Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Pak Rudi akhirnya pergi, mengira Dika sudah melarikan diri lebih jauh. Dika menghela napas lega, tetapi rasa bersalah dan ketakutan tetap menghantuinya. “Huff... selamat,” gumamnya, meski keringat dingin masih mengalir di punggungnya.
Dengan hati-hati, Dika keluar dari tempat persembunyiannya dan kembali ke sekolah. Dia merasakan campuran lega dan malu. Saat melihat Pak Rudi berbicara dengan beberapa guru, rasa takut kembali menyergapnya.
“Dika!” panggil Pak Rudi dengan suara tegas, membuat jantungnya berdegup kencang. “Ke sini sekarang!”
Dika melangkah ragu-ragu, hati berdebar. “Pak, saya...”
Di hadapan kepala sekolah, Dika menundukkan kepala. “Saya minta maaf, Pak. Saya hanya ingin sedikit kebebasan.”
Kepala sekolah menggelengkan kepala, tampak kecewa. “Dika, melarikan diri bukanlah solusi. Kenapa kamu tidak berbicara dengan kami tentang masalahmu?”
“Karena saya merasa semuanya terlalu berat dan tidak ada yang mengerti saya,” jawab Dika, suaranya bergetar.
“Tidak ada alasan untuk lari, Dika!” Pak Rudi menyela, suaranya menggema dengan kemarahan. “Jika kamu ingin menghargai dirimu, jangan sekali lagi berani melakukan hal konyol ini. Saya tidak akan mentolerirnya!”
Dika merasa seolah dipojokkan, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. “Saya berjanji tidak akan mengulangi lagi, Pak,” ucapnya, berusaha menahan tangis.
“Baiklah, tetapi ingat, setiap tindakan ada konsekuensinya,” kata kepala sekolah, menatap Dika dalam-dalam, seolah ingin membacanya.
Setelah keluar dari ruang kepala sekolah, Dika berpapasan dengan Pak Rudi. “Kamu beruntung kali ini, Dika. Jangan pikir kamu bisa lolos begitu saja. Jika saya melihatmu melanggar lagi, kamu akan merasakannya!” ujarnya, nada suaranya menakutkan.