Mohon tunggu...
Faisal Ramdhani
Faisal Ramdhani Mohon Tunggu... lainnya -

Suka dan senang melihat orang tersenyum

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kepedulian Perempuan-Perempuan Dusun di lokasi Konflik Sampang

9 Mei 2015   09:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:14 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan Eks Syiah-Sunni kerja bersama di dapur

[caption id="" align="alignleft" width="128" caption="Perempuan Eks Syiah-Sunni kerja bersama di dapur"][/caption]

Mungkin tidak banyak yang tahu atau mungkin sudah banyak yang mencatat bahwa korban terbanyak dari  konflik agama yang terjadi di Sampang adalah kaum perempuan. Konflik yang meletus 2 tahun silam ini  juga berdampak pada kaum-kaum perempuan minoritas. Mereka mengalami perlakuan yang sama seperti stigmaisasi dan diskriminasi. Padahal kaum perempuan merupakan sosok induvidu yang sebenarnya bebas dari kepentingan apapun. Apalagi di kultur Madura, posisi perempuan benar-benar diletakkan sebagai ibu rumah tangga yang baik. Perempuan di Madura hanyalah berfungsi dan bertugas sebagai juru masak di dapur, melayani suami dan merawat anak-anak mereka. Dalam posisi kultural seperti ini maka sesungguhnya bisa dibaca bahwa kaum perempuan sangatlah jauh dari keterlibatan maupun keberperanannya dalam terjadinya konflik sosial. Kaum Perempuan bukanlah aktor maupun barisan pendukung yang berdiri di garda terdepan untuk saling provokasi, saling bermusuhan ataupun saling membenci.

Namun pada peristiwa konflik Sunni-Syiah di Sampang, kaum-kaum perempuan juga menjadi korban. Kaum-Kaum Perempuan mengalami yang sama seperti stigmaisasi dan diskriminasi. Komunitas perempuan terseret dalam upaya dikotomi kelompok, antara perempuan pengikut aliran sesat Tajul Muluk (minoritas) dan perempuan mayoritas. Praktis, kebiasaan mereka yang seringkali bersama-sama pergi ke pasar desa untuk membeli keperluan sehari-hari, kebiasaan saling kerjasama menanam tembakau sudah tidak bisa ditemukan lagi. Tradisi perempuan dusun yang saling tolong menolong, saling menyumbang kebutuhan seperti gula,beras dan lainnya apabila ada tetangga atau warga lainnya yang punya hajatan nyaris hilang pasca terjadinya  konflik.

Hilangnya tradisi kerja bersama dalam hajatan tersebut disebabkan adanya rasa takut distigma sebagai pendukung Tajul Muluk ketika mereka mau membantu  tetangga atau keluarga lain  yang dicap “pengikut syiah” menjadi alasan tersendiri bagi perempuan mayoritas untuk diam di rumah. Walaupun yang punya hajatan masih bertetangga di samping rumah mereka. Begitu pula sebaliknya, di komunitas perempuan minoritas muncul rasa was-was dikucilkan, jadi pergunjingan serta dijadikan ledekan tatkala berkehendak berkumpul untuk saling membantu kerja-kerja di dapur warga yang punya hajatan.

Entah mengapa dan bagaimana bisa suasana yang memprihatinkan ini bertahan cukup lama, kami pun juga kurang tahu apakah sudah ada inisiasi-inisiasi dari  para tokoh,pemerintah atau pihak lain untuk mencairkan kembali kebekuan yang melanda komunitas perempuan dusun ini. Namun yang pasti, saat kami turun ke dusun berdialog dengan warga, cerita-cerita ketegangan masih menjadi menu perbincangan,perilaku eksklusi sosial masih ditemui,. Contohnya, kisah si Holilah, perempuan dusun berumur  38 tahun, karena sering keluar dari dusun selama 3 (tiga) hari kemudian dicurigai dan diadili sebagai mata-mata syiah. Holilah dicurigai sebagai penjual berita dan informasi ke pihak Syiah. Kecurigaan warga juga bukan tanpa alasan, suami Holilah saat ini berada di Pengungsian Jemundo menjadi bagian dari jamaah syiah korban konflik. Isu Holilah sebagai mata-mata syiah terus menguat di warga yang kemudian memunculkan ketegangan dan keresahan. Sampai akhirnya bisa diselesaikan dengan musyawarah yang dihadiri oleh tokoh agama dan aparat keamanan. Isu tinggallah isu karena nyatanya Holilah seringkali pergi keluar kampung selama 2-3 hari hanya untuk menjual hasil-hasil bumi ke pasar Omben. Hal ini dilakukannya untuk kehidupan sehari-hari, untuk dirinya dan anak-anaknya, karena si suami berada jauh di tempat pengungsian.

Begitulah, sepenggal cerita tentang rusaknya suasana kebersamaan perempuan di dusun. Kebersamaan-kebersamaan yang dulunya terajut indah dalam kerja-kerja bersama terutama saat ada hajatan tetangga. Kebersamaan-kebersamaan yang sudah dulunya sudah menjadi tradisi tersendiri. Ya, kami katakan sudah menjadi tradisi, karena ketika perempuan-perempuan dusun ini tidak membantu tenaga dengan turut bekerja di dapur ataupun bagi perempaun yang keluarganya mampu tidak menyumbang material, ada rasa “todus” (baca: malu ) di hati mereka. Sehingga ketika ada warga atau tetangga mereka yang punya hajatan, tanpa pandang bulu hampir bisa dipastikan secara ramai-ramai mereka akan turut membantu untuk sekedar meringankan beban. Namun pasca meletusnya konflik, tradisi itu habis terlumat bersamaan dengan menguatnya perilaku eklusifitas sosial.

Kisah pernah  ada dan kuatnya “tradisi kebersamaan” di ataslah  yang menginspirasi kami untuk memulai penciptaan ruang-ruang rekognisi sosial.  Sebuah ruang yang tidak hanya sebagai tempat berkumpul dan bekerjasamanya kembali perempuan-perempuan dusun. Akan tetapi lebih dari itu, ruang itu menjadi awal untuk kembali menghidupkan tradisi kebersamaan perempuan dalam hajatan yang telah lama hilang dan mewujudkan inklusi sosial (social inclusion) .Sebuah ruang dimana para perempuan-perempuan bisa berpatisipasi penuh. Meskipun partisipasi perempuan ini masih terbatas bukan dalam pengambilan keputusan sebagaimana ajaran kelompok gerakan-gerakan perempuan yang sudah mapan. Tak jadi soal, sebab kultur dan kondisi mengatakan kami harus pelan-pelan dalam memulainya dan memang harus dimulai walau amatlah kecil dan sederhana.

Dalam memulainya tentulah kami tidak bisa sendirian, dalam pikiran saya dan kawan-kawan Lakpesdam NU Sampang sangatlah dibutuhkan sosok atau figur tokoh perempuan yang bisa menjadi penggerak perempuan-perempuan dusun. Didapatlah, Nyai Hafidz, begitulah warga memanggil namanya . Perempuan setengah baya ini merupakan seorang tokoh agama perempuan yang selama ini memang menjadi pimpinan kelompok pengajian perempuan di dusun. Beliau lah yang selama ini kami gunakan untuk mengajak dan mendorong agar perempuan-perempuan terlibat dan bekerjasama untuk membantu kegiatan kami. Terutama dalam kegiatan Maulid Nabi yang kami sengaja pilih sebagai momentum awal merajut kebersamaan tersebut.

Nyai Hafidz inilah beserta suaminya yakni Kyai Hafidz (Tokoh Agama Dusun) yang meminta ke kami agar para Ibu-ibu di dusun dilibatkan.  Ibu-ibu di dusun akan diajak bekerjasama untuk saling bantu membantu di dapur baik yang dari kelompok eks syiah maupun sunni. Oleh Nyai Hafidz proses komunikasi itu dilakukan melalui pengajian kelompok perempuan yang diadakan setiap jumat di tiap bulannya. Ajakan demi ajakan untuk mengayomi semua pihak, merajut kebersamaan lagi dan untuk membantu persiapan kegiatan dalam momentum Maulid Nabi rupanya sangat efektif untuk meningkatkan partisipasi perempuan.

Seminggu sebelum pelaksanaan sudah mulai nampak hasilnya, sejumlah ibu-ibu walau masih sedikit sudah terlihat ada yang bekerja persiapan bahkan ada yang menyumbang gula, beras, buah-buahan, dan satu dus air gelas ke Bu Mat Nawi selaku tuan rumah kegiatan. Keluarga Bu Mat Nawi selama ini dikenal sebagai keluarga syiah bahkan halaman rumahnya yang bersebelahan dengan Halaman SDN IV Karanggayam ini menjadi saksi bisu terjadinya peperangan dan terbunuhnya satu orang pengikut Syiah. Keluarga Pak Mat Nawi dan halaman rumahnya atas dasar musyawarah warga sengaja dipilih selain karena faktor sejarah tersebut juga sebagai simbol bahwa upaya penciptaan kebersamaan akan mulai diciptakan.

Semangat-semangat seperti inilah yang dapat terangkum dalam proses kegiatan Maulid Nabi sehingga semakin mendekati pelaksanaan, jumlah perempuan yang berpatisipasi semakin bertambah dan sumbangan materi berupa kebutuhan-kebutuhan konsumsi dari warga pun berdatangan. Hal ini mulai semakin nampak mulai H-2 pelaksanaan, ruangan dapur Bu Mat Nawi riuh gaduh oleh suara-suara perempuan yang saling bekerjasama. Kegaduhan karena semuanya bekerja tanpa sekat. Mulai memasak nasi di atas tungku kayu, meracik bumbu, memotong daging, memasak ikan laut dan membuat kopi. Tak jarang terdengar teriakan-teriakan saling bersahutan yang memanggil nama masing-masing perempuan yang bekerja di dapur untuk mengingatkan bahwa masakannya hampir matang atau masakannya belum di masak. Ada pula yang saling berteriak terkait bumbu-bumbu masakan yang belum ada dan mau di racik. Suasana dapur gaduh yang lama di rindukan. Suasana gaduh yang membikin rasa tenang dan damai hati. Sebab, kegaduhannya bukan lagi soal sesat atau tidak sesat, soal syiah tau sunni dan kosakata antagonis lainnya. Namun kegaduhan yang terjadi lebih pada sudah di kasih bumbu tau tidak, sudah matang atau tidak  dan sudah enak atau tidak.

Rasa-rasanya dalam bertugas mereka seperti memilik manajer yang hebat, semuanya kompak tanpa diperintah. Ketika sebagian yang lain sibuk di dapur, sebagian lagi sibuk menyuguhkan kopi dan nasi ala kadarnya untuk kaum laki-laki yang bekerja di halaman. Termasuk suguhan kopi, kue dan nasi ke kami yang datang turut membantu.  Sedangkan sebagian lagi, sibuk menerima saudara-saudara mereka, para perempuan dusun, yang datang dengan menyungging, menenteng  sumbangan bahan-bahan pokok kebutuhan.

Sungguh tak terasa, suasana persiapan kegiatan Maulid Nabi sepertinya benar-benar menjadi arena pelepas rindu. Rasanya kami dibawa pada suasana kisah-kisah dahulu kala seperti yang banyak dikisahkan warga tentang. Kisah suasana dusun yang rukun,damai, tenang dan penuh kebersamaan sebelum terjadinya konflik demi konflik. Sungguh dan sungguh sangat menyenangkan suasana saat itu.

Walaupun tidak bisa dipungkiri, trauma mereka, para perempuan-perempuan dusun, masih tidak seratus persen hilang. Dalam hati kecil mereka masih ada rasa kwatir dan sensitif terhadap hal-hal yang berbau publikasi dari orang luar. Nampak ketika kami mencoba mengambil gambar saat ibu-ibu tersebut sedang bekerja, berkali-kali kami masuk ke dapur dengan kamera berkali-kali pula mereka berteriak jangan sambil berlari bersembunyi sambil memalingkan wajah. Penasaran dengan hal itu,kami pun bertanya mengapa takut? Ibu-ibu pun itu  menjawab takut masuk koran dan internet. Akhirnya terpaksa kami pun maling-malingan mencuri gambar mereka. Bila ketahuan mereka pun kembali berteriak gaduh.

Lain lagi cerita saat hari pelaksanaan, ribuan perempuan-perempuan dusun datang berbondong-bondong. Atas bantuan kelompok Pengajian Raudlatul Mutaallimin, ribuan kaum perempuan tidak hanya datang dari dusun Nang Kernang dan Dusun Gedding Laok namun juga dari desa-desa sekitar, desa tetangga dari lokasi konflik. Bahkan perempuan-perempuan yang rumahnya jauh dari lokasi, mereka rela urunan beserta ibu-ibu lainnya untuk menyewa pick up, bus mini dan lainnya untuk hadir dalam kegiatan perayaan maulid Nabi . Saat pelaksaanan banyak sekali pick up, bus mini yang diparkir sebagai tansportasi dan semuanya itu tidak kami biayai, tidak kami mobilisasi, mereka datang dengan kesadaran dan biaya sendiri.

Pun begitu sesampai di lokasi, ribuan ibu-ibu yang datang melebur bersama yang lain tanpa harus melihat di kanan kiri mereka ada pengikut syiah apa nggak?, di depan dan di belakang mereka ada jamaah Tajul Muluk apa tidak?. Semuanya duduk di tikar yang sama dan bersama-sama menikmati alunan hadrah inklusif serta cerama agama tentang Islam Rahmatan lil Alamin sampai selesai.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun