concern terhadap dunia pendidikan, dan melihat sosial politik yang bukan barang tabu di NU. Meskipun secara keorganisasian tidak ada hubungannya dengan politik, tetapi tidak menentang orpol manapun dan juga tidak menjadi orpol. Nah dua hal ini yang dipertahankan dan dikembangkan oleh NU di masa-masa yang akan datang.
Bagi Ra Shol, untuk mendorong sekaligus menguatkan posisi dan peran fungsi NU di atas, maka  menjadi penting untuk memberikan porsi yang cukup lebar bagi kalangan muda NU. Sebab, kecenderungan pola yang ada di kelompok Islam radikal telah banyak menjadikan generasi muda sebagai sasaran dan target prioritas gerakannya. Terbukti banyak generasi muda kita, yang orang tuanya warga NU tetapi putranya sudah ada yang mengikuti gerakan-gerakan Islam radikal yang berbeda dengan NU.
Karenanya, pola pembinaan dan pengkaderan dengan sasaran prioritas generasi muda ini mutlak dibutuhkan. Hal ini juga bisa dilakukan dengan jalan bisa lebih terbuka dalam mendengarkan aspirasi dan keinginan generasi muda ini baru kemudian disesuaikan dengan apa yang menjadi tujuan dari NU itu sendiri. Pola bottom up ini sangat efektif untuk melahirkan sebuah inisiasi yang konstruktif bagi kemajuan NU.
Indonesia sebagai Darul Mu’ahadah.
Beberapa bulan yang lalu, tepatnya tanggal 01 Juni 2016,penulis bersama kader-kader muda NU Sampang lainnya berkesempatan menggelar acara Deklarasi Kebangsaan. Kegiatan ini diselenggarakan  dalam rangka merespon penetapan Hari Lahir Pancasila oleh Pemerintah Indonesia.
Saat itu, Ra Shol ditunjuk untuk memberikan orasi mewakili NU Sampang. Di hadapan para pimpinan daerah,elit politik, tokoh masyarakat dan unsur lainnya, secara gamblang beliau mampu mengurai dengan jelas relasi Islam,Pancasila dan NKRI baik secara historis maupun menurut kaidah Fiqh keagamaan.