Mohon tunggu...
faisal imron
faisal imron Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Penerapan Adat/Urf dalam Islam

23 Mei 2016   08:04 Diperbarui: 23 Mei 2016   08:27 1259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

  • Pengertian Urf
  • Urf ialah sesuatu yang uang telah dikenal oleh masyarakat dan mertpakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul. Urfdisebut adat (adat kebiasaan)[1]. Menurut istilah ahli syara tidak ada perbedaan di antara ‘urf dan adat. Maka ‘urf yang bersifat perbuatan adalah saling pengertian manusia tentang jual beli dengan pelaksanaan tanpa shighot yang diucapkan. Sedangkan ‘urf yang bersifat ucapan adalah saling mengerti mereka tentang kemutlakan lafal al walad( الو لد  ) atas anak laki-laki bukan anak perempuan, dan juga saling mengerti mereka agar tidak mengitlakkan lafal al lahm ( اللحم) yang berarti daging atas al samak(السمك) yang bermakna ikan tawar. Jadi ‘urf adalah terdiri dari saling pengertian manusia atas perbedaan tingkatan mereka, keumumannya dan kekhususannya[2].
    • Perbedaan ‘Urf dengan ijma’
    • ‘urf terbentuk oleh kesepakatan mayoritas manusia terhadap suatu perkataan atau perbuatan, berbaur di dalamnya orang awam dan kaum elite, yang melek dan buta huruf, mujtahid dan bukan mujtahid. Sedangkan ijma hanya terbentuk dengan kesepakatan mujtahid saja terhadap hukum syara’ yang amali, tidak termasuk di dalamnya selain mujtahid baik kelompok pedagang, pegawai atau pekerja saja.
    • ‘urf terwujud dengan persepakatan semua orang dan kesepakatan sebagian terbesarnya, di mana keinginan beberapa orang tidak merusak terjadinya ‘urf. Sedangkan ijma hanya terwujud dengan kesepakatan bulat seluruh mujtahid kaum muslimin di suatu masa trejadinya peristiwa hukum, penolakan seorang atau beberapa orang mujtahid membuat ijma itu tidak terjadi.
  • ‘Urf yang dijadikan landasan ketentuan hokum apabila berubah membuat ketentuan hukumnya berubah pula tidak mempunyai kekuatan hokum seperti yang berlandaskan nash dan ijma/ sedangkan ijma shaikh yang dijadikan landasan ketentuan hukum ,kekuatan hukum yang berdasarkan naskh dan tidak ada lagi peluang untuk berijtihad terhadap ketentuan hukum yang ditetapkan ijma.[3]
    • Macam-macam ‘urf
    • ‘Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari sifatnya ‘urf terbagi kepada:
    • ‘Urf Qauli ialah ‘urf yang berupa perkataan, seperti perkataan walad menurut Bahasa berarti anak, termasuk didalamnya laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari bisa diartikan anak laki-laki saja.
    • ‘urf amali ialah ‘urf berupa perbuatan, seperti kebiasaan jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual beli. Padahal menurut syara shighat jual beli merupakan rukun jual beli. Tetapi telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat tidak mengunakan shighat dan tidak terjadi hal-hal yang diinginkan. Maka syara membolehkannya.
    • Ditinjau diterima atau tidaknya ‘urf terbagi atas:
    • ‘urf shahih ialah ‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melakukan akad nikah, di pandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara’.
    • ‘Urf fasid ialah ‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima karena bertentangan dengan syara. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat di terima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.

Ditinjau dari segi ruang lingkup berlakunya . ‘urf terbagi kepada:

urf ‘aam ialah ‘urf yang berlaku pada semua tempat, masa dan keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan trimakasih ke pada orang yang telah membantu kita dan sebagainya.‘Urf khash ialah ‘urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama islam pada setiap selesai melaksanakan ibadah puasa bulan Ramadhan sedang pada negara-negara islam lain tidak dibiasakan.[4]

  • Dasar Hukum ‘Urf
Para ulama sepakat bahwa ‘Urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syara. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat di jadikan hujjah, demikian ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujah. Imam Syafi’I terkenal dengan qaul qodim dan qaul jadidahnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau berada di Makkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal itu mwnunjukkan bahwa ketiga madzab itu berhujjah dengan ‘urf[5].
  • Sesuai dengan Firman Allah :
  •            خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بَا لْعُدْفِ (الا عراف 199)
  • Yang menurut Al Qarafy bahwa setiap yang diakui adat, ditetapkan hokum menurutnya, karena zohir ayat ini
  • Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Abdullah bin Mas’ud :
  • مَا رَا هُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَاللهِ اَمْرٌحَسَنٌ.
Yang menunjukkan bahwa hal yang sudah berlaku menurut adat kaum muslimin dan dipandangnya baik adalah pula baik di sisi Allah.[6]
  • Argument Penerimaan ‘Urf

‘Urf (adat kebiasaan) yang benar yang tidak menyalahi syara’ hendaknya menjadi bahan pertimbangan seorang ahli Ijtihad dalam melakukan ijtihadnya dan bagi seorang hakim dalam mengeluarkan keputusannya.

Alasan pengambilan ‘Urf tersebut ialah:

  • Syari’atIslam dalam mengadakan hukum juga memperhatikan kebiasaan (‘Urf) yang berlaku pada bangsa Arab, seperti syarat seimbang (kafa’ah) .[7]
    • Argumen Penolakan ‘Urf
  • ‘Urf yang mendapat penolakan apabila ‘Urf itu rusak, maka tidak harus memeliharanya, karena memeliharanya itu berarti menentang dalil syara’ atau membatalkan hukum syara’. Maka apabila manusia telah saling mengerti akad di antara akad-akad yang rusak, seperti akad riba, atau akad gharar dan khathar (tipuan dan membahayakan) maka bagi ‘urf ini tidak mempunyai pengaruh dalam membolehkan akad ini[8].


[1] Muin Umar dan Asyumuni A. Rahman. Ushul Fiqih 1 cet. 2 (Jakarta, Kemenag RI, 1986) hal  150

[2] Abdul Wahhab Khallaf. Kaidah-Kaidah Hukum Islam cet 6 (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,1996) hal 134

[3] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam(Jakarta, Sinar Grafik,1995) hal 77-78

[4] Muin Umar dan Asyumuni A. Rahman. Ushul Fiqih 1 cet. 2 hal 152

[5] ibidhal 152-153

[6] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islamhal  79

[7] A Hanafie Usul Fiqh cet 11 (jakarta, widjaya 1989) hal 146

[8] Abdul Wahhab Khallaf. Kaidah-Kaidah Hukum Islam hal 136

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun