Mohon tunggu...
Paisal Amri
Paisal Amri Mohon Tunggu... pegawai negeri -

BELAJAR untuk tidak menjadi orang gagal, pemilik akun twitter @paisal71 dan blog di www.faisalamri.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru yang Tidak Benar Mendidik atau Zaman yang Salah Mengajar?

25 Agustus 2016   16:54 Diperbarui: 26 Agustus 2016   03:26 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Ini anaknya, dia sakit kemarin, kurang apalagi, kalau belum juga percaya silakan tanya sendiri”. Aku ngak suka, kalau ibu itu terlalu individu, suka-suka, beraja dengan hati sendiri katanya nyerocos sesuka hati.

Melihat ibu paruh baya itu diam saja, ibu guru muda yang didampingi oleh satu siswa ini tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kali ini nadanya naik satu laras.

“Saya ini juga guru dari siswa-siswi kita, bukan hanya ibu, asal ibu tau, saya ngak mungkin bodoh dan mengajari anak didik kita untuk berbohong, apalagi bekerjasama dengan siswa., ini siswa yang saya bilang sakit itu, silakan ibu tanya sendiri, tanya bu!, tanya!!.. pekiknya.

Melihat lawan bicara hanya diam, Akhirnya ibu guru muda dan siswa itu langsung meninggalkan ruangan majelis guru itu dengan penuh kesal dan marah.

Ibu guru muda itu, adalah guru honor yang baru satu tahun mengabdi di sekolah itu, ianya   mengampu mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Sebagai anak muda yang baru dua tahun menamatkan studinya diperguruan tinggi negeri, ibu guru muda yang enerjik itu juga merupakan alumni sekolah dimana ia mengabdi sekarang. Sedangkan Ibu paruh baya yang barusan dihardik itu  adalah guru senior yang mengampu mata pelajaran Matematika di sekolah itu. Perkenalan dua guru yang usia terpaut jauh itu bukan kemaren sore, karena ibu guru muda itu dulu merupakan siswa dari ibu paruh baya itu sendiri. Bedanya, enam tahun yang lalu status mereka antara guru dengan siswa, sekarang hubungan mereka sama-sama guru.

*

Peristiwa yang tidak enak di dengar apalagi dilihat itu bermula dari ketidak hadiran seorang siswa. Sebut saja kelas XI IPS 1 di jam pertama belajar Matematika. Seperti biasa, usai berdoa, guru akan mengabsen.

“Ada yang tidak hadir”, kata ibu guru Matematika singkat.

“Marsinah, sakit bu” jawab ketua kelas, sigap.

“Mana suratnya”, tanya guru lagi.

“Sama wali kelas, bu”.

“Begini ya, semestinya surat teman (jika ada) ditaruh di kelas saja, kenapa wali kelas yang memegang suratnya. Maaf ya, kalau suratnya tidak ada, sementara ibu buat alpa, nanti kalau suratnya ada dilihatkan ke ibu, maka ibu akan merubah absensinya. Demikian ibu itu menutup kalimatnya.

Di akui, ibu guru yang mengampu mata pelajaran Matematika ini memang dikenal tegas dalam mengajar. Singkat cerita, entah apa yang disampaikan kepada wali kelasnya, Ibu guru muda yang enerjik itu bersama dengan siswa yang sakit itu keesokan harinya melabrak guru Matematika di ruang majelis guru. Sontak, ulah Ibu muda ini membuat guru-guru yang lain terkejut dan menyesali persitiwa ini. 

Persitiwa itu berjalan sangat cepat. Begitu ibu muda dengan pengawalan siswa nya itu berlalu meninggalkan ruangan majelis guru. Seperti dihipnotis, setelah ibu muda itu keluar barulah ada yang nyeletuk dan menghampiri ibu senior itu. Akhirnya, suara prihatin keluar dari mulut beberapa guru yang mendengarkan langsung peristiwa tersebut.

Tata tertib di sekolah ini sebenarnya cukup baik, karena melibatkan siswa dari perwakilan kelas, seluruh pengurus OSIS, perwakilan guru, wakil kepala sekolah, kepala sekolah dan ketua komite. Hanya saja, tata tertib ini tanpa dikomandoi tidak lagi dijalankan sebagaimana mestinya, bermula dari dipolisikan seorang guru di sekolah lantaran mencubit perut siswa laki-laki kelas XI. Tidak berapa lama setelah salah satu orang tua mempolisiskan guru, kemudian muncul pula kegaduhan yang tak disangka-sangka, kali ini tak lagi karena hukuman fisik, akan tetapi karena siswa terlambat yang disuruh pulang (sesuai aturan).   

Sial para guru belum juga berakhir, beberapa hari kemudian, HP siswa di sita guru bahasa Inggris lantaran siswa sibuk dengan HP-nya. Singkat kata, penyitaan HP yang tak cukup berumur 2 jam itu telah pula membuat suasana gaduh.  

Dari rentetan peristiwa tersebut, tanpa dikomandoi, tata tertib di sekolah itu lambat laun melemah. Tak bisa lagi dipungkiri, banyak guru menjadi gamang, yang pada akhirnya tatib yang tertempel di setiap kelas menjadi saksi bisu, ia tak lagi berdaya melihat situasi yang tak lagi memberikan jaminan pada individu guru.

Persoalan makin kompleks, produk dari penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ini luar biasa. Daya tampung yang hanya bisa menampung 7 kelas, akhirnya kebobolan menjadi 13 kelas. Yang setiap kelas terdiri dari 44 sampai dengan 45 siswa. Menyiasati kelas yang membludak ini, akhirnya kepala sekolah memberlakukan masuk pagi dan siang dengan jam yang jauh berbeda. Siswa yang masuk pagi, 1 jam pelajaran biasanya 45 menit, kini dijadikan 40 menit. Sedangkan kelas siang, 1 jam pelajaran hanya 25 menit saja.   

Bukan bermaksud menyalahkan orang tua yang keterlaluan, bukan pula bermaksud untuk menyalahkan intimidasi yang luar biasa terhadap sekolah. Melihat runyamnya persoalan yang muncul, apakah kegagalan semua ini disebebkan hanya oleh para guru yang tidak cakap?, kompetensinya yang selalu dipertanyakan?, ataukah zaman yang telah tua ini membuat lingkungannya tidak lagi kondusif?.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun